Kebijakan membuka kembali pembelajaran tatap muka di sekolah ataupun tetap secara daring memiliki dalih dan konsekuensi. Semuanya agar dilakukan atas pertimbangan ilmiah dan terbuka.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 membawa kita dalam dilema dan keputusan yang diambil bisa berkonsekuensi besar bagi masa depan anak-anak kita. Apakah sudah saatnya membuka sekolah dengan risiko keselamatan jiwa atau tetap menutupnya dengan dampak terhadap perkembangan sosial dan pendidikan anak?
Banyak kajian menunjukkan, penutupan sekolah bisa mengerem laju penularan dan kematian akibat Covid-19. Kajian Katherine A Auger, misalnya, menyebut, penutupan sekolah di Amerika Serikat pada 9 Maret hingga 7 Mei 2020 menurunkan insiden Covid-19 hingga 62 persen dan kematian berkurang 58 persen. Dengan mengekstrapolasi temuan mereka ke populasi AS, peneliti menyimpulkan, penutupan sekolah mengurangi sekitar 1,37 juta kasus dan kematian hingga 40.600 orang (Journal of American Medical Association, 29 Juli 2020).
Sebaliknya, pembukaan sekolah menyebabkan peningkatan kasus dan kematian akibat Covid-19. Tak hanya anak, guru juga berisiko. Kajian Jennifer R Head menyimpulkan, pembukaan kembali sekolah di San Francisco meningkatkan risiko penularan pada guru sekolah menengah hingga 40,7 persen, sedangkan pada guru sekolah menengah pertama 37,2 persen (National Institutes of Health, 7 Agustus).
Namun, para pendukung pembukaan sekolah punya alasan sendiri. Penutupan sekolah berkepanjangan dianggap berdampak buruk bagi perkembangan sosial anak. Apalagi, tidak semua anak bisa menjalankan sekolah daring karena berbagai soal. Selain itu, sekolah daring juga mengganggu produktivitas bekerja orangtua dan menimbulkan tambahan biaya baru. Ekonom Howard Lempel menyebutkan, penutupan sekolah selama 12 minggu di AS dengan alasan mitigasi wabah merugikan ekonomi 128 miliar dollar AS (PLOS Current Influenza, September 2019).
Dengan alasan ini, lebih dari 20 negara kembali membuka sekolah, termasuk Indonesia. Studi di sejumlah negara menunjukkan, sekolah dapat dibuka dengan aman ketika transmisi komunitas sangat rendah, adanya kemampuan surveilans meliputi tes dan pelacakan kasus memadai, serta fasilitas untuk menerapkan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak dan cuci tangan, selain disiplin memakai masker (The Lancet Child & Adolescent Health, 3 Agustus).
Anak-anak di Korea Selatan, misalnya, kembali ke kelas pada pertengahan Mei ketika kasus setiap hari di bawah 50 orang. Sempat mengalami peningkatan kasus sehingga kembali menerapkan pengajaran daring di beberapa sekolah, dengan kecepatan surveilans, wabah kembali bisa dikendalikan.
Namun, Israel mengalami kegagalan. Mereka kembali menutup sekolah pada 3 Juni setelah membukanya pada 3 Mei. Hanya sebulan setelah membuka sekolah, 2.026 siswa, guru, dan anggota staf dinyatakan positif Covid-19 dan 28.147 siswa dikarantina karena diduga terpapar virus. Di satu sekolah ada lebih dari 130 kasus. Secara nasional, jumlah kasus meningkat dari 50 kasus baru setiap hari menjadi sekitar 1.500 kasus per hari dalam sebulan. Data mengungkapkan, sekolah menjadi tempat infeksi tertinggi kedua selama bulan Juni (Time, 20 Juli).
Sekalipun Covid-19 menjadi masalah bagi semua negara, kerentanan dan risiko bisa berbeda. Indonesia mesti menelisik dengan hati-hati kerentanan dan kapasitasnya sendiri dalam mengelola risiko pembukaan sekolah sehingga bisa memproyeksikan dengan baik untung ruginya.
Harus diingat, nyawa satu anak setara dengan nyawa presiden atau menteri.
”Apakah tim pakar yang mengizinkan pembukaan sekolah memiliki kajian yang jujur dan transparan tentang risiko pembukaan kembali sekolah di tengah wabah yang belum terkendali? Apakah mereka berani bertanggung jawab jika ada ledakan kasus dan kematian? Harus diingat, nyawa satu anak setara dengan nyawa presiden atau menteri,” kata epidemiolog Iqbal Elyasar dalam diskusi di Jakarta, Senin (17/8/2020).
Data memang menjadi kunci. Secara nasional, jelas wabah di Indonesia belum terkendali dengan penambahan 1.500-2.000 kasus tiap hari dan kematian di atas 50 orang per hari sehingga menempatkan kita di urutan ke-23 negara dengan total kasus terbanyak dan urutan ke-20 untuk kematian terbanyak di dunia.
Lalu, apakah sistem zonasi menjadi jaminan? Banyak epidemiolog tidak sependapat karena zona risiko penularan ini tidak dilengkapi dengan indikator terpenting: kecukupan jumlah tes di tiap kabupaten/kota. Apakah benar daerah tersebut minim kasus penularan atau tidak terdeteksi karena tes yang sedikit?
Faktanya, jumlah tes per populasi di Indonesia hanya menempati peringkat ke-162 di dunia, termasuk terendah. Mengacu standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), baru Jakarta yang konsisten memenuhi syarat minimal jumlah tes 1 per 1.000 orang per minggu. Demikian halnya, kemampuan menemukan tiap kontak berisiko dalam waktu cepat juga diragukan. Bahkan, hingga kini, data kluster penularan di tiap daerah tidak tersedia.
Masalah lain, sistem zonasi risiko Covid-19 yang dibuat pemerintah tidak diikuti dengan pembatasan mobilitas antarwilayah sehingga tidak ada jaminan tidak terjadi penularan di zona yang diklaim berisiko rendah.
Khusus untuk Indonesia, studi oleh Titan Alon, ekonom dari University of California San Diego, dan tim yang dipublikasikan di Forum Ekonomi Dunia pada 10 Agustus 2020 ini juga patut menjadi pertimbangan tambahan: negara berkembang berisiko lebih besar mengalami ledakan kasus dan kematian, lalu pada akhirnya akan memperburuk dampak ekonomi jika buru-buru membuka sekolah. Alasannya, faktor kesehatan dan malnutrisi serta kondisi rumah tangga dengan anak cenderung tinggal serumah bersama keluarga besar yang di antaranya berusia lanjut.
Baca juga : Lindungi Anak Indonesia dari Covid-19
Nyatanya, data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) jelas menunjukkan ini. Tingkat keterpaparan dan risiko kematian anak di Indonesia akibat Covid-19 merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Hingga 10 Agustus 2020 terdapat 11.708 anak terduga Covid-19 yang 318 orang di antaranya meninggal. Sementara yang terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 3.928 anak dan 59 orang di antaranya meninggal. Selain karena keterlambatan diagnosis dan penanganan, tingginya kematian pada anak juga dipengaruhi faktor komorbid dan buruknya kualitas kesehatan anak Indonesia.
Jika begini, masihkah nekat membuka sekolah? Ingat, keputusan yang kita ambil bisa menentukan hidup dan mati anak-anak kita, generasi yang seharusnya memimpin negeri ini pada tahun emas 2045.