1.044 Tanaman Kaya Vitamin B Diidentifikasi, Termasuk Lai dari Kalimantan
Peneliti juga mengidentifikasi ”Durio kutejensis”, spesies durian liar dari Kalimantan, yang terancam oleh deforestasi dan perluasan pertanian. Buah ini kaya serat, kalium, vitamin C, dan vitamin B kompleks.
JAKARTA, KOMPAS — Para peneliti mengidentifikasi lebih dari 1.000 tanaman yang selama ini jarang dimanfaatkan yang ternyata kaya vitamin B, salah satunya Durio kutejensis atau durian liar dari Kalimantan. Identifikasi ragam tanaman yang dapat dimakan ini dapat membantu mengatasi kekurangan vitamin B di banyak negara, termasuk di Indonesia.
Dalam makalah baru yang diterbitkan pada Kamis (24/2/2022) di Nature Plants, para ilmuwan dari Royal Botanic Gardens, Kew, Imperial College London, dan peneliti lain dari Inggris dan Amerika Serikat mengungkapkan hasil penelitian yang mengidentifikasi 1.044 spesies tanaman yang berpotensi menjadi sumber vitamin B. Aoife Cantwell-Jones, dari Departemen Ilmu Hayati di Imperial College London, menjadi penulis utama makalah ini.
Vitamin B dalam berbagai bentuknya diketahui membantu memecah dan melepaskan energi dari makanan dan membantu menjaga sistem saraf yang sehat. Hal ini penting untuk kesehatan manusia, tetapi banyak orang, baik di negara maju maupun berkembang, yang kekurangan vitamin B.
Besar kemungkinan keanekaragaman hayati pangan Indonesia bisa jadi solusi masalah gizi kita.
Dalam kajian ini, para peneliti mengumpulkan data kandungan vitamin B untuk hampir 300 spesies tanaman dengan profil nutrisi yang telah diketahui. Spesies yang berkerabat dekat menunjukkan nilai nutrisi yang lebih mirip daripada yang berkerabat jauh. Para peneliti kemudian menggunakan hubungan evolusioner beragam tanaman ini untuk memprediksi nilai vitamin lebih dari 6.000 spesies tanaman yang dapat dimakan dan didokumentasikan di seluruh dunia.
Temuan mereka menunjukkan sekitar 1.000 spesies tanaman baru diidentifikasi sebagai sumber potensial dari lima vitamin B yang berbeda, yaitu B1, B2, B3, B5, dan B9. Mereka juga menemukan bahwa 63 tanaman terancam di lingkungan alaminya.
Laporan kajian ini menyebutkan, negara dari sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara, dan pulau-pulau Pasifik (misalnya Vanuatu, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Guinea Khatulistiwa, Jawa, Thailand, dan Gabon) memiliki persentase spesies sumber niasin yang tinggi yang tidak dilestarikan secara eksitu. Niasin juga dikenal sebagai vitamin B3, salah satu vitamin B-kompleks.
”Kita perlu lebih memperhatikan keragaman tanaman yang dapat dimakan untuk lebih memahami bagaimana mereka (tanaman-tanaman tersebut) dapat berkontribusi pada nutrisi manusia dan apa yang perlu kita lakukan untuk melestarikannya bagi generasi mendatang. Studi kami mewakili langkah penting ke arah itu,” sebut Aoife Cantwell-Jones, seperti yang dirilis Imperial College London.
Para peneliti menyebutkan, banyak dari spesies yang rentan dan kaya nutrisi ini ditemukan di titik-titik rawan malanutrisi global, seperti Asia Tenggara dan sub-Sahara Afrika. Sebanyak 358 spesies sumber potensial ini juga belum dinilai status konservasinya dan diperkirakan jumlah spesies yang terancam punah bisa jauh lebih banyak.
Baca Juga: Sejumput Kenangan dalam Buah-buahan Langka
Laporan ini menyoroti kebutuhan penting untuk tindakan konservasi lebih lanjut guna memastikan bahwa keanekaragaman tanaman yang dapat dimakan tetap menjadi cadangan nutrisi untuk generasi mendatang.
Samuel Pironon, peneliti di Kew’s Ecosystem Stewardship Team yang turut menulis makalah ini, mengatakan, lebih dari dua miliar orang menderita kekurangan gizi di seluruh dunia. Karena itu, upaya meningkatkan akses jangka panjang ke keanekaragaman sumber mikronutrien tanaman liar dan budidaya menjadi kunci untuk penghidupan manusia.
”Studi ini menggambarkan bagaimana pengetahuan dasar kita tentang keanekaragaman tumbuhan dan keterkaitan evolusi dapat menyediakan alat untuk melestarikan alam dan lingkungannya. Selain itu berkontribusi kepada orang-orang, termasuk yang paling penting: makanan,” tuturnya.
Dari Indonesia
Dalam makalah ini, peneliti memberi contoh tanaman yang baru diidentifikasi sebagai sumber vitamin B potensial, di antaranya genus Digitaria, yang terdiri dari banyak spesies rumput dengan potensi nutrisi tinggi. Termasuk genus ini adalah rumput fonio dan kerabat liarnya yang berasal dari sabana Afrika Barat.
Rumput fonio terutama tumbuh di sekitar daerah aliran Sungai Niger dan memiliki bulir kecil, mirip jewawut, sehingga kerap dimasukkan dalam himpunan milet. Tanaman ini dianggap bisa mewakili sumber makanan utama untuk masa depan karena tumbuh cepat dan sangat tahan terhadap iklim panas dan kering.
Selain itu, peneliti juga mengidentifikasi Durio kutejensis adalah spesies durian liar dari Kalimantan, yang terancam oleh deforestasi dan perluasan pertanian.Buah ini juga disebut sebagai durian pulu, durian merah, nyekak, pakan, kuluk, atau lai dalam bahasa berbagai istilah lokal di Kalimantan.Selain tidak berbau menyengat sebagaimana durian pada umumnya,Durio kutejensis juga kayaserat, kalium, vitamin C, dan vitaminB kompleks.
Untuk memanfaatkan berbagai spesies sumber pangan potensial ini, Cantwell-Jones mengatakan, pertama-tama kita harus menjamin mereka tetap tersedia di alam liar dalam jangka panjang. Berikutnya, kita harus tahu bagaimana memanfaatkannya sebaik mungkin. ”Baik spesies sumber maupun pengetahuan tradisional di sekitarnya dengan demikian harus diprioritaskan untuk konservasi,” ujarnya.
Keragaman pangan
Mulia Nurhasan, peneliti pangan dan nutrisi dari Center for International Forestry Research (CIFOR), dalam wawancara, Jumat (25/2), mengatakan, masih banyak sumber pangan liar yang belum terdokumentasikan, tetapi sebenarnya telah dikonsumsi masyarakat di Indonesia. ”Dalam survei konsumsi sumber pangan nasional, jenis yang ditanyakan biasanya terbatas. Sisanya tidak ditanyakan. Selama ini belum ada identifikasi secara sistematik dan menyeluruh untuk semua area di Indonesia,” kata Mulia, yang tidak terlibat kajian ini.
Menurut Mulia, keragaman sumber pangan merupakan elemen penting dalam pemenuhan nutrisi, termasuk dalam mengatasi stunting (tengkes), gizi buruk, dan obesitas di Indonesia. ”Sumber zat gizi mikro bisa jadi modal utama untuk memerangi stunting,” ucapnya.
Baca Juga: Pengetahuan Masyarakat Adat Melampaui Literatur Akademis
Karena setiap spesies sumber pangan akan memiliki zat gizi yang beda, menurut Mulia, fokus kebijakan jangan hanya ke pangan dengan nilai ekonomi tinggi saja. ”Tapi juga ke pangan lokal yang jarang disorot, padahal banyak di konsumsi masyarakat dan bisa diambil secara gratis dari alam,” tuturnya.
Mulia menambahkan, kajian-kajian ini juga menguatkan tentang pentingnya kebijakan pangan berbasis regional dan keragaman pangan lokal. ”Karena setiap region di Indonesia punya pangan liar yang berbeda, perlu diteliti dan didokumentasikan apa saja yang ada, di mana saja, dan kandungan gizinya. Kalau dikaitkan dengan studi ini, besar kemungkinan keanekaragaman hayati pangan Indonesia bisa jadi solusi masalah gizi kita,” paparnya.
Baca Juga: Kasturi, Mangga Mungil nan Manis yang Kian Langka