RUU Cipta Kerja menghapus aturan menjaga minimal 30 persen luas hutan di suatu pulau. Bila tak ada batasan, ini dikhawatirkan kian menurunkan ketahanan ekosistem dari bencana. Harapan ada pada PP yang disusun pemerintah.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang 5 Oktober 2020 lalu telah disetujui DPR untuk disahkan, menghapus ketentuan yang menyatakan bahwa pemerintah menetapkan dan mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan. Dihapusnya ketentuan ini memberikan peluang yang besar bagi pemerintah pusat melakukan diskresi atau kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam melepas kawasan hutan untuk kegiatan ekonomi.
Pengesahan UU Cipta Kerja tidak hanya berdampak pada ketentuan lingkungan yang terdapat pada Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, UU Cipta Kerja juga mengubah sejumlah substansi yang tertuang dalam UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan UU 19/2004.
Salah satu perubahan yang paling disoroti ialah Pasal 18 UU Kehutanan. Pasal tersebut menyatakan bahwa pemerintah menetapkan dan mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan berdasarkan daerah aliran sungai (DAS) atau pulau untuk optimalisasi manfaat lingkungan, sosial, maupun ekonomi masyarakat setempat.
Menurut penjelasan di dokumen UU Kehutanan, tujuan menetapkan dan mempertahankan minimal 30 persen ini yaitu Indonesia memiliki intensitas hujan yang tinggi yang berpotensi menyebabkan bencana banjir hingga sedimentasi. Ketentuan di UU Kehutanan juga menegaskan agar persentase minimal tersebut tidak dikurangi meski dengan berbagai pertimbangan seperti kondisi fisik, iklim, penduduk, maupun keadaan warga di setiap daerah.
Namun, dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan dihapus. Sementara pengaturan persentase luas untuk mempertahankan kawasan hutan ini diserahkan kepada pemerintah pusat yang dituangkan dalam peraturan pemerintah (PP).
Dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja dijelaskan, penghapusan minimal 30 persen dilakukan karena ketentuan tersebut dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan saat ini. Sebagai contoh, di Pulau Jawa kawasan hutannya sudah berkurang lebih dari 30 persen. Oleh karena itu, penetapan persentase disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi setiap daerah.
Guru besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo menyampaikan, dihapusnya ketentuan ini memberikan peluang yang besar bagi pemerintah pusat melakukan diskresi dalam melepas kawasan hutan untuk kegiatan ekonomi. Konflik kepentingan juga berpotensi muncul karena dalam penetapan kecukupan kawasan hutan tersebut perlu mempertimbangkan adanya proyek strategis nasional.
Hariadi menegaskan, PP turunan ketentuan tersebut sebaiknya menetapkan aturan hutan tetap sesuai mandat UU Kehutanan. Aturan hutan tetap itu di antaranya memastikan luas hutan lindung dan konservasi tidak dapat berkurang, ada upaya resolusi konflik dan pemulihan fungsi hutan, serta memperkuat kapasitas lembaga negara yang mengelola ketentuan hutan tersebut.
“Yang perlu menjadi catatan, proses pembuatan peraturan pemerintah ini perlu terbuka kepada publik dan bukan hanya antarkementerian saja,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (9/10/2020).
Meningkatkan potensi bencana
Anggota Komisi IV DPR RI Darori Wonodipuro menyatakan, dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja di sektor kehutanan, sejumlah fraksi menyatakan tetap mempertahankan aturan penetapan minimal 30 persen kawasan hutan tersebut. Namun, pada akhirnya keputusan politis membuat aturan tersebut tetap dihapus dalam UU Cipta Kerja.
Darori menjelaskan, ketentuan penetapan 30 persen tersebut menjadi parameter untuk mengukur tiap DAS saat terjadi banjir. Bahkan, persentase ini seharusnya terus ditingkatkan. Akan tetapi, ia juga menyadari bahwa ketetapan tersebut hanya bisa diterapkan di daerah yang memiliki kawasan konservasi yang luas seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Selain itu, tidak adanya parameter ini juga dinilai Darori akan menyulitkan analisis tentang kerusakan DAS dan upaya perbaikannya. Pada akhirnya, potensi bencana hidrometeorologi akan semakin meningkat seiring dengan terjadinya fenomena La Nina yang menyebabkan curah hujan di sejumlah wilayah semakin tinggi.
“Seharusnya untuk mengukur skala prioritas mana kawasan yang harus direboisasi atau dihijaukan itu berdasarkan skala minimalnya luasan hutan di wilayah tersebut. Kalau luasan tidak ada batasannya, maka akan sulit juga menentukan prioritas yang mendesak untuk direboisasi,” ujar mantan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan ini.
Guna menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah bencana, Darori menyarankan agar PP turunan dari aturan ini harus menetapkan kriteria yang jelas dan tegas untuk tidak mengurangi luasan hutan pada DAS yang sudah rusak atau kritis. “Harus jelas DAS mana yang boleh dibangun dan mana DAS yang harus dibatasi,” tambah anggota Fraksi Gerindra itu.
Sementara berdasarkan materi penjelasan RUU Cipta Kerja sektor kehutanan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, luasan kawasan hutan memang tidak ditetapkan dengan angka persentase lagi. Namun, penetapan dilakukan dengan prinsip karakteristik dan bido-geo-fisik serta daya dukung dan daya tampung setiap daerah. Ini bertujuan untuk menjamin manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat serta menjaga keseimbangan lingkungan hidup yang berkelanjutan.