Informasi Hidrometeorologi Bermanfaat Kurangi Dampak Perubahan Iklim
Sekolah lapang iklim dikembangkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika agar bisa memberikan informasi dan pemahaman lebih baik bagi petani dan nelayan tentang perubahan iklim.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peringatan dini dan aksi dini menjadi kunci untuk mengurangi dampak cuaca ekstrem yang semakin intens akibat perubahan iklim. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengandalkan sekolah lapang iklim untuk mengurangi dampak perubahan iklim itu di sektor pangan.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, Hari Meteorologi Dunia 2022 yang diperingati pada 23 Maret menjadi momentum untuk meningkatkan kapasitas peringatan dini dan tindakan dini terhadap fenomena cuaca dan iklim.
“Hari Meteorologi Sedunia yang mengangkat tema 'Early Warning and Early Action, Hydrometeorological and Climate Information for Disaster Risk Reduction', dapat kita artikan peringatan dini dan tindakan dini, serta menyoroti pentingnya informasi hidrometeorologi dan iklim untuk pengurangan risiko bencana,“ kata Dwikorita.
Menurut dia, perubahan iklim menyebabkan kejadian cuaca ekstrem semakin sering, semakin tinggi intensitasnya, dan semakin panjang durasinya. Petani dan nelayan termasuk kelompok yang paling rentan terdampak perubahan iklim regional maupun global ini.
“Panen dan penangkapan ikan bisa terganggu sehingga produksi pangan menjadi lebih rentan. Untuk mengurangi dampaknya, BMKG melakukan sekolah lapang iklim, tujuannya meningkatkan ketangguhan masyarakat menghadapi perubahan iklim,“ kata Dwikorita.
Dwikorita menambahkan, sekolah lapang ini berupaya mentransfer pengetahuan dan informasi terkait cuaca dan iklim kepada para pihak yang paling membutuhkan, dalam hal ini nelayan dan petani. “Ini salah satu upaya untuk mendukung ketahanan pangan,“ ucapnya.
Dalam acara yang digelar secara daring ini, BMKG juga mengundang testimoni sejumlah pejabat dan para petani, serta nelayan dari sejumlah daerah, mengenai manfaat sekolah lapang. Wakil Bupati Jombang, Jawa Timur, Sumrambah mengatakan, sekolah lapang iklim untuk petani yang sudah dilakukan di daerahnya sejak 2012 membantu petani di daerahnya mengenal iklim lebih baik.
Suparji, petani di Jombang, mengatakan, ia telah mengakses informasi mengenai cuaca menggunakan telepon genggam. Informasi ini bisa membantunya untuk memutuskan kapan waktu tanam, pemupukan, pengobatan, hingga panen.
Sementara itu, Agus, petani porang dari Desa Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, juga mengatakan, sekolah lapang iklim membuatnya lebih memahami cuaca dan iklim. “Informasi iklim dan cuaca BMKG ini membantu budidaya porang,“ kata dia.
Agus mencontohkan, dalam budidaya porang dibutuhkan kelembaban suhu udara dan curah hujan yang sesuai, dan ini bisa didapatkannya melalui aplikasi info BMKG. “Harapan kami, hal ini bisa meningkatkan produktivitas porang kami sehingga kami harapkan sekolah lapang ini bisa berkelanjutan,“ kata dia.
Menurut Dwikorita, pemantauan gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan iklim global oleh BMKG di Bukit Koto Tabang, Sumatera Barat, menunjukkan adanya tren peningkatan konsentrasi gas rumah kaca, khususnya karbon dioksida (CO2).
“Dalam kondisi ambien (belum tercemar), konsentrasi CO2 pada 2004 sebesar 372 ppm, saat ini sudah 413 ppm,“ kata dia.
Peningkatan konsentrasi CO2 ini berdampak pada pemanasan di udara dan muka air laut yang signifikan. “Suhu muka air laut di perairan kita rata-rata sudah menghangat mencapai 29 derajat celsius, lebih tinggi dari rata-rata sebelumnya 25 derajat celsius. Ditambah dengan adanya masalah tata guna lahan, hal ini bisa berdampak pada bencana hidrometeorologi,“ ujarnya.
BMKG telah mencatat tahun 2016 merupakan tahun terpanas di Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0,8 derajat celsius sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020. Tahun 2020 menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali 0,7 derajat celsius dan tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali 0,6 derajat celsius.
Sebagai perbandingan, informasi suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) di laporan terakhirnya juga menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas, dengan tahun 2020 menuju salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.
Jumlah bencana telah meningkat lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir dan menelan biaya ekonomi yang melonjak. Tren itu diperkirakan terus berlanjut.
Dwikorita menambahkan, pemanasan suhu atmosfer mengakibatkan mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua. Luasan salju abadi di Puncak Jaya yang pernah mencapai 200 kilometer (km) persegi kini hanya tersisa 2 km persegi atau tinggal 1 persen saja.
Fenomena lain ialah munculnya siklon tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada April 2021 lalu. Fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi.
“Jika situasi ini terus berlanjut, Indonesia akan jauh lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana yang tidak hanya menimbulkan kerugian materil, tetapi juga korban jiwa,” ujarnya.
Selain melakukan aksi mitigasi, mulai dari pengurangan energi fosil dan menanam pohon atau reboisasi secara lebih masif, dibutuhkan juga upaya adaptasi untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim yang sudah terjadi.
Peringatan dini
Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas, dalam keterangan tertulis, mengatakan, perubahan iklim sudah sangat terlihat melalui cuaca yang lebih ekstrem di seluruh belahan dunia.
“Kami melihat gelombang panas yang lebih intens dan kekeringan serta kebakaran hutan. Kami memiliki lebih banyak uap air di atmosfer, yang menyebabkan curah hujan ekstrem dan banjir mematikan. Lautan memicu badai tropis yang lebih kuat dan naiknya permukaan laut meningkatkan dampaknya,“ katanya.
Taalas mengatakan, sistem peringatan dini merupakan tindakan adaptasi yang terbukti dan efektif guna menyelamatkan nyawa dan mata pencarian dari dampak perubahan iklim.
Laporan WMO tentang statistik bencana selama 50 tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 11.000 bencana terkait dengan cuaca, iklim, dan bahaya air antara tahun 1970 hingga 2019, atau hampir sama dengan satu bencana per hari. Secara total, ada 2 juta kematian atau 115 kematian per hari.
Jumlah bencana telah meningkat lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir dan menelan biaya ekonomi yang melonjak. Tren itu diperkirakan akan terus berlanjut.
Namun, tambah Taalas, jumlah korban telah menurun drastis, hampir tiga kali lipat, berkat prakiraan cuaca yang lebih baik dan perencanaan manajemen bencana yang lebih terkoordinasi.