Atasi Kecemasan dan Depresi dengan Olah Pikir dan Olahraga
Depresi dan kecemasan merupakan gangguan mental dengan prevalensi tinggi. Kemampuan otak untuk berubah dan beradaptasi bisa mengatasi gangguan mental. Hal itu bisa ditingkatkan dengan kegiatan berpikir dan berolahraga.

Sejumlah pemuda duduk bersama di Kelurahan Petamburan, Jakarta Pusat, Jumat (9/4/2021). Anak muda merupakan salah satu kelompok yang terdampak pandemi Covid-19, baik dari segi pendidikan hingga peluang kerja di masa depan. Hal ini kerap membuat mereka stres dan mengalami kecemasan.
Berkabung atas kematian anggota keluarga dan teman, isolasi, kehilangan pendapatan, berbagai kekhawatiran dan ketakutan selama masa pandemi Covid-19 memicu gangguan kesehatan mental serta memperburuk gangguan yang sudah ada. Banyak orang mengalami insomnia, kecemasan sehingga lari ke penyalahgunaan alkohol dan narkoba.
Survei yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari Juni hingga Agustus 2020 pada 130 negara di enam wilayah WHO menunjukkan, pandemi meningkatkan permintaan untuk layanan kesehatan mental.
Di Indonesia, menurut hasil penelitian Hario Megatsari dan kolega yang dimuat laman Universitas Airlangga, 23 Oktober 2020, responden kelompok usia 20-29 tahun 4,33 kali lebih mungkin mengalami gangguan kecemasan dengan level yang lebih tinggi daripada gangguan kecemasan yang dialami kelompok usia 50 tahun. Sementara responden kelompok usia 40-49 tahun 2,32 kali lebih mungkin untuk mengalami gangguan kecemasan dengan level yang lebih tinggi dibandingkan gangguan kecemasan pada kelompok usia 50 tahun.
Penelitian terkait gangguan kecemasan di Indonesia itu dilakukan dengan menyebar kuesioner secara daring. Survei dilakukan selama delapan hari dan menjaring 8.031 responden dari seluruh provinsi di Indonesia.
Baca Juga: Pandemi Hadirkan Kecemasan dan Ketakutan
”Kesehatan mental yang baik sangat mendasar bagi kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan,” kata Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, dalam rilis berita 5 Oktober 2020. ”Covid-19 telah mengganggu layanan kesehatan mental di seluruh dunia pada saat paling dibutuhkan. Para pemimpin dunia harus bergerak cepat dan tegas untuk berinvestasi lebih banyak dalam program kesehatan mental yang menyelamatkan jiwa selama pandemi dan seterusnya.”

Ada sejumlah penelitian yang bisa dipertimbangkan untuk mengurangi atau mengatasi perburukan masalah kecemasan dan depresi yang dihadapi masyarakat.
Hasil penelitian Matthew A Scult dan kolega dari Departemen Psikologi dan Ilmu Saraf Duke University, Amerika Serikat, yang dipublikasikan di jurnal Cerebral Cortex, 17 November 2017, menunjukkan, meningkatkan aktivitas di area otak yang berkaitan dengan pemikiran dan pemecahan masalah dapat mencegah perburukan masalah kecemasan.
Tim menganalisis data dari 120 mahasiswa tingkat sarjana yang berpartisipasi dalam Duke Neurogenetics Study. Setiap peserta menyelesaikan serangkaian kuesioner kesehatan mental dan menjalani pemindaian otak non-invasif lewat Pencitraan Resonansi Magnetik fungsional (fMRI) saat melakukan sejumlah tugas.
Peserta diminta menjawab soal matematika berbasis memori sederhana untuk merangsang korteks prefrontal dorsolateral, struktur otak di bagian depan yang bertanggung jawab terhadap kontrol tindakan seperti berpikir logis, pemecahan masalah, dan melakukan perencanaan. Bagian otak itu juga berperan dalam pengaturan emosi. Selain itu, para peserta melihat gambar wajah marah atau takut untuk mengaktifkan wilayah otak amigdala serta melakukan permainan menebak berbasis hadiah untuk merangsang aktivitas di bagian ventral striatum otak.
Tujuannya, untuk mengeksplorasi apakah aktivitas prefrontal yang lebih besar dapat berfungsi sebagai biomarker (petanda) ketahanan terhadap gangguan kecemasan dan dapat membantu melindungi individu yang berisiko dari penyakit mental di masa depan. Para peserta memberikan peringkat suasana hati dan kecemasan pada awal dan di masa pemantauan.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan, orang yang otaknya memberikan respons tinggi terhadap ancaman dan respons rendah terhadap hadiah lebih berisiko mengalami kecemasan dan depresi. Untuk itu, peneliti mengamati individu-individu yang berisiko mengalami kecemasan, yakni memiliki kombinasi aktivitas tinggi terkait ancaman di amigdala dan aktivitas rendah terkait hadiah di ventral striatum.
Individu yang berisiko cenderung tidak mengalami kecemasan jika mereka memiliki aktivitas tinggi di bagian otak korteks prefrontal dorsolateral.
Dengan membandingkan penilaian kesehatan mental peserta pada saat pemindaian otak dan memantau yang terjadi tujuh bulan kemudian, tim peneliti menemukan, individu yang berisiko cenderung tidak mengalami kecemasan jika mereka memiliki aktivitas tinggi di bagian otak korteks prefrontal dorsolateral.
”Kami menemukan, jika seseorang memiliki korteks prefrontal dorsolateral yang berfungsi tinggi, maka ketidakseimbangan dalam struktur otak yang lebih dalam tidak mewujud dalam perubahan suasana hati atau kecemasan,” kata pemimpin penelitian, Guru Besar Psikologi dan Ilmu Saraf Duke University, Ahmad R Hariri, sebagaimana dikutip Science Daily, 17 November 2017.

Murid SMP Negeri 5 Yogyakarta memeragakan tong sampah pintar otomatis hasil penelitian mereka dalam kegiatan Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia tingkat SMP se-Kota Yogyakarta di Taman Pintar, Yogyakarta, Rabu (24/7/2019). Aktivitas berpikir logis, membuat perencanaan, dan memecahkan persoalan, mengaktifkan bagian otak korteks prefrontal dorsolateral yang bisa mencegah terjadinya kecemasan.
Hasil penelitian ini bisa menjadi strategi terapi psikologis untuk meningkatkan kontrol emosional (suasana hati, kecemasan, depresi) pada individu yang berisiko dengan meningkatkan fungsi kognitifnya. Intervensi lebih awal untuk mencegah dan mengatasi masalah dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dan memprediksi mereka yang berisiko.
Namun, belum diketahui apakah banyak latihan otak meningkatkan fungsi keseluruhan korteks prefrontal dorsolateral, atau hanya mengasah kemampuan untuk menyelesaikan tugas spesifik yang dilatih. Karena itu, penelitian lebih lanjut pada populasi yang lebih beragam diperlukan untuk mengonfirmasi hasil tersebut.
Mengatasi depresi
Sementara itu, bagi orang yang mengalami depresi, aktivitas fisik atau olahraga yang menyenangkan serta membuat mereka terlibat secara sosial mampu menyelamatkan dan memperbaiki kondisi mental.
Tahun 2017, WHO menyatakan, depresi dan kecemasan merupakan gangguan mental umum yang prevalensinya paling tinggi. Lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia menderita kecemasan dan 322 juta orang menderita depresi.
Baca Juga: Jaga Jiwa Selama Masa Bahaya Korona
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi penderita depresi di Indonesia sebesar 6,2 persen pada rentang usia 15-24 tahun. Prevalensi menurun pada rentang usia lebih tua, kemudian mulai meningkat pada rentang usia 55-64 tahun menjadi 6,5 persen, dan tertinggi 8,9 persen pada mereka yang berusia di atas 75 tahun.

Penelitian Wanja Brüchle dan kolega dari Universitas Ruhr Bochum dan Universitas Bielefeld, Jerman, yang dimuat 9 Juni 2021 di jurnal Frontiers in Psychiatry, membuktikan, aktivitas fisik bermanfaat bagi otak. Antara lain, memupuk kemampuan untuk berubah dan beradaptasi. Dengan kata lain, meningkatkan neuroplastisitas otak.
Penelitian di Klinik Psikiatri dan Psikoterapi Universitas Ruhr Bochum melibatkan 41 pasien depresi yang dirawat di rumah sakit. Para peserta dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok menjalani program latihan selama tiga minggu. Program yang dikembangkan oleh tim dari Universitas Bielefeld yang dipimpin oleh Thomas Schack, Guru Besar Fakultas Psikologi dan Ilmu Olahraga Universitas Bielefeld, Jerman, ini bervariasi, mengandung unsur menyenangkan, dan tidak berbentuk kompetisi, melainkan membutuhkan kerja sama tim dari para peserta. Kelompok lain yang menjadi kontrol tidak mendapat aktivitas fisik apapun.
Baca Juga: Stres Melemahkan Kekebalan Tubuh
”Program kegiatan fisik ini secara khusus didisain untuk meningkatkan motivasi dan kebersamaan sosial sambil menghilangkan rasa takut akan tantangan dan pengalaman negatif terkait aktivitas fisik,” papar Karin Rosenkranz, Guru Besar Psikiatri Universitas Ruhr Bochum, yang memimpin penelitian, kepada Science Daily, 4 Agustus 2021.
Orang yang mengalami depresi sering menarik diri dan tidak aktif secara fisik. Tim meneliti keparahan gejala depresi, seperti kehilangan dorongan dan minat, kurangnya motivasi dan perasaan negatif, baik sebelum dan sesudah program.

Orang dengan gangguan jiwa mengangkat kursi panjang di panti rehabilitasi disabilitas mental Yayasan Jamrud Biru, Kelurahan Mustikasari, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (14/4/2021). Berbagai tekanan yang dihadapi manusia di tengah pandemi Covid-19 menyebabkan kerentanan pada kesehatan jiwa. Sayangnya, hingga kini risiko kesehatan jiwa belum menjadi prioritas dalam upaya penanggulangan Covid-19 di masyarakat. Laporan WHO menyebut banyak orang stres karena dampak kesehatan akibat korona dan konsekuensi dari karantina.
Hasil penelitian menunjukkan, kemampuan otak untuk berubah lebih rendah pada orang dengan depresi dibandingkan pada orang sehat. Namun, dengan mengikuti program aktivitas fisik, kemampuan otak untuk berubah meningkat secara signifikan hingga mencapai nilai yang sama dengan orang sehat. Pada saat yang sama, gejala depresi menurun pada kelompok tersebut. Adapun pada kelompok kontrol, perubahan gejala tidak begitu terlihat.
”Ini menunjukkan bahwa aktivitas fisik memiliki efek pada gejala dan kemampuan otak untuk berubah, dengan mendorong koneksi sel saraf. Semakin meningkat kemampuan untuk berubah, gejala klinis semakin menurun. Kemampuan untuk berubah penting untuk semua proses pembelajaran dan adaptasi otak,” kata Rosenkranz.
Kesimpulannya, aktif berpikir dan bergerak merupakan kunci kesehatan mental untuk mencegah gangguan kecemasan serta depresi. Bonusnya, mendapat kesehatan fisik yang prima untuk menikmati kehidupan.