Membaca Data Covid-19 di Indonesia
Dalam sejumlah kesempatan, pemerintah selalu menunjukkan angka-angka baik dalam penanganan Covid-19. Namun, analisis sejumlah ahli dan media malah sebaliknya. Seperti apa data tersebut?
Pemerintah berulang kali menyatakan, penanganan Covid-19 sudah berhasil dan berada di jalur yang tepat. Namun, banyak pakar dan lembaga penelitian, termasuk juga media di dalam dan luar negeri, sering mengelompokkan Indonesia sebagai negara gagal dalam menangani pandemi ini. Bagaimana sebenarnya data Covid-19 di Indonesia?
Dalam rapat terbatas terkait penanganan Covid-19 yang disiarkan melalui Youtube Sekretariat Presiden, Selasa 1 September 2020, Presiden Joko Widodo mengatakan, penanganan pandemi di Indonesia masih terkendali jika dibandingkan negara lain.
”Di negara Eropa, di kawasan Asia masih terjadi tren peningkatan kasus positif. Kita harus hati-hati. Di negara kita, walaupun ada peningkatan di beberapa daerah, kalau dibandingkan negara lain, posisi Indonesia masih relatif terkendali,” ujar Presiden.
Sebelumnya, saat memberikan arahan kepada semua gubernur mengenai penyerapan anggaran pada 15 Juli, Jokowi juga menyatakan, kebijakan untuk tidak melakukan lockdown atau penutupan wilayah sudah tepat karena negara lain yang melakukannya mengalami pertumbuhan ekonomi minus.
Baca juga : Pemerintah Targetkan Penurunan Kasus di Tenaga Kesehatan
Sikap ini yang kemudian diamplifikasi Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir. Dalam Simposium Nasional Dies Natalis Ke-64 Universitas Hasanuddin yang disiarkan secara daring, Selasa (1/9/2020), Kadir mengatakan, Indonesia tak perlu lagi menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) meski angka kasus terus meningkat.
”Tidak perlu lagi kita misalnya harus lockdown, harus PSBB, enggak perlu. Kalau kita lockdown atau PSBB, apa yang terjadi? Ekonomi tidak bergerak, negara kita menjadi resesi,” kata Kadir.
Sekalipun mengingatkan tentang tingginya tingkat kematian pasien Covid-19 di Indonesia, Jokowi juga mengklaim, angka kesembuhannya melebihi rata-rata angka dunia. ”Alhamdulillah tingkat kesembuhan, case recovery rate, meningkat. Pada April lalu 15 persen, kemudian sekarang Agustus 72,1 persen. Jadi, ada pergerakan lebih baik, lebih tinggi dari rata-rata dunia, yaitu 69 persen,” ujarnya.
Soal tingginya tingkat kesembuhan ini juga berulang kali disampaikan juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, dalam keterangan rutin harian. ”Jumlah kasus sembuhnya secara kumulatif ada 125.959 atau 72,1 persen, dengan kasus sembuh dunia pada saat ini 69,73 persen,” kata Wiku di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Senin (31/8/2020).
Narasi tentang kesembuhan, selain kesuksesan komitmen impor vaksin serta penanganan yang sudah baik dan sesuai jalur, belakangan semakin kerap disampaikan. Sebaliknya, wacana kritis yang disampaikan sejumlah media, khususnya media asing, menurut Presiden, hanya karena jajarannya tidak hati-hati dalam menyampaikan pernyataan kepada media.
Pernyataan itu disampaikan Jokowi saat memimpin rapat terbatas dengan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (24/8/2002).
Namun, benarkah penanganan Covid-19 di Indonesia sudah baik, bahkan lebih baik dari negara-negara lain? Apakah angka-angkanya menunjukkan demikian?
Rapor merah
The Economist edisi 29 Agustus 2020 memasukkan Indonesia, bersama Filipina, sebagai negara yang tidak kompeten dalam menangani wabah. ”Kedua negara kepulauan ini bernasib jauh lebih buruk daripada negara-negara Asia Tenggara lainnya,” tulis majalah mingguan berbasis di Inggris ini.
Tulisan ini sejalan dengan analisis Oxford University dalam ”Coronavirus Government Response Tracker” yang memberikan nilai indeks 43,91 untuk Indonesia dari 17 indikator yang dinilai. Nilai ini merupakan yang terendah di ASEAN, bahkan terpaut jauh dibandingkan Kamboja di atasnya.
Studi pada Juni 2020 lalu tentang peringkat keamanan dan risiko Covid-19 dari negara-negara di seluruh dunia menempatkan Indonesia pada posisi ke-97 dari 200 negara. Studi ini dilakukan oleh konsorsium perusahaan dan lembaga nonprofit yang dimiliki perusahaan investasi di Hong Kong dan didasarkan pada 130 parameter kuantitatif dan kualitatif serta lebih dari 11.400 poin data dalam kategori seperti efisiensi karantina, pemantauan dan deteksi, kesiapan kesehatan, serta efisiensi pemerintah.
Baca juga : Ruang Perawatan Hampir Penuh
Pengajar senior dari Department of Political and Social Change Australian National University, Australia, Marcus Mietzner, bahkan memublikasikan hasil kajiannya tentang penanganan pandemi di Indonesia di Journal of Current Southeast Asian Affairs edisi 5 Agustus dengan sangat kritis. Disebutkan, respons Pemerintah Indonesia terhadap wabah sangat buruk.
”Presiden Joko Widodo pada awalnya mengabaikan ancaman tersebut, dan ketika bereaksi, kebijakannya tidak jelas dan membingungkan,” tulis Mietzner.
Menurut dia, penanganan di Indonesia bahkan lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara demokratis lain yang lebih miskin. Dengan demikian, alasan utama utama penanganan yang buruk bukan karena keterbatasan anggaran.
”(Penanganan) Covid-19 di Indonesia adalah hasil dari proses spesifik penurunan demokrasi dalam dekade terakhir. Kemunduran ini menghasilkan meningkatnya antisaintisme populis, konservatisme agama, polarisasi agama-politik, korupsi dan klientelisme, serta ketegasan di antara para aktor antidemokrasi,” tulis Mietzner.
Pada akhirnya, menurut dia, faktor-faktor segmental ini digabungkan menjadi campuran beracun yang sangat membatasi kemampuan Indonesia untuk secara efektif menanggapi guncangan eksternal masif, seperti Covid-19.
Membaca kritis
Epidemiolog dari Forum Ilmuwan Muda Indonesia, Iqbal Elyazar, dan ahli kesehatan global dari Griffith University, Dicky Budiman, tidak heran dengan buruknya penilaian sejumlah media dan peneliti terhadap penanganan Covid-19 di Indonesia. ”Kalau data Covid-19 di Indonesia dibaca dengan baik, tidak ada alasan yang menunjukkan kita berhasil,” kata Dicky.
Menurut dia, sejumlah narasi positif yang disampaikan pemerintah cenderung bias karena tidak memotret angka-angka dengan utuh. Misalnya, terkait angka.
WHO tidak menempatkan faktor kesembuhan sebagai indikator keberhasilan karena sebagian besar akan sembuh sendiri, bahkan tanpa pengobatan.
”WHO tidak menempatkan faktor kesembuhan sebagai indikator keberhasilan karena sebagian besar akan sembuh sendiri, bahkan tanpa pengobatan. Kalau kasusnya tinggi, angka kesembuhan juga tinggi. Yang justru perlu dilihat, bagaimana dampak permanen bagi orang yang dinyatakan sembuh, apakah itu sudah dikaji?” katanya.
Dicky menambahkan, daripada melihat angka kesembuhan, sebaiknya pemerintah fokus pada angka kematian yang di atas rata-rata global. Jumlah kematian di Indonesia juga merupakan yang tertinggi di Asia. ”Tingginya angka kematian pada tenaga medis, ibu hamil, dan anak-anak juga termasuk paling tinggi,” katanya.
Sementara itu, Iqbal mengatakan, situasi pengendalian wabah bisa dilihat dari angka rasio positif. Ini hanya bisa dianalisis jika jumlah tes dan sebarannya memenuhi syarat minimal WHO, yaitu 1 orang per 1.000 warga per minggu, selain juga pelacakan kontak yang cepat.
Sampai sekarang, hal ini masih gagal dipenuhi. ”Sampai sekarang, data orang yang dites dan data hasil tracing (pelacakan) di tiap daerah tidak ada, tetapi kemudian ditetapkan zona-zona aman,” katanya.