Mitigasi Bencana Tanggung Jawab Bersama
Upaya pencegahan terjadinya bencana hidrometeorologi menjadi tanggung jawab semua pihak. Dengan bertanggung jawab pada lingkungan masing-masing, paling tidak risiko bencana tidak semakin parah. Sanggupkah?
Peringatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika akan adanya fenomena La Nina pada musim penghujan tahun ini menjadi ”alarm” untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan semua pihak menghadapi bencana alam yang mungkin terjadi.
Banjir di 12 kecamatan di Sintang, Kalimantan Barat, yang hingga memasuki minggu keempat belum surut dan menyebabkan puluhan ribu penduduk menderita, dan banjir bandang di Batu, Malang, Jawa Timur, awal November lalu yang menelan 7 korban jiwa hanyalah sebagian bencana yang terjadi mengawali musim hujan di Tanah Air.
Banjir, banjir bandang, tanah longsor, pohon tumbang, dan puting beliung merupakan bencana hidrometeorologi yang selalu mengancam di bulan-bulan musim hujan. Apalagi pada tahun ini ancaman terjadinya bencana tersebut semakin kuat bersamaan dengan munculnya fenomena La Nina.
Merujuk hasil kajian BMKG, La Nina akan terjadi pada November hingga Februari 2022. Oleh karena itu, perlu mewaspadai kehadiran La Nina dan perubahan iklim yang ditandai dengan meningkatnya curah hujan yang dikhawatirkan bisa memicu berbagai bencana.
La Nina merupakan fenomena alam yang menyebabkan udara terasa lebih dingin dan mengalami curah hujan yang lebih tinggi. Terjadi ketika suhu muka laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan hingga di bawah suhu normal dan apabila angin mengembus air hangat permukaan laut dari Amerika Selatan ke arah barat menuju Indonesia, air dingin akan naik ke permukaan.
Proses penghangatan perairan Indonesia ini mendorong pembentukan awan yang berlebih sehingga meningkatkan curah hujan yang signifikan.
Tahun ini, menurut pantauan BMKG, aktivitas La Nina terjadi bersamaan dengan MJO (Madden Julian Oscillation) atau perjalanan gelombang atmosfer ekuator dari barat ke timur sehingga akan terjadi penguatan curah hujan di fase awal La Nina.
BMKG juga telah mengeluarkan peringatan dini terhadap beberapa wilayah untuk meningkatkan kewaspadaan, antara lain wilayah Sumatera bagian Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan bagian selatan, dan Sulawesi bagian selatan.
Baca juga: Jalur Distribusi Barang di Kalbar Hanya Bisa Dilintasi Kendaraan Tertentu
Risiko tinggi
Bencana hidrometeorologi harus selalu diwaspadai mengingat bencana yang dampaknya dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim dengan berbagai parameternya ini mendominasi kebencanaan di Indonesia.
Sekitar 95 persen bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi, sementara sisanya adalah bencana geologi, seperti gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami. Trennya pun cenderung meningkat dalam satu dekade terakhir (2012-2021).
Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tahun 2020 paling sering terjadi bencana hidrometeorologi, tercatat sebanyak 4.603 peristiwa, meningkat hampir tiga kali lipat dari tahun 2012.
Bahkan, frekuensi terjadinya bencana ini hingga September 2021 sebanyak 1.861 peristiwa lebih banyak dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu yang tercatat 1.754 peristiwa.
Frekuensi bencana banjir terpantau mendominasi hampir di setiap tahunnya. Sementara kejadian puting beliung atau cuaca ekstrem tampak semakin intensif terjadi dalam tiga tahun terakhir.
Demikian pula dengan tanah longsor yang seringkali muncul bersamaan dengan datangnya banjir. Oleh karena itu, terjadinya banjir harus segera diantisipasi, apalagi pantauan BNPB lima tahun terakhir menunjukkan semua wilayah (provinsi) terdampak banjir.
Di samping itu, sebagian besar wilayah Indonesia juga masuk kategori berisiko tinggi atau rawan terhadap bencana. Tidak bisa dimungkiri wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke rawan terhadap bencana.
Hal ini diperkuat dengan angka Indeks Risiko Bencana (IRB) Indonesia tahun 2018 yang menunjukkan, 21 dari 34 provinsi (61,76 persen) IRB-nya tinggi. Kondisi tersebut dan bencana yang selalu berulang bahkan semakin masif terjadi memerlukan aksi pencegahan dan penanganan yang lebih baik agar dampak yang ditimbulkan tidak semakin parah.
Baca juga: Tinggi Banjir Capai 1,4 Meter, Jalan Trans-Kalimantan di Kalteng Putus
Tanggung jawab bersama
Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama dan kesiapsiagaan semua pihak dalam menghadapi perubahan iklim, khususnya La Nina yang sedang melanda.
Direktur Bendungan dan Danau Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat Airlangga Mardjono sepakat bahwa penanganan bencana adalah urusan semua pihak sehingga tidak bisa ditangani secara parsial atau sendiri-sendiri tetapi harus terintegrasi dan berkelanjutan.
Senada dengan pendapat tersebut, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengemukakan bahwa setiap pihak harus membangun persepsi bersama bahwa perubahan iklim adalah sebuah kerisauan dan ancaman bersama yang juga harus dimitigasi bersama-sama karena dampaknya tidak mengenal batas administrasi (Kompas, 14 September 2021).
Paling tidak, ada lima pihak yang harus bersinergi dalam mitigasi perubahan iklim ini yang dikenal dengan konsep pentahelix, yaitu sinergi antara pemerintah pusat, pemerintaah daerah, masyarakat, medis, dan media massa.
Setiap pihak memiliki tanggung jawab masing-masing yang harus dijalankan secara berkelanjutan dan memaksimalkan partisipasi aktif dalam hal pengurangan risiko bencana.
Pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR, misalnya, telah menyiapkan langkah-langkah untuk mengantisipasi meningkatnya volume air dengan mengosongkan 205 bendungan yang mempunyai volume tampung hingga 4,7 miliar meter kubik.
Selain itu, juga menyiapkan tampungan banjir lainnya, seperti kolam retensi, bendung gerak, dan bendung karet, juga memastikan kesiapan pompa dan tunnel pengendali banjir.
Untuk pengendali banjir yang menjadi langganan wilayah metropolitan Jakarta dan sekitarnya, Kementerian PUPR tengah membangun Bendungan Ciawi dan Sukamahi yang akan menahan kelebihan air di hulu.
Kedua bendungan kering atau dry dam yang direncanakan beroperasi penuh pada Februari 2022 ini akan mengendalikan banjir dengan menampung kelebihan air pada saat musim hujan dan melepaskannya secara terkendali dan terukur.
Bendungan Ciawi akan mengurangi 30,6 persen debit banjir. Sementara Bendungan Sukamahi akan mengurangi debit banjir hingga 27,4 persen.
Di samping untuk mengantisipasi dan meningkatkan kewaspadaan, Kementerian PUPR mengaktifkan satgas penanggulangan bencana untuk memonitoring semua infrastruktur serta juga memastikan kesiapan alat berat dan bahan banjiran.
Sementara BMKG bekerja sama dengan BNPB membangun sistem informasi prakiraan cuaca yang mampu menampilkan potensi dampak yang akan terjadi, dalam hal ini banjir dan banjir bandang beserta respons apa yang harus dilakukan masyarakat.
Masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi potensi banjir bandang tersebut melalui prakiraan cuaca berbasis dampak atau impact based forecast yang dapat diakses secara gratis melalui laman signature.bmkg.go.id.
Dengan demikian, masyarakat dapat lebih dini mengetahui wilayah mana saja yang akan berpotensi terdampak secara signifikan dan apa yang harus dilakukan sehingga dapat meminimalisasi risiko korban dan kerugian.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan telah berperan dalam mengantisipasi dan meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi terjadinya bencana alam.
Namun, pemerintah baik pusat maupun daerah tidak bisa bergerak sendiri menanggulangi bencana tersebut. Infrastruktur yang telah dibangun sebagai pengendali bencana tidak akan bermanfaat dengan optimal tanpa dukungan masyarakat.
Dukungan masyarakat dapat dilakukan baik oleh setiap individu dan secara bersama-sama. Desa/kelurahan tangguh bencana (Destana) yang dibentuk dan dikembangkan BNPB salah satu contohnya.
Sebagai perwujudan tanggung jawab pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana, Destana diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan sumber daya masyarakat sehingga terbentuk masyarakat tangguh menghadapi bencana.
Tahun 2019 secara kumulatif jumlah Destana telah mencapai 587 desa/kelurahan, meningkat hampir enam kali lipat dari capaian tahun 2015.
Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya bencana juga tampak dari hasil jajak pendapat Kompas awal November ini.
Seperlima responden mengaku, di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, pemerintah dan masyarakat bersama-sama melakukan persiapan menghadapi musim hujan, seperti memperbaiki jalan, membersihkan drainase, dan membuat biopori, agar resapan air dapat terjaga dengan baik.
Dengan bertanggung jawab pada lingkungan masing-masing, paling tidak risiko bencana tidak semakin parah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Hadapi Bencana Hidrometeorologi