Risiko berbagai bencana hidrometeorologi bisa ditekan dengan modifikasi cuaca. Meski sudah dilakukan lebih dari 40 tahun, banyak pemangku kepentingan belum memahami proses modifikasi cuaca.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Kondisi geografis dan topografis beragam membuat Indonesia memiliki banyak pola iklim dan zona musim. Satu daerah kekeringan, maka daerah lain bisa kebanjiran. Risiko berbagai bencana itu bisa ditekan dengan modifikasi cuaca. Meski sudah dilakukan lebih dari 40 tahun, banyak pemangku kepentingan belum memahami proses modifikasi cuaca.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebut Indonesia memiliki 407 pola iklim. Sebanyak 342 pola termasuk zona musim yang bisa dibedakan antara musim hujan dan kemarau serta 65 pola iklim lain, termasuk non-zona musim dengan curah hujan tinggi atau rendah sepanjang tahun. Kondisi itu membuat aneka bencana hidrometeorologi berpeluang terjadi hampir satu tahun penuh.
Selama bulan Juli 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat banjir di sejumlah daerah di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pada waktu yang sama, sejumlah daerah di Sumetara dan Kalimantan justru mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Bahkan, di Aceh dan Kalimantan Tengah terjadi banjir dan karhutla bersamaan meski di daerah yang berbeda.
Wilayah yang diapit Samudra Pasifik dan Samudra Hindia serta Benua Asia dan Australia membuat banyak fenomena alam global memengaruhi iklim di Indonesia. Ada El Nino Southern Oscilation (ENSO) pemicu La Nina dan El Nino, Indian Ocean Dipole (IOD) yang memengaruhi curah hujan di Indonesia barat, atau sirkulasi angin monsun Asia-Australia yang berpengaruh pada tutupan awan dan pasokan uap air di wilayah Indonesia.
Belum lagi, isu perubahan iklim yang mengganggu keteraturan iklim. Curah hujan sangat tinggi, kemarau berkepanjangan atau abnormalitas cuaca di satu wilayah mengganggu ritme hidup masyarakat. Bukan hanya berdampak pada sektor ekonomi, seperti pertanian, pertambangan, dan industri lain, melainkan munculnya berbagai penyakit menular juga perlu diwaspadai.
Ancaman itu membuat modifikasi cuaca makin dibutuhkan. Teknologi pengaturan cuaca ini tidak hanya untuk mencegah banjir atau karhutla, tetapi juga bisa untuk mengisi waduk yang memasok air untuk pembangkit listrik, menjaga keberlangsungan irigasi dan pasokan air baku untuk perkotaan, hingga menekan polusi udara.
Teknologi modifikasi cuaca atau dulu disebut hujan buatan, menurut Untung Haryanto di Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, 2000, merupakan upaya memanipulasi proses hujan di dalam awan hingga diperoleh nilai ekonomi yang menguntungkan dari hujan yang turun atau justru menambah hujan.
Hujan buatan pertama kali diuji di Indonesia pada 1977 atas inisiatif Presiden Soeharto dan dijalankan oleh BJ Habibie sebagai penasihat pemerintah di bidang teknologi maju dan teknologi penerbangan yang menjadi cikal bakal lahirnya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Namun, teknologi ini sudah ada sejak tahun 1940-an dan digunakan banyak negara.
Upaya memicu terjadinya hujan di awan itu dilakukan dengan menabur partikel higroskopik (menyerap air) ke awan yang sedang berkembang, dengan disebar langsung di awan ataupun memakai suar (flare). Partikel higroskopik itu umumnya berupa garam dapur atau natrium klorida (NaCl), garam kalsium klorida (CaCl2), dan urea. Manipulasi itu bisa mempercepat proses turunnya hujan atau menjatuhkan hujan di wilayah tertentu. (Kompas, 5 Juli 2019).
Perencanaan matang
Meski modifikasi cuaca di Indonesia sudah berlangsung lama, banyak pihak belum memahami proses modifikasi itu. Akibatnya, banyak permintaan hujan buatan dilakukan di puncak musim kemarau saat jumlah awan berpotensi hujannya amat sedikit. Kondisi itu membuat keberhasilan hujan buatan sangat rendah hingga harga air yang dihasilkan menjadi mahal.
Banyak pihak belum memahami proses modifikasi itu. Akibatnya, banyak permintaan hujan buatan dilakukan di puncak musim kemarau saat jumlah awan berpotensi hujannya amat sedikit.
Modifikasi cuaca juga butuh perencanaan matang. Namun, permintaannya kerap datang mendadak. Selain perlu memperhatikan ketersediaan awan berpotensi hujan, modifikasi cuaca juga butuh kesiapan logistik, mulai dari pengiriman garam, penyiapan suar, pemilihan jenis pesawat, hingga penyediaan teknisi dari Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) BPPT ataupun pilot dari TNI Angkatan Udara.
Aturan penunjang modifikasi cuaca juga belum sepenuhnya mendukung, khususnya dalam penyediaan suar. Suar termasuk bahan peledak meski daya ledaknya rendah. Akibatnya, menurut Koordinator Bagian Umum BBTMC BPPT Budi Harsoyo dalam webinar bertema ”Potensi Pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca Berbasis Flare”, pada 20 Agustus 2021, izin penggunaan, pengangkutan, penyimpanan, pengalihan penggunaan, pemilikan, dan pemusnahan suar jadi panjang dan lama.
Suar mulai digunakan di Indonesia untuk modifikasi cuaca secara terbatas sejak 2010. Sebelum November 2020, suar diimpor dari Amerika Serikat. Kini, suar buatan BPPT dan PT Pindad (Persero) juga sudah digunakan untuk operasi modifikasi cuaca. Suar dianggap lebih efisien karena penggunaan 1-2 suar sama dengan menabur 1 ton garam.
Kendala aturan penggunaan suar itu kerap kali menghambat operasi modifikasi cuaca yang butuh kecepatan guna meminimalkan risiko bencana. Karena itu, izin penggunaan suar untuk modifikasi cuaca perlu diperingkas atau dikecualikan dari izin bahan peledak lainnya.
Selain itu, Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Yudi Anantasena, pada 27 Juli 2021, berharap modifikasi cuaca ke depan berbasis pada kecerdasan artifisial, khususnya untuk mengatasi karhutla. Dengan demikian, permintaan hujan buatan tak lagi terjadi di puncak musim kemarau, tetapi berdasarkan sejumlah indikator yang membantu pengambilan keputusan modifikasi cuaca secara tepat.
Kecerdasan artifisial itu di antaranya bisa digunakan untuk memprediksi kerawanan karhutla berbasis pada pengamatan tinggi muka air tanah di lahan gambut. Indikator itu bisa dipadukan dengan data prakiraan bahaya karhutla dan potensi devegetasi di suatu daerah. Jika berbagai indikator itu terpenuhi, modifikasi cuaca bisa segera dilakukan tanpa menunggu terjadinya karhutla lebih dulu.
Dengan makin baiknya perkiraan terjadi karhutla berbasis kecerdasan artifisial, Kepala BPPT Hammam Riza berharap teknologi modifikasi cuaca bisa menjadi solusi permanen untuk mengatasi karhutla yang terjadi setiap tahun. Dengan demikian, berbagai kerugian ekonomi, kesehatan, ataupun ketegangan hubungan dengan negara tetangga bisa terus ditekan.