Faktor Perilaku dan Varian Baru di Balik Tsunami Covid-19 India
Dua hari berturut-turut, India melaporkan rekor baru kasus Covid-19. Penyebaran varian baru dan perilaku abai masyarakatnya jadi kombinasi ledakan gelombang kedua wabah di India. Ini harus jadi pelajaran bagi Indonesia.
Rekor tertinggi kasus harian Covid-19 di India pecah pada Minggu (18/4/2021) dengan penambahan 275.306 kasus. Penambahan ini meningkat dibandingkan rekor sebelumnya pada Sabtu (17/4/2021) sebanyak 260.778 kasus. Kini, total kasus di India mencapai 15.061.919 orang, merupakan yang tertinggi di dunia setelah Amerika Serikat.
Seperti kasus harian yang merangkak naik, tingkat kematiannya juga melonjak menjadi 1.625 korban jiwa dalam sehari. Jumlah ini lebih tinggi dari rekor kematian harian saat puncak gelombang pertama wabah di India pada September 2020 lalu. Total kematian karena Covid-19 di India saat ini telah mencapai 178.793 orang.
Padahal, angka kematian ini belum sepenuhnya merekam situasi yang terjadi. Menurut laporan The Lancet Covid-19 Commission, India seharusnya sudah mencatat lebih dari 2.300 kematian tiap hari pada minggu pertama Juni 2020.
Dengan lonjakan kasus ini, India saat ini kesulitan tempat perawatan pasien. ”Situasinya sangat kritis, mengkhawatirkan. Oksigen tidak mencukupi,” kata Menteri Utama India Arvind Kejriwal, seperti ditulis Reuters.
Padahal, hampir satu dari empat tes virus memberikan hasil positif Covid-19, yang menunjukkan tingginya risiko penularan di komunitas. ”Tempat tidur yang dilengkapi dengan suplai oksigen, dan untuk perawatan kritis, terisi dengan cepat,” tambahnya.
Situasi ini menjadi ironi, karena pada awal Maret 2021 lalu, Menteri Kesehatan India Harsh Vardhan menyatakan bahwa negara itu ”berada di akhir permainan” pandemi Covid-19.
Vardhan juga memuji kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi sebagai ”contoh bagi dunia dalam kerja sama internasional terkait distribusi vaksin”. Sejak Januari 2021, India mulai mengirimkan vaksin ke negara-negara tetangga sebagai bagian dari diplomasi.
Hal itu disebabkan mereka terlalu cepat berpuas diri setelah melihat tren penurunan tajam infeksi yang dilaporkan. Sejak puncak rata-rata lebih dari 93.000 kasus per hari pertengahan September 2020, infeksi menurun. Pertengahan Februari lalu, India menghitung rata-rata 11.000 kasus sehari. Rata-rata kematian harian selama tujuh hari karena penyakit itu turun hingga di bawah 100 orang.
Euforia India telah sukses memberantas SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, telah terbangun sejak akhir tahun 2020 lalu. Politisi, pembuat kebijakan, dan bagian dari media percaya bahwa India benar-benar keluar dari masalah. Hal ini mendorong pelonggaran besar-besaran. Upacara keagamaan yang melibatkan massa dalam jumlah besar kembali digelar.
Baca Juga:
- Hong Kong Larang Penerbangan dari India
- Lonjakan Kasus Covid-19 di India Semakin Tak Terbendung
- Pelajaran dari India, Jangan Pernah Kendurkan Protokol Kesehatan
Pada akhir Februari, otoritas India mengumumkan pemilu penting di lima negara bagian yang melibatkan 186 juta orang pemilih. Kampanye telah dimulai dengan gencar, tanpa protokol keamanan dan jarak sosial.
Berikutnya, pertengahan Maret, dewan kriket mengizinkan lebih dari 130.000 penggemar, sebagian besar tanpa masker, untuk menonton dua pertandingan kriket internasional antara India dan Inggris di Stadion Narendra Modi di Gujarat.
Dalam waktu kurang dari sebulan, India menuai perilaku berpuas diri yang terlalu dini dalam perang melawan Covid-19. Akhir Maret, gelombang kedua virus mulai menerjang seiring kemunculan varian-varian baru.
Varian ganda
India sebenarnya mulai melaporkan adanya varian baru B.1.617 yang membawa mutasi ganda E484Q dan L452R sejak akhir Februari. Pada 24 Februari, mereka mendeteksi ”varian mutan ganda” dari 206 sampel di Negara Bagian Maharashtra yang paling parah terdampak wabah. Varian baru juga terdeteksi dalam sembilan sampel di New Delhi.
”Mutasi semacam itu kemungkinan bisa lolos dari antibodi. Mutasi ini telah ditemukan pada 15-20 persen sampel dan tidak cocok dengan varian yang telah dikatalogkan sebelumnya,” kata Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga India dalam pernyataan tertulis saat itu.
Namun, temuan saat itu cenderung diremehkan karena sejak saat itu pelonggaran aktivitas tetap dilakukan. Kini, varian baru dengan mutasi ganda itu diduga menjadi memicu gelombang baru infeksi yang lebih mematikan di India. ”Ini (B.1.617) adalah varian yang kami pantau,” kata Maria Van Kerkhove, Kepala Teknis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang Covid-19, kepada media pada Jumat (16/4/2021).
Mutasi semacam itu kemungkinan bisa lolos dari antibodi. Mutasi ini telah ditemukan pada 15-20 persen sampel dan tidak cocok dengan varian yang telah dikatalogkan sebelumnya.
”Memiliki dua dari mutasi ini, yang telah terlihat pada varian lain di seluruh dunia, sangat mengkhawatirkan,” kata Maria. Diduga, varian ini meningkatkan penularan serta mengurangi netralisasi antibodi sehingga sangat mungkin menghambat kemampuan vaksin.
Gautam Menon, profesor biologi yang pertama-tama mencermati varian ini, seperti dikutip BBC, mengatakan, India seharusnya memulai pengawasan genom yang cermat pada Januari untuk mendeteksi varian baru. ”Kami mengetahui varian baru pada Februari dari laporan dari Maharashtra. Ini awalnya dibantah oleh pihak berwenang. Ini adalah titik balik yang signifikan,” ungkapnya.
Pelajaran untuk Indonesia
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, varian baru sangat mungkin berada di balik gelombang kedua yang mematikan di India. Sebagaimana ditemukan dalam sejumlah studi, varian baru yang muncul secara simultan di sejumlah negara, seperti mutasi E484K, bisa memicu infeksi ulang, menyiasati antibodi, dan menurunkan efektivitas vaksin.
”Mutasi E484K ini juga sudah ditemukan di Indonesia, dari dua sampel, satu ditemukan di Batam dan satu di Jakarta,” kata Amin.
Untuk temuan di Batam, menurut Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, merupakan kasus impor, dibawa orang dari perjalanan luar negeri. Mutasi E484 di Batam ini berada dalam varian baru B.1525, yang awal mutasinya ditemukan di Inggris dan Nigeria.
Namun, Amin memaparkan, mutasi E484K yang ditemukan di Jakarta, persisnya dari pasien di Kalideres, diduga sudah berasal dari penularan lokal. ”Dari pengakuan pasiennya, yang sekarang sudah sembuh, dia tidak pernah melakukan perjalanan dari luar negeri atau memiliki kontak yang pernah dari luar negeri. Sehingga dugannya memang dari penularan lokal, atau bisa juga dari mutasi lokal,” katanya.
Sekalipun kemunculan varian baru ini sangat mencemaskan, yang menuntut penguatan surveilans genomik, menurut Amin, perilaku masyarakat tetap menjadi faktor utama penularan. ”Varian baru di India tidak akan berkembang pesat kalau tidak ada pelonggaran terlalu cepat dan masyarakat tetap taat protokol kesehatan. Mutasi hanya akan terjadi kalau terjadi replikasi, dan semakin tinggi kasusnya, peluang mutasi semakin tinggi,” ujarnya.
Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, melihat situasi di India ini, Indonesia jangan dulu melonggarkan pembatasan dan protokol kesehatan sekalipun kasus belakangan seolah terlihat turun. Apalagi, penurunan kasus di Indonesia belum didukung oleh tingginya pemeriksaan, seperti dilakukan India.
Selain itu, masyarakat jangan sampai mengendurkan protokol kesehatan. ”Mengindari kerumunan, menjaga jarak, dan memakai masker harus terus dilakukan sebagai kebiasan baru di masyatakat,” ujarnya.
Dicky juga mengingatkan, cakupan vaksin di Indonesia masih sangat kecil dan sangat jauh untuk mencapai herd immunity (kekebalan kawanan). ”Cakupan imunisasi di Indonesia baru sekitar 3 persen, hampir sama dengan India. Amerika Serikat saja dengan cakupan vaksin sudah 20 persen wabahnya belum masuk kategori terkendali. Negara yang dianggap bisa mengendalikan kasusnya dengan cakupan vaksin sekitar 50 persen baru Israel,” katanya.
Belajar dari India, kita tidak boleh mengumumkan kemenangan atas virus secara prematur dan masih harus waspada untuk menghindari tsunami wabah yang bisa lebih mematikan....