Vaksin Disarankan Prioritas bagi Orang dengan Penyakit Penyerta
Penduduk yang memiliki penyakit penyerta, terutama diabetes melitus, berisiko tinggi mengalami perburukan Covid-19. Karena itu, mereka sebaiknya menjadi prioritas mendapat vaksin untuk mencegah penyakit tersebut.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk menekan risiko kematian, vaksin Covid-19 disarankan untuk diberikan kepada mereka yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid, khususnya diabetes. Sebab, mereka memiliki risiko keparahan tiga kali lipat.
Sementara untuk memenuhi terbentuknya kekebalan komunitas, vaksin harus diberikan secara masif sebelum terjadi infeksi ulang. Selama hal itu belum tercapai, penerapan protokol kesehatan harus tetap dijalankan.
”Secara teoretis karena reproduction number (waktu penggandaan) SARS-CoV-2 sekitar dua hingga tiga, maka 70 persen dari populasi harus diimunisasi agar penularan bisa dihentikan. Untuk Indonesia butuh hampir 200 juta dosis,” kata epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad, dalam diskusi daring yang diadakan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Senin (7/12/2020).
Cakupan vaksin ini, kata Riris, harus dicapai dalam waktu singkat, tergantung dari imunitas vaksin bisa bertahan. Jika cakupan imunisasi ini gagal diberikan, hingga terjadi kembali infeksi ulang, vaksin bisa gagal menciptakan kekebalan komunitas (herd immunity) dan memutus rantai penularan.
”Seberapa cepat vaksin bisa menjangkau 70 persen populasi juga menentukan. Padahal, ada kapasitas produksi yang terbatas,” tuturnya.
Sementara itu, epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, memaparkan, sebanyak 1,2 juta dosis vaksin Sinovac yang telah didatangkan dari China tetap belum bisa digunakan sebelum ada laporan hasul uji klinis fase ketiga.
Karena reproduction number (waktu penggandaan) SARS-CoV-2 sekitar dua hingga tiga, maka 70 persen dari populasi harus diimunisasi agar penularan bisa dihentikan.
”Kita harus hati-hati karena data penggunaan dengan otorisasi darurat (UEA) di China tidak dibuka sehingga tidak ada laporan ilmiahnya, padahal itu sudah sejak Juli 2020. Sementara itu, dari laporan uji klinis tahap kedua, antibodi yang dihasilkan vaksin Sinovac lebih rendah dari yang lain,” ujarnya.
Dicky mengatakan, mendatangkan vaksin sebelum uji klinis fase ketiga rampung merupakan pertaruhan besar dari segi biaya. ”Kalau ternyata nanti efikasinya rendah, yaitu di bawah 50 persen, vaksin ini tidak akan efektif,” ujarnya.
Prioritas penerima
Kajian penelitian terbaru di jurnal Diabetes Care, yang diterbitkan The American Diabetes Association, menyebutkan, penderita diabetes tipe 2 berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi serius jika terpapar Covid-19. Karena itu, untuk mencegah tingkat kematian, vaksin disarankan diutamakan bagi penderita diabetes.
”Data kajian kami ini mendukung untuk memprioritaskan pemberian vaksin pada individu yang memiliki diabetes tipe 1 atau tipe 2 dan mereka yang berisiko tinggi lain, seperti penderita penyakit jantung atau paru-paru,” kata Justin Gregory, peneliti dari Vanderbilt University Medical Center, penulis pertama paper ini.
Kesimpulan ini diperoleh setelah tim peneliti menganalisis catatan kesehatan elektronik (EHR) lebih dari 6.000 pasien Covid-19 di 137 tempat perawatan selama periode dari pertengahan Maret hingga Agustus 2020. Kemudian tim menggali catatan medis pasien dan mengidentifikasi faktor risiko tambahan.
Mereka membandingkan dampak keseluruhan Covid-19 untuk tiga populasi, yaitu individu dengan diabetes tipe 1, individu dengan diabetes tipe 2, dan mereka yang tidak menderita diabetes. Hasilnya, penderita diabetes, baik tipe 1 maupun tipe 2, tiga kali lebih berisiko mengalami keparahan jika terpapar Covid-19.
Kendalikan penularan
Riris juga mengingatkan, saat ini kita perlu lebih fokus mengendalikan penularan di hulu karena jumlah pasien yang perlu perawatan terus bertambah sehingga memenuhi rumah sakit. ”Misalnya di Yogyakarta, beberapa kali terjadi rekor baru. Satu sisi karena tes meningkat, tetapi ini menandai meluasnya penularan,” ujarnya.
Hal itu terjadi karena penegakan aturan tidak konsisten. ”Tidak ada evaluasi dan ketegasan terhadap pelanggaran protokol kesehatan. Kalaupun melakukan protokol kesehatan, kalau mobilitas sangat tinggi seperti sekarang, penularan pasti tinggi. Apalagi ada libur panjang dan wisatawan,” katanya.
Pada awal pandemi, April-Maret 2020, penularan cukup terkendali karena 60-70 persen orang di rumah. Namun, data mobilitas di Google menunjukkan, proporsi penduduk yang di rumah saat ini hanya tinggal 11 persen.
”Selain harus terapkan 3M (masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan), saat situasi penularan tidak terkendali seperti sekarang, upaya memaksa orang tinggal di rumah minimal dua minggu menjadi penting,” tuturnya.
Koordinator Rumah Sakit Darurat Covid-19 Tugas Ratmono menambahkan, tingkat hunian pasien di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet di Kemayoran, Jakarta Pusat, terus meningkat.
”Pasien yang masuk sehari bisa 400 per hari dan sekali datang bisa 100-an. Selama Oktober sebelum liburan sampai 1 November betul-betul turun. Mencapai 17 persen di ruang isolasi dan di ruang perawatan hanya 32 persen. Saat ini melonjak tinggi karena penularan memang tinggi,” katanya.
Setelah ditambah kapasitasnya, ketersediaan rumah sakit darurat Covid-19 di Wisma Atlet yang menangani gejala ringan dan sedang huniannya telah mencapai 57,44 persen. Sementara tingkat keterisian ruang isolasi 52,7 persen.
Tugas menjelaskan, rumah sakit berada di hilir, sekalipun terus ditambah tidak akan cukup jika pasien terus bertambah. Apalagi, tenaga kesehatan terbatas. ”Seperti sering saya sampaikan, bagaiman mencegah dan menghambat, serta memutus rantai penularan menjadi sangat penting agar rumah sakit tidak penuh,” katanya.