Sekolah Tatap Muka Tingkatkan Risiko Penularan Covid-19 pada Anak
Risiko penularan Covid-19 pada anak-anak akan meningkat apabila pembelajaran tatap muka tetap diberlakukan saat ini. Masyarakat perlu sadar bahwa situasi pandemi sekarang ini masih serius.
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggaraan sekolah tatap muka di tengah pandemi sekarang ini akan menimbulkan risiko penularan mengingat tren kasus Covid-19 yang meningkat, adanya mutasi virus baru, dan rendahnya kesadaran dan kedisiplinan anak menjalankan protokol kesehatan. Ketersediaan layanan kesehatan khusus anak yang terbatas dan tidak merata di Indonesia juga patut dipertimbangkan.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melalui laman Covid-19.go.id melaporkan, jumlah anak usia 0-18 tahun yang terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 205.764 orang atau 12,3 peren dari total seluruh kasus di Indonesia. Sementara total kematian pada anak akibat penyakit tersebut sebanyak 593 orang atau 1,3 persen dari seluruh kasus kematian yang tercatat.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (2/5/2021), mengatakan, kasus Covid-19 pada anak di Indonesia terus meningkat. Sementara jumlah pelacakan dan pemeriksaan pada kelompok usia anak masih minim. Artinya, belum semua kasus Covid-19 pada anak ditemukan dan ditanganai dengan baik.
”Dimulainya sekolah tatap muka akan semakin meningkatkan risiko penularan Covid-19 pada anak. Masyarakat perlu paham betapa seriusnya keadaan saat ini. Dengan kapasitas layanan kesehatan kita yang amat terbatas, mulai dari kapasitas pemeriksaan, sumber daya manusia, serta layanan untuk perawatan, dikhawatirkan kita akan kewalahan jika kasus (anak) melonjak,” ujarnya.
Perhatian yang lebih juga harus diberikan kepada anak usia bayi dan balita serta usia 10-18 tahun. Pada rentang usia tersebut, kasus kematian paling banyak ditemukan. Dari 254 anak yang tercatat di IDAI, 33 persen kematian terjadi pada anak usia 10-18 tahun serta 20 persen pada masing-masing anak kelompok usia 28 hari-11 bulan dan anak kelompok usia 1 tahun-5 tahun.
Baca Juga: Pembelajaran Tatap Muka Terbatas Hadirkan Dilema bagi Masyarakat
Aman menuturkan, tingginya komorbiditas atau penyakit penyerta pada anak dapat menimbulkan perburukan ketika terinfeksi virus korona. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pudjadi terhadap 156 anak, komorbiditas yang banyak ditemukan pada kasus kematian akibat Covid-19 antara lain adalah keganasan (malignancy), malnutrisi, penyakit jantung bawaan, kelainan genetik, penyakit ginjal kronik, dan tuberkulosis.
Hal itu semakin berkarut karena jumlah anak dengan komorbiditas di Indonesia cukup tinggi. Terkait kasus manutrisi, misalnya, satu dari tiga anak mengalami tengkes atau stunting. Di lain sisi, hampir sembilan juta anak mengalami kegemukan.
Selain itu, tingginya angka kematian anak dengan Covid-19 di Indonesia juga terjadi karena penangan yang kurang optimal akibat kapasitas rumah sakit yang terbatas. Kesenjangan antardaerah di Indonesia dalam penyediaan tes usap PCR menjadi persoalan. Upaya pemeriksaan yang terbatas membuat banyak kasus tidak terdeteksi. Penanganan pun menjadi terlambat.
Menurut Aman, kondisi saat ini belum mendukung dimulainya kembali sekolah tatap muka. Risiko penularan anak terlalu besar jika tidak ada persiapan yang matang. Sejumlah daftar tilik sudah disusun oleh IDAI untuk memastikan kesiapan sekolah dalam memulai pembelajaran tatap muka.
Baca Juga: Evaluasi Uji Coba PTM, Siswa dan Guru di Pekalongan Dites Antigen
Daftar itu berisi, antara lain, tim khusus mitigasi kesiapan sekolah harus tersedia untuk menilai kesiapan pembukaan sekolah, semua guru dan pengurus sekolah harus dipastikan sudah divaksinasi, ruang kelas memiliki ventilasi dan sirkulasi udara yang baik, ruang kelas yang tertutup harus dilengkapi dengan hepafilter, dan terdapat sistem evaluasi berkala untuk buka tutup sekolah sesuai kondisi yang terjadi.
Pemetaan risiko terkait anak dengan komorbid juga perlu dilakukan. Anak dengan komorbid, seperti diabetes melitus, jantung, keganasan, autoimun, penyakit ginjal kronik, obesitas, dan penyakit paru kronik disarankan untuk tetap belajar secara daring. Meski begitu, perlu dipastikan tidak ada perbedaan perlakuan antara anak yang belajar secara daring dan luring.
Sebelum mulai sekolah tatap muka pastikan juga anak sudah sadar dan bisa disiplin menjalankan protokol kesehatan, seperti memakai masker dengan benar, mampu menjaga jarak, dan terbiasa mencuci tangan. Guru di sekolah serta orangtua ataupun anak juga harus mampu mengenali gejala Covid-19 serta memiliki prosedur jelas jika ada anak yang sakit.
Baca Juga: Jateng Uji Coba Belajar Tatap Muka, Pengawasan Jadi Poin Krusial
”Jika daftar tilik yang telah disusun ini tidak bisa dipenuhi, sebaiknya sekolah tatap muka tidak dimulai terlebih dahulu. Kami (IDAI) pun belum merekomendasikan sekolah tatap muka dimulai. Itu ditambah dengan adanya mutasi virus yang lebih menular yang sudah masuk ke Indonesia,” tutur Aman.
Dalam survei yang dilakukan oleh IDAI terhadap 17.473 responden orangtua terkait pembukaan kembali sekolah tatap muka di masa pandemi masih ada 36,2 persen orangtua yang tidak setuju sekolah tatap muka dibuka kembali. Mereka pun menyatakan akan mengirimkan anak untuk bersekolah tatap muka apabila memenuhi sejumlah syarat.
Sebanyak 46,8 persen responden mengatakan akan mengirimkan anaknya jika sekolah menerapkan protokol kesehatan. Lainnya, 23,8 persen menyatakan ya jika sudah tidak ada kasus Covid-19 di Indonesia dan 15,1 persen jika kasus Covid-19 di Indonesia menurun.
Survei itu juga memperlihatkan, orangtua atau pengasuh anak menyatakan, persiapan untuk kembali membuka sekolah juga harus dipastikan. Persiapan itu adalah adanya imbauan wajib memakai masker, pemeriksaan suhu tubuh rutin, membatasi jumlah anak di kelas, serta mempersiapkan makanan dari rumah.
”Jika sekolah akan dibuka, IDAI meminta pemerintah dan Satgas Covid-19 untuk spesifik membuat dashboard data khusus untuk anak. Pendataan untuk anak secara nasional saat ini sangat terbatas,” ucap Aman.
Gejala Covid-19
Satuan Tugas Covid-19 IDAI dari RSUP Dr Hasan Sadikin-Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (RSHS-UNPAD) Anggraini Alam menyampaikan, umumnya gejala pada anak sama dengan gejala yang dialami oleh pasien Covid-19 dewasa. Itu seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, sesak napas, mual dan mutah, serta diare. Meski begitu, gejala pada anak biasanya akan lebih ringan dibandingkan dengan orang dewasa.
Proses penularannya pun sama dengan orang dewasa, yakni melalui tetesan cairan dari saluran pernapasan. Jumlah virus yang bisa masuk ke tubuh anak juga sama dengan dewasa sehingga potensi penularannya juga tinggi.
”Karena itu, kesadaran anak untuk memakai masker dengan benar, menjaga jarak, mencuci tangan, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas tetap penting. Selain itu bisa berdampak bagi dirinya, anak yang tertular juga berbahaya bagi orang di sekitarnya. Apalagi, tidak sedikit anak yang di rumah juga tinggal dengan kakek-neneknya,” ucap Anggraini.
Anak yang mengalami sindrom inflamasi multisistem bisa saja ketika terinfeksi tidak terlihat ada gejala yang berarti. Namun, setelah 4-6 minggu kemudian justru mengalami perburukan yang bisa menyerang organ jantungnya.
Penanganan Covid-19 pada anak juga tidak mudah. Ketersediaan ruang perawatan anak belum merata di seluruh Indonesia. Selain itu, anak biasanya masih membutuhkan pendampingan dari orangtuanya. Jika orangtuanya tidak tertular Covid-19, risiko penularan menjadi sangat besar. Kondisi psikologis anak ketika harus berada di ruang isolasi dalam waktu lama juga bisa terdampak.
Menurut dia, promosi kesehatan mengenai bahaya Covid-19 serta cara mencegah penularannya harus terus digaungkan. Sebelum sekolah tatap muka dilakukan, setiap anak harus mampu mandiri menjalankan protokol kesehatan. Protokol ini tidak hanya sebatas di lingkungan sekolah, tetapi juga di luar pagar sekolah sampai ke tempat tinggalnya.
Kesadaran ini terutama untuk anak-anak usia SMP-SMA yang cukup sulit untuk tidak berkumpul bersama teman-temannya. Di usia tersebut, keinginan untuk bersosialisasi amat tinggi. Jika tidak ada kesadaran untuk menjaga diri dari risiko penularan Covid-19, mereka cenderung akan abai pada protokol kesehatan sehingga berisiko tertular dan menularkan.
Perburukan
Anggraini menuturkan, hal lain yang perlu dipahami adalah adanya risiko sindrom inflamasi multisistem pada anak atau MIS-C (multisystem inflammatory syndrome in children) setelah terinfeksi Covid-19. Sindrom ini biasanya akan muncul setelah 4-6 minggu penularan terjadi. Tidak jarang, sindrom ini dialami ketika hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan sudah negatif dari Covid-19.
”Anak yang mengalami MISC ini bisa saja ketika terinfeksi tidak terlihat ada gejala yang berarti. Namun, setelah 4-6 minggu kemudian justru mengalami perburukan yang bisa menyerang organ jantungnya. Meski belum ada penelitian lebih lanjut, dampaknya bisa jangka panjang,” tuturnya.
Berbagai risiko ini, tutur Anggraini, seharusnya bisa menjadi perhatian pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, saat akan memulai kembali sekolah tatap muka. Jika penularan terjadi pada anak yang jauh dari akses layanan kesehatan, perburukan bisa terjadi, bahkan bisa mengancam nyawa.
”Perlu disadari, Covid-19 ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di banyak daerah. Kasus MISC ditemukan di daerah pedalaman di Papua. Akhirnya anak tersebut harus diterbangkan sampai ke Jayapura karena tidak ada sarana yang memadai di tempat tinggalnya. Kondisi ini bisa terjadi di mana saja, sementara fasilitas layanan kesehatan untuk anak masih terbatas,” ucapnya.