Alam telah memberkahi Nusantara dengan beragam sumber bahan pangan dan leluhur kita telah mewariskan beragam resep untuk mengolahnya. Namun, berkah alam dan budaya ini banyak ditinggalkan, membuat kita paria pangan.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
Alam telah memberkahi Nusantara dengan beragam sumber bahan pangan dan leluhur kita telah mewariskan beragam resep untuk mengolahnya. Namun, sebagian sumber pangan itu, terutama yang tumbuh liar di alam, semakin menghilang karena menyusutnya hutan, pertanian monokultur, dan penyeragaman pangan.
Penyeragaman pangan memang telah dimulai sejak manusia modern memasuki era Revolusi Pertanian, ribuan tahun lalu. Jika sebelumnya alam yang melakukan seleksi untuk menentukan keberlangsungan flora dan fauna, sejak itu manusia mengambil alihnya.
Sambil membudidayakan tanaman tertentu dan satwa yang berhasil didomestifikasi, manusia mulai menyingkirkan spesies yang dianggap tidak produktif. Tanaman gandum (Triticum sp), misalnya, sebelum 9.000 tahun lalu hanyalah rumput liar—satu di antara sekian jenis tumbuhan di wilayah sempit di Timur Tengah. Namun, setelah campur tangan manusia, tanaman ini menyebar luas.
Ditopang industrialisasi dan perdagangan, gandum menjadi sumber pangan manusia paling utama di bumi dengan total produksi per tahun mencapai 7,49 juta ton, disusul padi 7,4 juta ton. Sedangkan jagung menjadi sumber pangan paling banyak ditanam, mencapai 1,89 miliar ton per tahun (FAO, 2018). Menurut kriteria evolusi dasar, ketiga tanaman biji-bijian ini adalah yang paling berhasil.
Di satu sisi, ketiga biji-bijian ini berhasil menopang kebutuhan pangan manusia. Meski demikian, ketergantungan pada sedikit jenis sumber pangan budidaya itu kini menjadi sumber masalah kesehatan dan lingkungan.
Dari aspek kesehatan, resistensi terhadap pangan tertentu terus meningkat, misalnya penderita diabetes disarankan menghindari beras dan celiac disease dilarang memakan gandum. Dari aspek lingkungan, praktik pertanian modern berkontribusi pada kepunahan beragam spesies, selain memperparah krisis iklim. Pada saat yang sama, tanaman pangan utama ini termasuk paling rentan terdampak pemanasan global sehingga keberlangsungannya terancam.
Berbagai laporan ilmiah menunjukkan, keberagaman sumber pangan, termasuk pangan liar, adalah kunci bagi keseimbangan nutrisi dan juga keberlangsungan ekosistem di bumi. Terbaru, laporan para ilmuwan dari Royal Botanic Gardens dan Imperial College London di jurnal Nature Plants pada Kamis (24/2/2022) mengidentifikasi lebih dari 1.000 tanaman yang selama ini jarang dimanfaatkan, padahal kaya nutrisi.
Contoh tanaman yang diidentifikasi sebagai sumber vitamin B potensial adalah rumput fonio dan kerabat liarnya dari Genus Digitaria yang tumbuh liar di sabana Afrika Barat.Rumput ini memiliki bulir kecil, mirip jewawut.Tanaman ini dianggap bisa mewakili sumber makanan utama untuk masa depan karena tumbuh cepat dan sangat tahan terhadap iklim panas dan kering.
Peneliti juga mengidentifikasi Durio kutejensis, durian liar dari Kalimantan, yang terancam deforestasi dan perluasan perkebunan sawit.Buah ini juga disebut sebagai durian pulu, durian merah, nyekak, pakan, kuluk, atau lai dalam bahasa berbagai istilah lokal di Kalimantan.Selain tidak berbau menyengat,Durio kutejensis ternyata kayaserat, kalium, vitamin C, dan vitaminB kompleks.
Buah lai ini hanya satu dari jutaan spesies liar yang ada di sekitar kita yang selama ini dipandang sebelah mata. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 16.000 pulau, Indonesia adalah megabiodiversitas yang diberkati beraneka ragam sumber makanan, baik di daratan maupun perairannya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, Indonesia memiliki setidaknya 100 jenis karbohidrat, 100 kacang-kacangan, 450 buah, serta 250 sayuran dan jamur dikonsumsi di dalam negeri. Di luar angka ini, aneka pangan liar yang belum teridentifikasi dipastikan masih banyak lagi. Penelitian Lukas Pawera dkk (jurnal Foods, 2020), misalnya, mengidentifikasi 106 spesies sumber pangan liar di Minangkabau dan Mandailing saja.
Keberagaman sumber pangan, termasuk pangan liar, adalah kunci bagi keseimbangan nutrisi dan juga keberlangsungan ekosistem di bumi.
Selama bergenerasi, keanekaragaman hayati ini menjadi sumber makanan beragam masyarakat lokal sehingga melahirkan beragam resep tradisional yang bisa mendukung kecukupan nutrisi. Misalnya, olahan pati sagu yang secara tradisional banyak dijumpai dari Aceh hingga Merauke. Di daerah di mana sagu menjadi makanan pokok, seperti Papua, Maluku, atau Luwu, pengolahannya biasa dilengkapi ikan, seperti papeda atau kapurung, mengingat sagu relatif rendah kandungan protein. Sementara di Jawa sagu menjadi camilan sehingga cukup dimakan dengan parutan kelapa menjadi ongol-ongol.
Masyarakat tradisional juga memiliki keterampilan mengolah aneka makanan berisiko. Misalnya, di Jawa dan banyak daerah lain ada olahan umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst) yang mengandung sianida atau di Bajo dan Buton yang mahir mengolah ikan buntal (Tetraodontidae) yang mengandung racun sangat mematikan, tetrodotoksin.
Meski demikian, survei yang dilakukan Pawera (2020) di Minangkabu dan Mandailing menunjukkan, meskipun kedua komunitas ini memandang pangan liar secara positif, konsumsinya telah menurun selama generasi terakhir. Alasan utamanya ketersediaan pangan liar semakin terbatas dan perubahan gaya hidup.
Secara nasional, berkah keberagaman hayati dan kekayaan budaya pangan lokal semakin tergusur oleh politik pangan yang menyeragamkan. Contoh klasik adalah penyeragaman beragam karbohidrat lokal menjadi beras, selain terigu dari gandum impor. Hasilnya, kita menjadi pengimpor gandum terbesar dunia (FAO, 2021) serta tidak pernah absen impor beras.
Sebaliknya, konsumsi makanan sehat yang dapat disediakan oleh keanekaragaman hayati Indonesia, seperti sayuran berdaun hijau, sagu, aneka umbi, polong-polongan segar, dan daging liar, menurun (Nurhasan dkk, CIFOR, 2021), membuat Indonesia menanggung tiga beban masalah gizi (triple burden) yaitu stunting, wasting, dan obesitas serta kekurangan zat gizi mikro, seperti anemia.