Perlindungan terhadap Pejuang Lingkungan Masih Semu
Perlindungan pejuang lingkungan hanya sebatas di atas kertas. Kenyataannya, masih banyak aktivis atau pejuang lingkungan yang dikriminalisasi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Perlindungan bagi para pejuang lingkungan hingga kini masih sebatas regulasi yang mandek. Kenyataannya, para pejuang ini terbentur begitu banyak kendala hingga kriminalisasi. Di Kalteng, jejak kriminalisasi melekat hampir di setiap konflik.
Kalimantan Tengah merupakan salah satu wilayah dengan kawasan hutan besar dan ratusan kilometer sungai panjang di Indonesia. Persoalan lingkungan di wilayah ini sangat rumit mulai dari pencemaran, deforestasi, hingga bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan.
Tak hanya itu, persoalan lingkungan selalu diikuti dengan konflik antara masyarakat dan pemegang izin, bahkan pemerintah. Kompas dalam lima tahun terkahir mencatat setidaknya tiga kasus besar di Kalteng yang mencuat karena proses kriminalisasi.
Kami sadar betul hutan kami akan habis, itu yang kami perjuangkan. Tanpa hutan itu, anak-cucu kami hanya akan mendapatkan bencana.
Beberapa contohnya adalah James Watt dan dua kawannya di Desa Penyang, Kotawaringin Timur, Kalteng, yang dinyatakan bersalah dan dipenjara maksimal 10 bulan karena dituduh mencuri buah sawit milik perusahaan perkebunan di sekitar desa. Lalu, ada Wardian di Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, yang dipenjara 6 bulan karena dituduh mencuri sawit juga. Terakhir, ada kasus Effendi Buhing yang sempat ditangkap karena tuduhan serupa.
”Kami tidak mungkin mencuri di lahan sendiri. Perusahaanlah yang masuk ke kebun-kebun kami, lahan yang selama ini kami jaga turun-temurun,” kata James Watt saat ditemui Kompas, Senin (11/1/2021).
James menjelaskan, ia menghabiskan 10 bulan penjara dengan terus memikirkan nasib keluarga dan masyarakat yang ia bela. Ia memang sudah dibebaskan pada 27 Desember 2020, tetapi ia masih berjuang di Mahkamah Agung karena yakin dirinya tidak bersalah.
”Kami sadar betul hutan kami akan habi, itu yang kami perjuangkan. Tanpa hutan itu, anak-cucu kami hanya akan mendapatkan bencana,” kata James Watt.
James dihukum 10 bulan penjara, sedangkan Dilik, kawannya, dihukum 8 bulan penjara. Sayangnya, Hermanus, salah satu warga Penyang yang dipenjara, meninggal saat masih dalam masa tahanan dan proses persidangan.
Hal serupa juga menimpa Wardian yang memperjuangkan lahan leluhurnya di Desa Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalteng. Ia meninggalkan keluarganya karena menjalani masa tahanan.
Koordinator Save Our Borneo (SOB) Safrudin mengatakan, tak hanya pejuang individu yang terancam kriminalisasi. Banyak sekali lembaga dan organisasi yang bergerak di bidang lingkungan mendapatkan ancaman dari korporasi.
Menurut Safrudin, tindakan yang mengancam organisasi ataupun individu yang memperjuangkan lingkungan itu bisa disebut strategic lawsuit against public participation (SLAPP). Hukum disalahgunakan oleh pemilik kepentingan, seperti perusahaan ataupun kelompok kecil yang sedang berkuasa untuk membatasi partisipasi dan kritik publik.
”Jadi, SLAPP yang di dalamnya termasuk upaya kriminalisasi ini sangat mengancam aktivis atau para pejuang lingkungan yang kritis menyuarakan kebenaran dalam mengungkap kejanggalan atau bahkan kejahatan lingkungan hidup dan HAM oleh korporasi/pengusaha, bahkan aparat,” tutur Safrudin.
Safrudin menambahkan, di Indonesia terdapat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal 66 di aturan itu mengatur mengenai perlindungan terhadap pejuang lingkungan. Hal itu dikenal dengan konsep Anti SLAPP.
Terdapat dua alasan, lanjut Safrudin, maraknya kriminalisasi bahkan SLAPP terjadi di Indonesia, khususnya di Kalteng, yakni upaya membungkam para aktivis dan lemahnya penegakan hukum dan pelayanan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya dengan benar.
”Ketika diproses hukum masalah sebenarnya menjadi kabur sehingga fokusnya bergeser ke persoalan hukum,” kata Safrudin.
Menurut Safrudin, pemerintah perlu menjalankan aturan dan memiliki komitmen untuk melindungi kekayaan alam di Indonesia bagi masyarakat dari generasi ke generasi. Perlu ada peningkatan kapasitas dan pengetahuan aparatur penegak hukum terkait aturan dan kebijakan yang berlaku, khususnya soal perjuangan lingkungan.
”Para aktivis pun tidak boleh takut, apalagi mundur. Orang Dayak menyebutnya isen mulang atau pantang mundur,” kata Safrudin.