Penyusunan PP Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar Terbuka
Keterbukaan pemerintah dalam penyusunan tiga peraturan pemerintah sebagai pelaksana UU Cipta Kerja di bidang lingkungan hidup dan kehutanan ditagih.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah disahkan dan ditandatangani presiden akan menerbitkan 40 aturan turunan, termasuk di sektor lingkungan hidup dan kehutanan. Selain daya dukung dan daya tampung lingkungan, ketentuan lainnya yang ditegaskan dalam peraturan pemerintah sebagai aturan turunan ini adalah tentang perbedaan fungsi hutan dengan status kawasan hutan.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University Dodik Ridho Nurrochmat menyampaikan, secara umum, penyusunan rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai aturan turunan atau pelaksana UU Cipta Kerja kurang transparan ke publik. Padahal, RPP menjadi aturan yang akan menuangkan secara detail terkait substansi UU Cipta Kerja.
”Sebenarnya substansi ini justru yang seharusnya dilihat dengan cermat adalah di peraturan pemerintah karena banyak sekali ujung pengaturannya ada di PP. Jadi, sebenarnya kurang pas untuk memperdebatkan isi UU Cipta Kerja secara detail karena secara substansi pengaturannya ada di PP yang sampai saat ini belum begitu jelas penyusunannya,” ujarnya di Bogor, Selasa (3/11/2020).
Menurut Dodik, dari hasil audiensinya terakhirnya dengan KLHK, akan ada tiga rancangan peraturan pemerintah besar sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja di sektor lingkungan hidup dan kehutanan. RPP besar tersebut akan menuangkan aturan tentang pemanfaatan, konservasi, dan penegakan hukum.
Pengesahan UU Cipta Kerja tidak hanya berdampak pada ketentuan lingkungan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, UU Cipta Kerja juga mengubah sejumlah substansi yang tertuang dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan UU No 19/2004.
Salah satu perubahan yang paling disoroti ialah Pasal 18 UU Kehutanan. Pasal tersebut menyatakan bahwa pemerintah menetapkan dan mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan berdasarkan daerah aliran sungai (DAS) atau pulau untuk optimalisasi manfaat lingkungan, sosial, maupun ekonomi masyarakat setempat.
Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan dihapus. Sementara pengaturan persentase luas untuk mempertahankan kawasan hutan ini diserahkan kepada pemerintah pusat yang dituangkan dalam PP.
Dodik berharap, ketentuan mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan benar-benar dituangkan dalam PP. Selain itu, ketentuan yang juga perlu ada dan ditegaskan dalam PP adalah tentang daya dukung dan daya tampung lingkungan serta perbedaan fungsi hutan dengan status kawasan hutan.
Substansi yang sangat pokok dicantumkan ialah harus secara tegas membedakan fungsi hutan dengan status kawasan hutan. (Dodik Ridho Nurrochmat)
”Substansi yang sangat pokok dicantumkan ialah harus secara tegas membedakan fungsi hutan dengan status kawasan hutan. Jadi, yang masuk kawasan hutan dalam UU Kehutanan sebenarnya bukan hanya hutan negara, melainkan juga hutan tetap. Hanya memang sekarang seolah-olah kawasan hutan itu hanya terbatas pada kawasan hutan negara,” tuturnya.
Ia mengatakan, penegasan aturan tersebut dalam PP sangat penting karena selama ini banyak terjadi perubahan atau perpindahan status kawasan hutan. Padahal, seharusnya perpindahan status kawasan hutan tidak mengubah fungsi hutan tersebut.
”Perubahan status hutan ini sama halnya dengan orang menjual sawah. Sebenarnya boleh jual beli sawah, tetapi tidak boleh dikonversi menjadi rumah jika di dokumen tata ruang peruntukannya bukan sebagai perumahan. Jadi, perubahan ini tidak perlu dirisaukan asalkan kita benar-benar menjaga dengan ketat fungsi pokoknya,” ungkapnya.
Cacat hukum
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati menyatakan, pihaknya tidak melihat adanya harapan pada aturan turunan dari UU Cipta Kerja sebagai dokumen induk. Sebab, penyusunan UU Cipta Kerja dinilai sudah cacat secara hukum dan kehilangan legitimasinya.
”Jika kita masih bersepakat mengakui adanya keberadaan NKRI, UU Cipta Kerja ini patut diabaikan. Hal ini karena dalam pembuatannya sudah memorakporandakan tata aturan penyusunan perundang-undangan dan tata aturan bernegara yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para pejabat negara,” ujarnya.
Saat ini, Walhi belum memikirkan langkah untuk mengajukan uji materi (judicial review) UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi karena mereka memandang tidak adanya legitimasi dalam aturan ini. Di sisi lain, Walhi akan terus melakukan literasi kepada masyarakat terkait kecacatan penyusunan maupun isi dari UU Cipta Kerja.
Sementara itu, saat dihubungi, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyanto maupun pejabat KLHK lainnya tidak memberikan jawaban ataupun tanggapan terkait perkembangan penyusunan RPP UU Cipta Kerja di sektor lingkungan hidup dan kehutanan.
Menurut siaran pers KLHK pada 14 Oktober 2020, KLHK telah membentuk Tim Penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Pertama, untuk RPP Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kedua RPP Bidang Kehutanan, dan ketiga RPP Bidang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Denda Administratif.
Dalam siaran pers tersebut, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengungkapkan bahwa KLHK telah dan sedang melakukan kompilasi masukan dari ruang publik atas rencana penyusunan RPP. Kemudian penyelesaian kompilasi substansi dan pembulatan (draf awal), yang selanjutnya akan dilakukan Rapat Pimpinan untuk menyusun pembulatan draf di tingkat KLHK.
Berikutnya draf akan dikonsultasikan kepada akademisi/pakar/praktisi/pemerhati dan pemangku kepentingan lain, untuk kemudian juga akan didiskusikan/dikonsultasikan kepada publik. Setelah itu, juga akan diharmonisasikan dengan kementerian/lembaga serta pemerintah daerah. Hasil akhir draf tersebut, KLHK akan laporkan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.