Mengatasi Serangan Panik
Serangan panik sangat mengganggu, terjadi secara tidak terduga, dan berdampak signifikan pada kehidupan sehari-hari. Sejumlah penelitian menunjukkan beberapa strategi untuk mengelola.
Pernahkah Anda tiba-tiba sesak napas atau bernapas cepat (hiperventilasi), jantung berdebar-debar, nyeri dada, kesemutan, berkeringat, gemetar, kadang-kadang disertai mual, pusing, atau hampir pingsan, takut kehilangan kendali bahkan takut mati? Namun, ketika periksa ke dokter, secara fisik ternyata baik-baik saja.
Bisa jadi Anda mengalami serangan panik (panic attack). Menurut Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Kesehatan Mental Edisi Kelima (DSM-5), serangan panik adalah gelombang ketakutan, kecemasan, atau ketidaknyamanan yang intens dan terjadi secara tiba-tiba. Hal itu bisa terjadi tanpa sebab nyata dan gejala mencapai puncak dalam beberapa menit.
Sebuah artikel di Healthline, 5 Januari 2022, menyebutkan, serangan panik dapat terjadi karena berbagai sebab, tetapi kadang-kadang terjadi tanpa alasan jelas. Meski demikian, seseorang lebih mungkin mengalami serangan panik jika memiliki gangguan panik ataupun kecemasan, mengalami gangguan psikosis, menggunakan zat atau minum obat-obatan tertentu, menderita hipertiroid.
Serangan panik sering terjadi ketika seseorang terpapar pemicu, yang bisa sangat bervariasi bagi tiap individu. Antara lain, mengalami konflik, berbicara atau tampil di depan umum, sedang stres atau dalam situasi yang mengingatkan tentang stres masa lalu.
Baca Juga: Kelola Cemas Selama Puncak Pandemi
Serangan panik dapat terjadi secara tidak terduga dan berdampak signifikan pada kehidupan sehari-hari. Ada beberapa cara untuk mengelola.
Yang paling umum adalah latihan pernapasan dalam atau pernapasan diafragma. Tujuannya, untuk mengontrol pernapasan sehingga tidak terjadi hiperventilasi yang membuat serangan panik menjadi lebih buruk. Penelitian empiris menunjukkan, pernapasan diafragma dapat merelaksasi tubuh serta bermanfaat bagi kesehatan fisik dan mental.
Caranya, tarik napas dalam melalui hidung, tahan sebentar, lalu keluarkan perlahan lewat mulut yang disempitkan (purse lips). Lakukan berulang-ulang, fokus merasakan udara mengisi rongga dada dan perut untuk kemudian dikeluarkan.
Penelitian Xiao Mai dari Beijing Normal University, China, dan kolega yang diterbitkan di Frontiers in Psychology, 6 Juni 2017, menyimpulkan, pernapasan diafragma dapat meningkatkan perhatian dan kesejahteraan psikologis. Penelitian dilakukan pada 40 individu sehat, tidak memiliki gangguan panik. Namun, hasil ini bisa diterapkan pada penderita gangguan panik.
Para peserta dibagi dalam kelompok latihan pernapasan dan kelompok kontrol. Setelah 20 sesi pelatihan intensif selama delapan minggu, didapatkan penurunan reaksi terhadap pengaruh negatif serta peningkatan perhatian yang signifikan dibandingkan saat awal. Tes saliva (air liur) menunjukkan, terjadi penurunan kadar kortisol dibandingkan dengan sebelum pelatihan. Semakin turun kadar kortisol berarti semakin rendah tingkat stres. Pada kelompok kontrol tidak ditemukan perubahan kadar kortisol yang signifikan.
Teknik pernapasan lambat, kurang dari 10 napas per menit, bisa meningkatkan perasaan tenang, kenyamanan, kewaspadaan, serta mengurangi gejala kecemasan, depresi, kemarahan, dan kebingungan.
Hasil tinjauan 15 artikel oleh Andrea Zaccaro dari Universitas Pisa, Italia, dan kolega di Frontiers in Human Neuroscience, 7 September 2018,mendapatkan, teknik pernapasan lambat, kurang dari 10 napas per menit, bisa meningkatkan perasaan tenang, kenyamanan, kewaspadaan, serta mengurangi gejala kecemasan, depresi, kemarahan, dan kebingungan.
Teknik pernapasan lambat mendorong perubahan saraf otonom yang meningkatkan variabilitas denyut jantung dan aritmia sinus pernapasan serta modifikasi aktivitas sistem saraf pusat. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG), yang mempelajari aktivitas listrik otak, menunjukkan peningkatan gelombang alfa dan penurunan theta. Efek psikologis terkait perubahan itu adalah meningkatnya kenyamanan, relaksasi, kesenangan, kekuatan dan kewaspadaan, serta berkurangnya kegelisahan, kecemasan, depresi, kemarahan, dan kebingungan.
Terapi perilaku kognitif
Upaya lain adalah mendapatkan konseling berupa terapi perilaku kognitif (CBT). Tujuan terapi ini membantu mengubah cara pandang terhadap situasi yang menantang atau menakutkan dan membantu menemukan cara baru untuk menghadapi. Ada bukti bahwa CBT dapat memengaruhi struktur otak yang bertanggung jawab atas gejala panik.
Antara lain, hasil penelitian Andrea Reinecke dari Universitas Oxford, Inggris, dan kolega yang diterbitkan di Translational Psychiatry, 19 Oktober 2018. Penelitian melibatkan dua kelompok pasien gangguan panik. Satu kelompok menerima empat sesi mingguan CBT berbasis paparan dan satu kelompok kontrol yang menunggu giliran terapi. Masing-masing kelompok terdiri dari 14 peserta.
Setelah terapi, dipantau pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI), pasien melakukan tugas pengaturan emosi, baik melihat gambar negatif secara alami maupun menurunkan pengaruh negatif menggunakan strategi yang diajarkan. Didapatkan, CBT empat sesi mengurangi gejala panik secara signifikan. Sebanyak 71 persen pasien mencapai status pemulihan, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 7 persen.
Intervensi CBT menormalkan hiperaktivasi saraf otak yang terlihat pada gangguan panik. Terutama di area terkait pemantauan ancaman, memori ketakutan, dan regulasi emosi maladaptif, seperti di amigdala, korteks prefrontal dorsomedial dan dorsolateral, serta girus temporal.
American Family Physician merekomendasikan mindfulness atau perhatian penuh sebagai strategi mengatasi kepanikan dan kecemasan. Dengan memberi perhatian penuh ke lingkungan sekitar, Anda dapat mengatasi serangan panik.
Perhatian yang dimaksud adalah memusatkan perhatian pada saat ini, mengenali keadaan emosional yang dialami. Selain itu, meditasi untuk mengurangi stres dan mengelola gejala kecemasan.
Beberapa penelitian menyatakan, terapi kognitif berbasis kesadaran (MBCT) dapat membantu orang dengan gangguan kecemasan yang mendapat perawatan medis, tetapi belum menemukan obat yang cocok. Salah satunya, penelitian Akira Ninomiya dan kolega dari Departemen Neuropsikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Keio, Tokyo, Jepang.
Tim menguji efektivitas MBCT dalam perawatan sekunder di mana sebagian besar pasien telah minum obat, tetapi belum sembuh. Para peserta berusia 20-75 tahun yang menderita gangguan panik. Mereka dibagi ke kelompok MBCT (20 orang) dan kelompok kontrol (20 orang).
Tim meneliti perbedaan skor terkait kecemasan sebelum dan sesudah pelatihan MBCT. Penelitian yang dilaporkan di Psychiatry and Clinical Neurosciences, 27 November 2019, itu menyimpulkan, MBCT efektif pada pasien dengan gangguan kecemasan yang tak mempan dengan obat.
Untuk mengatasi serangan panik, Anda harus mengenali gejalanya. Kemudian meyakini itu hanya sementara dan bukan serangan jantung. Ulangi mantra dalam pikiran bahwa Anda baik-baik saja.
Cari pengalih pikiran lewat obyek untuk memusatkan perhatian atau bayangkan tempat yang membuat Anda bahagia. Jika panik akibat terlalu banyak rangsangan penglihatan atau suara, tutup mata dan fokus pada pernapasan.
Olahraga ringan, seperti berjalan kaki, berenang, dan yoga, juga membantu. Olahraga teratur tidak hanya menyehatkan tubuh, tetapi juga bermanfaat untuk kesehatan mental, termasuk mengurangi kecemasan.
Baca Juga: Atasi Kecemasan dan Depresi dengan Olah Pikir dan Olahraga
Teknik relaksasi otot membantu mengatasi gejala kecemasan, mengendurkan ketegangan, dan membantu mengendalikan respons tubuh. Minyak esensial lavender juga menenangkan dan membantu relaksasi.
Jika semua belum berhasil, upaya terakhir adalah periksa ke dokter ahli psikiatri untuk mendapatkan obat yang membantu mengatasi kecemasan, seperti benzodiazepine, azapirone. Namun, itu obat keras yang menyebabkan ketergantungan. Penggunaannya harus sesuai petunjuk dokter.
Hal lain yang bisa dilakukan untuk membantu mencegah serangan panik adalah mengurangi konsumsi gula, menghindari kafein, alkohol, rokok, serta menghindari situasi yang menjadi pemicu.