2020 Kelabu, 2021 Belum Pasti
Sepanjang tahun 2020, kita terbelenggu oleh wabah Covid-19 sehingga mengubah rutinitas sehari-hari dan tatanan kehidupan. Meski sudah ada vaksin, kita masih diliputi ketidakpastian menghadapi pandemi ini.
Pada awal tahun ini, tak terbayangkan kita mesti menjalani 2020 dalam belenggu wabah yang mengubah hampir semua rutinitas. Tiap hari kita mendengar tentang kasus yang bertambah dan meninggal dunia karena Covid-19. Kini, sekalipun sudah datang vaksin, kita masih harus menghadapi tahun 2021 dengan penuh ketidakpastian.
Wabah virus korona baru SARS-CoV-2 yang memicu Covid-19 dideteksi pertama kali di kota Wuhan, China, pada Desember 2019, wabah kini meluas di seluruh penjuru dunia. Pada Rabu (15/12/2020), Covid-19 telah menginfeksi 73,89 juta orang dan menewaskan 1,64 juta jiwa.
Di Indonesia, penambahan kasus harian rata-rata di atas 5.000 orang dan korban jiwa yang dilaporkan rata-rata 150 orang per hari. Menurut laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 berbasis data Kementerian Kesehatan (Kemkes), total kasus di Indonesia mencapai 636.154 dan korban meninggal 19.248 jiwa.
Jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia berada di peringkat ke-19, terbanyak di dunia dan merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara, dan peringkat ketiga di Asia. Sementara jumlah korban jiwa di Indonesia merupakan terbanyak ke-17 di dunia.
Baca juga: Penularan Meluas, Evaluasi Libur Panjang
Jumlah kasus dan kematian terkait dengan Covid-19 di Indonesia dipastikan jauh lebih tinggi dari yang dilaporanan Kemenkes. Data Lapor Covid-19, yang dikumpulkan dari laporan pemerintah kabupaten/kota menunjukkan, jumlah korban jiwa d,engan status positif Covid-19 mencapai 22.248 orang. Sebulan terakhir, rata-rata penambahan korban jiwa 250 orang per hari, dibandingkan dengan laporan Kemenkes yang sekitar 150 orang per hari.
Sementara yang meninggal dengan status diduga Covid-19 sebanyak 3.512 orang dan suspek sebanyak 6.052 orang. Maka, total kematian terkait dengan Covid-19 di Indonesia sebanyak 31.812 orang, padahal masih ada 87 kota/kabupaten yang belum memutakhirkan datanya.
Riset terbaru kolaborasi peneliti Eijkman Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) bersama Lapor Covid-19 dan sejumlah peneliti lain menunjukkan, total kematian di Jakarta selama 10 bulan pertama tahun ini 42.460 jiwa, berlebih 61 persen dibandingkan dengan rata-ratanya dalam lima tahun terakhir sebanyak 26.342 orang. Data ini menunjukkan, dampak Covid-19 jauh lebih dalam dari yang dilaporkan dan diketahui publik.
Pilihan komunikasi risiko yang cenderung tidak transparan terhadap data ini diinspirasi dari pemikiran pendeta dan psikoterapis Anthony de Mello dalam buku spiritualnya, The Heart of the Enlightened (1967), yang dikutip dalam Lampiran Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/199/2020 tentang Komunikasi Penanganan Covid-19. Kutipan yang diambil dalam panduan komunikasi risiko ini ialah jumlah korban bisa menjadi lima kali lipat kalau terjadi ketakutan dalam menghadapi wabah.
Baca juga: Mengamankan Langkah Awal Dunia Memulihkan Diri dari Pandemi
Padahal, dengan menutupi skala sesungguhnya dari wabah dan risiko, masyarakat mungkin tidak panik. Namun, hal ini bisa memicu pengabaian risiko. Bagaimana mau mengajak masyarakat taat protokol kesehatan jika bahaya dan dampak wabah tak dibuka transparan?
Momentum yang hilang
Selain persoalan komunikasi risiko, kegagalan kita mengendalikan pandemi adalah keterbatasan kapasitas. Tes swab dengan analisis metode reaksi rantai polimerase atau PCR yang menjadi kunci deteksi Covid-19 menjadi titik lemah yang belum tertangani hingga hampir setahun pandemi.
Dengan menutupi skala sesungguhnya dari wabah dan risiko, masyarakat mungkin tidak panik. Namun, hal ini bisa memicu pengabaian risiko.
Indonesia negara paria dalam jumlah orang yang diperiksa per populasinya, yaitu peringkat ke-160 dari 218 negara. Indonesia juga belum memenuhi ambang minimal yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 1 tes per 1.000 orang per pekan. Selain jumlahnya yang terbatas, cakupannya juga tidak merata dan pelaporannya masih lama.
Padahal, persoalan tes ini menyebabkan sulitnya proses pelacakan kontak dan isolasi untuk memutus rantai penularan, serta penanganan dini pasien, yang memicu tingginya kematian. Tak mengherankan, tingkat kematian Covid-19 di Indonesia 3,03 persen, lebih tinggi dari rata-rata global 2,2 persen.
Pemodelan epidemiologi oleh Imperial College London (ICL) menunjukkan, penambahan kasus Covid-19 di Indonesia seharusnya mencapai 58.000 per hari atau 10 kali lipat dari yang dilaporkan. Bahkan, pemodelan oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) menunjukkan, kasus di Indonesia bisa mencapai 66.000 per hari.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga, situasi Covid-19 di Indonesia saat ini merupakan yang paling mengkhawatirkan, dengan puncak gelombang wabah yang belum diketahui.
Indonesia memang kehilangan momentum untuk menahan meluasnya wabah. Belajar dari sejumlah negara lain yang sukses menekan jumlah kasus dan korban jiwa, seperti Vietnam, Taiwan, dan Thailand, cara terbaik menghadapi penyakit menular seperti Covid-19 ialah bertindak lebih awal dan cepat saat episenter wabah masih kecil.
Baca juga: Tantangan 2021: Beradaptasi dan Kolaborasi atau Terseleksi Pandemi
Seperti kita ketahui, selama bulan Januari-Februari, kita terlambat mendeteksi dini masuknya Covid-19 di Indonesia. Selain karena kegagalan pemeriksaan spesimen yang saat itu dimonopoli Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes, hal ini juga karena cenderung mengingkari risiko.
Para pejabat negara berulang kali menyampaikan narasi mengecilkan risiko Covid-19, bahkan berulang kali Menkes Terawan Putranto menyampaikan, Covid-19 tidak perlu ditakutkan, di antaranya karena bisa sembuh sendiri dan tingkat kematiannya kecil. Maka, saat negara lain memperketat perbatasan, kita justru membuka lebar pintu masuk dari orang asing, bahkan menggelontorkan dana untuk promosi wisata.
Ketika kemudian kasus pertama dan kedua diidentifikasi pada awal Maret lalu, wabah sudah meluas di Indonesia. Kajian EOCRU dan Lapor Covid-19 menunjukkan, pada pertengahan Januari mulai terjadi lonjakan kematian di Jakarta. Jika periode 2015-2019 rata-rata penguburan di Jakarta sekitar 600 per minggu, pada pertengahan Januari 2020 jumlah kematian melonjak hampir 800 penguburan dalam seminggu.
Di sisi lain, kapasitas pemeriksaan yang terbatas membuat laju penularan lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan kita menemukan mereka yang terpapar, mengisolasi, atau mengobatinya. Dampaknya, selain meningkatkan risiko kematian, adalah sulitnya memutus laju penularan.
Apalagi, upaya pembatasan sosial yang dilakukan juga setengah hati karena kekhawatirkan pada dampak ekonomi. Pemilihan kepala daerah tetap dilangsungkan saat pandemi, selain juga promosi liburan panjang yang memicu mobilitas dan kerumunan.
Dampaknya, pandemi Covid-19 saat ini meluas, ditandai dengan beberapa kali pecahnya rekor penambahan kasus harian dan jumlah korban meninggal dunia. Sekalipun jumlah pemeriksaan mulai meningkat, rasio kasus positif (positivity rate) meninggi mencapai 18,2 persen dalam sepekan terakhir, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.
Realistis pada vaksin
Di tengah kondisi ini, vaksinasi menjadi tumpuan pemerintah untuk mengakhiri pandemi. Kabar baiknya, Presiden Joko Widodo pada Rabu (16/12) bakal menggratiskan semua vaksin Covid-19. Namun, ketersediaan vaksin yang bermutu ialah aman dan memiliki kemanjuran tinggi masih jadi tanda tanya.
Pemerintah tidak bisa hanya bertumpu pada vaksin Sinovac yang sudah didatangkan dari China. Namun, hasil uji klinis fase ketiga vaksin itu belum keluar sehingga otorisasi penggunaannya belum bisa diberikan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Vaksin itu juga memiliki sejumlah kelemahan, antara lain vaksin ini hanya bisa diberikan untuk mereka yang berumur 19-59 tahun karena uji klinisnya hanya ditargetkan untuk rentang usia ini.
Baca juga: Hasil Uji Klinis Vaksin Covid-19 Buatan Sinovac Dijadwalkan Sesuai Target
Indonesia juga menghadapi banyak tantangan teknis terkait vaksin. Secara global, produksi vaksin pada 2021 diperkirakan hanya akan terpenuhi separuh dari kebutuhan global dan vaksin-vaksin yang terbukti memiliki efikasi baik sebagian besar sudah dipesan negara maju. Paling cepat, Indonesia diperkirakan baru mendapat kecukupan vaksin berkualitas baik pada awal tahun 2022.
Melihat situasi ini, kita harus realistis untuk menjalani tahun 2021 dengan strategi dasar pengendalian wabah melalui 3 M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak). Sementara pemerintah berkewajiban meningkatkan 3 T (test, tracing, dan treatment) dan jika kasus telanjur membesar seperti saat ini, perlu memperketat pembatasan sosial.
Sejumlah negara terbukti berhasil mengendalikan pandemi dengan dua strategi ini, bukan melalui vaksin, di antaranya China. Jika sekali lagi kita gagal membangun komunikasi risiko yang benar kepada masyarakat dengan menjadikan vaksin sebagai peluru perak mengakhiri pandemi dan abai dengan 3M dan 3T, kita harus bersiap melihat lonjakan kasus dan kematian lebih banyak.
Kenyataan ini harus dikomunikasikan dengan baik kepada publik agar terbangun sikap mental untuk bersama-sama menghadapi krisis. Seperti direkomendasikan peneliti komunikasi bencana Matthew Collins, Karen Neville, William Hynes & Martina Madden (Journal of Decision System, 2016), dalam menghadapi bencana, komunikasi krisis harus disampaikan dengan informatif, selain jujur dan transparan. Dengan komunikasi tepercaya, partisipasi publik sebagai garda depan menghadapi pandemi bakal lebih baik.