Mengamankan Langkah Awal Dunia Memulihkan Diri dari Pandemi
Ketika vaksin Covid-19 jadi rebutan sejumlah negara, vaksin bisa dijadikan kekuatan lunak dan alat diplomasi. Melalui diplomasi vaksinnya, China disebut-sebut berambisi melebarkan pengaruhnya.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
Ketika terlewati dua pekan lagi, tahun 2020 akan menjadi tahun yang tak ingin dikenang oleh warga dunia. Jika 2020 diumpamakan film distopia, tulis majalah Time yang menyebut 2020 sebagai tahun terburuk yang pernah ada, orang mungkin tak mau lagi menontonnya setelah 20 menit.
Konflik, rivalitas antar-kekuatan utama, pertempuran, pertarungan elite politik di sejumlah negara, krisis pengungsi, hingga bencana alam mewarnai lembaran dunia dari tahun ke tahun. Tak terkecuali tahun 2020. Rivalitas AS-China terus memanas, medan konflik bersenjata meluas, pengungsi mencapai rekor—sesuai data UNHCR—lebih dari 80 juta jiwa, bencana alam dari topan hingga kebakaran membawa kerugian yang tak terhitung besarnya.
Akan tetapi, tak ada yang sedahsyat dan sedramatis pandemi Covid-19 dalam menghadirkan pukulan bagi dunia tahun ini. Sejak kemunculan Covid-19 di China pada Desember 2019, ada 71,69 juta orang terinfeksi di lebih dari 210 negara dan teritori dan sedikitnya 1,6 juta orang meninggal per 15 Desember. Tak hanya di bidang kesehatan, pandemi Covid-19 juga memukul ekonomi, tata sosial, migrasi, transportasi, pendidikan, dan semua aspek kehidupan warga dunia.
Setahun di bawah cengkeraman pandemi mengajarkan pada kita, kekuatan ekonomi dan status adidaya sebuah negara bukan jaminan bisa mengendalikannya. Kemampuan negara menghadapi pandemi, seperti diamati Francis Fukuyama, ditentukan tiga hal: aparatur negara yang kompeten, pemerintahan yang dipercaya warganya, dan pemimpin yang efektif (Foreign Affairs, Juli/Agustus 2020).
Kita mencatat negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis masuk dalam daftar negara paling terdampak serta terseok-seok mengendalikan pandemi, selain India, Rusia, Brasil, Meksiko, Italia, Iran, Spanyol, dan sebagainya. Fenomena di AS menyajikan wajah ironis sekaligus contoh paling nyata betapa faktor kepemimpinan bisa menjadi hambatan besar dalam penanganan pandemi meski negara memiliki dana melimpah, segudang pakar, dan hasil riset medis.
Di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, AS menjadi negara paling parah terdampak pandemi dengan korban jiwa sudah menembus 300.000 orang dari 16,5 juta kasus Covid-19. Pandemi pun membuka mata dunia soal ketidakmampuan sejumlah pemimpin populis menangani pandemi. Selain Trump di AS, para pemimpin populis, seperti Narendra Modi di India, Jair Bolsonaro di Brasil, dan Andres Manuel Lopez Obrador di Meksiko tertatih-tatih mengendalikan pandemi.
Penanganan pandemi menuntut sikap respek pada sains dan kepakaran. Kecenderungan pemimpin populis mengabaikan kepakaran ahli sangat berbahaya di tengah pandemi terkait dengan kebijakan yang mereka ambil. Trump harus membayar kegagalan mengendalikan pandemi dengan tak dipilih lagi oleh rakyat AS, yang kini lebih percaya kepada Joe Biden, dalam pemilu.
Tantangan 2021
Menjelang pergantian tahun, muncul secercah harapan bagi dunia untuk keluar dari lorong gelap pandemi. Penemuan vaksin Covid-19 dalam hitungan bulan—bukti kekuatan kolaborasi saintifik—yang segera diiringi vaksinasi di sejumlah negara menjadi langkah awal pemulihan dunia dari pandemi.
Tahun 2021 bakal ditandai dengan vaksinasi global. Serum Institute, produsen vaksin terbesar dunia dari segi jumlah dosis, memperingatkan tidak akan tersedia cukup vaksin untuk menyuntik semua warga dunia. Hingga 2024, dibutuhkan vaksinasi setidaknya untuk 70 persen populasi dunia.
Langkah COVAX, aliansi global untuk pemerataan vaksin Covid-19 ke seluruh dunia, masih dinanti hasilnya. Bukan itu saja. Pada tahun ketika vaksin Covid-19 jadi rebutan sejumlah negara, vaksin bisa dijadikan kekuatan lunak (soft power) dan alat diplomasi. Melalui diplomasi vaksinnya, China disebut-sebut berambisi melebarkan pengaruh—jika tidak dikatakan, berupaya merebut kepemimpinan—di dunia.
Ambisi itu bakal menempatkan China dalam posisi berhadapan dengan pemerintahan baru AS di bawah Biden, yang telah mencanangkan tekad negaranya untuk kembali menjadi pemimpin dunia. Rivalitas yang tak terkendali antara AS dan China pasti berdampak langsung bagi kawasan. Di ASEAN, termasuk Indonesia yang selalu diharapkan menjadi pemimpin tradisional di kawasan, harus berperan. Jangan sampai rivalitas itu mengeras saat dunia baru memulai pemulihan diri dari pandemi.