Boti yang Bertahan dari Krisis dan Pagebluk
Dengan berdaulat pangan, masyarakat adat Boti di Timor Tengah Selatan terbukti berdaya tahan saat menghadapi krisis dan pagebluk. Pola hidup mereka juga mampu menjaga keseimbangan lingkungan.
Di tengah kelangkaan minyak goreng dan merangkaknya harga-harga bahan pangan, masyarakat Boti seperti tidak terusik. Masyarakat adat yang tinggal di Pulau Timor ini mampu memenuhi hampir seluruh kebutuhan hidup dan itulah yang membuat mereka bertahan dari krisis, termasuk selama pagebluk Covid-19.
Masyarakat adat Boti secara administratif tinggal di Kecamatan Kie, Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Untuk mencapai wilayah tinggal mereka bisa ditempuh sekitar tiga jam dari Soe, ibu kota Kabupaten TTS, melalui jalan berbukit yang sebagian besar tidak beraspal.
Masyarakat Boti yang masih tinggal dalam rumah adat dalam satu kluster wilayah dan masih mempraktikkan kepercayaan Halaeka disebut sebagai Boti Dalam. Mereka dipimpin Usif (Raja) Boti, Namah Benu.
Sementara komunitas Boti yang memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik kerap disebut sebagai Boti Luar. Jumlah penduduk Boti Dalam sekitar 77 kepala keluarga atau 319 jiwa, sedangkan Boti Luar sekitar 2.500 jiwa.
Baca juga: Masyarakat Adat dan Covid-19
Sejak awal pandemi Covid-19, masyarakat Boti, khususnya Boti Dalam, telah menutup diri dari dunia luar dan baru membuka diri akhir tahun 2021. ”Kami sudah menutup pintu masuk sejak Februari 2020,” kata Namah Benu, yang ditemui pada Rabu (8/12/2021).
Penutupan wilayah adat Boti ini dilakukan sebelum kasus pertama Covid-19 di Indonesia dikonfirmasi oleh pemerintah. Bebie Benu (29), bidan desa di Puskesmas Pembantu Boti, yang juga keponakan Raja Boti, mengatakan, di awal pandemi, dia menunjukkan video tentang kondisi Wuhan di China, yang saat itu sudah terdampak Covid-19. ”Ini kemungkinan turut memperkuat keputusan Usif untuk menutup Boti,” katanya.
Bebie mengatakan, karantina wilayah yang diberlakukan di Boti berlangsung sangat ketat. Mereka sama sekali tidak menerima tamu dari luar, bahkan juga pejabat daerah yang datang tidak diizinkan masuk.
Masyarakat adat Boti membuat posko di pintu masuk desa yang diawasi secara bergilir. Warga yang masuk keluar desa sangat dibatasi dan diawasi.
Sebelum melakukan karantina wilayah, Raja Boti meminta masyarakatnya mempersiapkan segala kebutuhan dasar, terutama menyiapkan kecukupan pangan dan mengontrol ketersediaannya di lumbung. ”Hanya garam yang kami beli dari luar dan itu kami beli sebelum menutup desa,” kata Molo Benu, adik Raja Boti.
Baca juga: Ketahanan Pangan Masyarakat Adat Teruji
Dengan karantina wilayah yang ketat, Boti bisa selamat dari wabah. Hingga akhir 2021, tidak ada laporan kasus Covid-19 di Boti Dalam. Walaupun dilaporkan ada dugaan Covid-19 di Boti Luar, tetapi tidak sampai terjadi penularan yang meluas. ”Boti sampai sekarang masih aman dari Covid-19,” kata Bebie, yang dihubungi kembali, pekan lalu.
Kajian tentang ”Mitigasi dan Adaptasi Masyarakat Adat terhadap Pandemi Covid-19” oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi juga menunjukkan Boti termasuk di antara masyarakat adat yang memiliki ketahanan selama pandemi. Selain minim dari kasus penularan, Boti juga tidak terdampak secara sosial atau ekonomi.
Hanya garam yang kami beli dari luar dan itu kami beli sebelum menutup desa.
Dalam laporan yang dirilis pada pertengahan Februari 2022 ini disebutkan, selain Boti, masyarakat adat yang memiliki daya tahan terhadap pandemi antara lain Badui Dalam di Banten dan Kajang Dalam di Sulawesi Selatan. Ketiga masyarakat adat ini memiliki karakteristik serupa, yaitu masih memegang teguh tradisi, kepemimpinan adat yang kuat, dan berdaulat pangan.
Kedaulatan pangan
Kedaulatan pangan di Boti terlihat nyata. Secara turun-temurun, masyarakat adat Boti sebenarnya mandiri pangan, termasuk minyak goreng, yang mereka buat sendiri dari kelapa. ”Tak hanya cukup makanan, kualitas gizi masyarakat Boti juga amat baik. Sampai sekarang tidak ada kasus gizi buruk dan stunting di Boti,” kata Bebie.
Padahal, Studi Status Gizi Balita Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tahun 2019 menunjukkan bahwa NTT merupakan provinsi dengan angka prevalensi stunting atau tengkes tertinggi di Indonesia hingga mencapai 43,8 persen. Kabupaten TTS termasuk yang memiliki tingkat tengkes dan gizi buruk paling tinggi di NTT. Tengkes merupakan gagal tumbuh kembang karena kurang gizi kronis.
Seperti daerah lain di Pulau Timor, kondisi alam Boti sebenarnya juga tergolong kering, dengan tanah berbatu kapur yang minim unsur hara. Namun, masyarakat adat Boti, terbukti mampu menyiasati keterbatasan sumber daya alam itu, salah satunya dengan menanam beragam jenis tanaman yang bisa tumbuh baik di lahan kering.
Baca juga: Pengetahuan Masyarakat Adat Melampaui Literatur Akademis
Selain padi ladang, menurut Molo Benu, mereka juga menanam pena (jagung), pen mina (sorgum), sain (jewawut), pisang, dan beragam umbi-umbian dengan sistem permakultur. Ragam tanaman pangan ini ditanam di sela-sela tanaman keras di hutan ulayat mereka yang terjaga dengan baik, serta di pekarangan sekitar rumah.
”Jika satu tanaman hasilnya kurang baik, kami masih punya panen dari tanaman yang lain. Jika berlebih, hasilnya kami simpan di umekebubu (lumbung),” katanya.
Selama tinggal di Boti, ragam sumber pangan ini disajikan secara bergantian. Misalnya, pagi hari menunya pisang luan yang digoreng dengan minyak kelapa. Siangnya dijamu dengan jagung mbose, yaitu jagung yang direbus bersama kacang-kacangan, dan baru pada malam hari disajikan beras.
Sementara itu, untuk kebutuhan protein, hampir setiap keluarga di Boti memiliki ternak, mulai dari ayam, babi, kambing, hingga sapi. Banyak keluarga di Boti yang memiliki ternak sapi hingga ratusan ekor. Selain dikonsumsi, sebagian besar hewan ternak ini dijual dan menjadi sumber utama pendapatan warga, selain kain tenun.
Tak hanya pangan, orang Boti menenun kain yang dirajut dari kapas yang ditanam di sekitar rumah mereka. Semuanya serba alami, termasuk pewarna kain juga dibuat dari akar, daun, dan kulit tanaman. Bahkan, menurut Molo Benu, orang Boti juga membuat sendiri sabun dan sampo untuk mencuci rambut dengan bahan dari alam.
”Sejak turun-temurun kami diajarkan bekerja keras sehingga tidak tergantung orang luar,” kata Namah Benu, yang kemudian menyebut semboyan hidup mereka, meup on le ate, tah on le usif. Semboyan ini artinya kira-kira, bekerja seperti hamba, makan seperti raja.
Menerima bantuan, termasuk dari pemerintah, merupakan hal tabu bagi masyarakat Boti, apalagi jika itu berkaitan dengan makanan dan minuman. Jangankan bantuan sosial, selama ini, masyakarat Boti juga selalu menolak bantuan raskin (beras miskin) atau yang sekarang menjadi rastra (beras sejahtera).
Sementara mencuri merupakan tabu terbesar, hukumannya tergolong unik. Sebagai contoh, jika ada yang mencuri ayam, warga agar ramai-ramai memberikan ayam. Jika ada yang mencuri kambing, akan diberikan kambing dan seterusnya sampai mereka berhenti mencuri karena malu.
Untuk menjaga agar tidak ada anggota komunitas mereka yang kekurangan pangan, mereka juga memiliki modal sosial. Jadi, selain memiliki kebun sendiri, masyarakat Boti memiliki kebun komunal.
Raja mengatur pengelolaan kebun komunal ini dan penggarapannya dilakukan bersama-sama dengan anggota masyarakat lain, dan kemudian hasilnya diperuntukkan kepada mereka yang sedang kesusahan.
Masyarakat Boti telah menunjukkan pola hidup masyarakat tradisional kita yang terbukti berdaulat pangan sehingga berdaya tahan saat menghadapi krisis. Tak hanya itu, pola hidup mereka juga terbukti mampu menjaga kelestarian lingkungan, termasuk mampu mengelola sumber air yang terbatas, sehingga tetap berkelanjutan.