Anonimitas Ilmuwan
Banyak ilmuwan bungkam atas berbagai persoalan yang dihadapi publik, bahkan tak berani bersuara kritis memperjuangkan nasib sendiri. Ini menandai kuatnya otoritarianisme dan feodalisme di kalangan akademisi dan peneliti.
Peleburan sejumlah lembaga riset di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional memicu polemik. Ilmuwan pun terbelah. Banyak yang bersuara kritis dan skeptis, selain ada juga yang mendukung. Namun, banyak juga yang memilih diam.
Perbedaan perspektif merupakan hal yang wajar dalam menyikapi perubahan. Akan tetapi, menjadi tidak wajar ketika ilmuwan yang berada di pusaran huru-hara ini justru membisu.
Tidak benar-benar diam sebenarnya karena sebagian yang kritismemilih anonim sehingga suara mereka tak muncul ke permukaan. ”Dulu kami bersuara, sampai demontrasi dan dipanggil DPR. Ada yang stres dan meninggal. Tapi tolong jangan tulis nama saya, berat konsekuensinya,” ujar peneliti eks Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam pesan tertulis.
Reorganisasi di LIPItahun 2019 memicu penentangan keras. Kritik para peneliti eks LIPI ini mirip dengan yang dilakukan eks peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan sejumlah lembaga riset lain saat ini. Masalahnya, terkait pemberhentian tenaga honorer dan administrasi, hingga soal teknis terkait penelitian.
Setelah reorganisasi, sejumlah peneliti ini mengeluhkan bahwa ekosistem riset tidak membaik, di antaranya, dana dan waktu riset yang terbatas serta tenaga pendukung yang dipotong. Kebanyakan yang memilih anonim ini adalah peneliti muda, walaupun ada juga profesor riset. Pada akhirnya, kritik bertubi-tubi terhadap BRIN lebih banyak disuarakan pensiunan atau akademisi di luar lingkaran institusi ini.
Gejala anonimitas ini juga banyak ditemui di sosial media. Banyak kritik penting disampaikan akun pseudonim. Sebagian pemilik akun ini, ketika dihubungi, ternyata orang dalam BRIN yang menentang reorganisasi, namun tidak berani tampil ke luar.
Tak hanya dalam kasus huru-hara BRIN ini, anonimitas ilmuwan juga banyak terjadi dalam berbagai masalah yang jadi perhatian publik. Misalnya, dalam kontroversi wisata malam di Kebun Raya Bogor, di bawah BRIN, dengan memasang pencahayaan yang dikhawatirkan mengganggu hewan dan serangga penyerbuk. Mereka yang bersuara kritis adalah budayawan dan mantan Kepala Kebun Raya Bogor, sedangkan peneliti BRIN yang disiplin ilmunya beririsan dengan tema ini memilih anonim, bahkan diam.
Banyak contoh kasus lain yang sepi dari suara ilmuwan, misalnya polemik pemindahan ibu kota negara (IKN) hingga sederet sengketa pengelolaan agraria dan sumber daya alam dengan menggusur ruang hidup warga. Padahal, banyak kampus ternama di sekitar episentrum sengketa, sebagaimana terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, hari-hari ini.
Baca juga: 23 Warga Wadas Ditangkap Saat Pengukuran Tanah
Akhirnya, berbagai persoalan ini hanya menjadi celoteh di media dan media sosial dan perlahan hilang dengan sendirinya karena tertimpa beragam isu lain. Soal IKN, misalnya, naskah akademiknya dicoret-coret netizen hingga viral, tetapi tak menggerakkan ilmuwan untuk melakukan kajian kritis secara mendalam.
Dulu kami bersuara, sampai demontrasi dan dipanggil DPR. Ada yang stres dan meninggal. Tapi tolong jangan tulis nama saya, berat konsekuensinya.
Apakah anonimitas ini bukti bahwa ilmuwan memilih aman di menara gading?
Ternyata tidak begitu juga. Banyak ilmuwan, terutama dari kampus yang turun gunung, tapi justru mendukungpraktikpemerintah maupun perusahaan yang merugikan publik dan lingkungan hidup. Wujudnya mulai dari menjadi konsultan amdal abal-abal, saksi ahli perusahaan perusak lingkungan,hingga melakukan berbagai studipesanan.
Di level institusi, sejumlah kampus semakin sering mengobral gelar doktor kehormatan, bahkan profesor kehormatan kepada sosok yang tidak memiliki sumbangan nyata bagi dunia akademik maupun masyarakat. Bahkan, mantan narapidana korupsi pun turut mendapatkan doktor kehormatan.
Baca juga: Pemberian Gelar Kehormatan oleh Perguruan Tinggi Jangan "Diobral"
Tentu saja kita tidak bisa menggeneralisasi, karena ada juga ilmuwan yang memegang kredibilitas dan tetap kritis. Namun, tidak salah jika Zuly Qodir, sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, menyebutkan, pendidik-akademisi di Indonesia saat ini mengalami defisit martabat. Banyak yang memburu gelar dan publikasi ilmiah, tetapi absen bersuara terhadap masyarakat yang tertindas, bahkan tidak mendukung kolega sendiri yang terzalimi (Kompas, 17/1/2022).
Kebebasan akademik
Melemahnya kebebasan akademik sepertinya turut berkontribusi membentuk ekosistem seperti ini. Seperti dilaporkan Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), sepanjang 2021 ada 29 kasus terkait pelanggaran kebebasan akademik yang mereka dampingi. Jumlah ini meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan 2020 sebanyak 9 kasus, dan 2019 hanya 6 kasus (Kompas, 3/2/2022).
Berdasarkan laporan KIKA, ada kecenderungan otoritas kampus, yang didukung otoritas negara, semakin abai dengan nilai-nilai kebebasan akademik. Beberapa kasus yang ditemukan KIKA, teror langsung hingga serangan siber terhadap akademisi yang kritis, pembubaran diskusi akademik, represi terhadap aksi mahasiswa, hingga kriminalisasi terhadap akademisi yang menyuarakan antikorupsi dan kebebasan akademik.
Kebebasan akademik dan tanggungjawab akademik memang tak bisa dipisahkan. Di tengah represi yang menguat, para ilmuwan yang berani bersikap pasti menipis, atau jika bersuara memilih anonim.
Lalu apa jalan keluarnya? Ariel Heryanto, profesor emeritusdari Monash University, Australia, mengritik sikap naif ilmuwan Indonesia yang berharap kebebasan akademik sebagai hadiah dari pemerintah. Kebebasan akademik harus diperjuangkan sendiri dari bawah lewat pembentukan asosiasi independen atau serikat para ilmuwan (Kompas, 5/2/2022).
Upaya ini sebenarnya bukan tidak dicoba, tetapi praktiknya tidak mudah juga. Misalnya, di salah satu kampus negeri di Surabaya, pernah membentuk serikat dosen progresif, tetapi belum sempat tumbuh pengurusnya telah berpolitik dengan kekuasaan. Sejumlah serikat lain mengalami nasib serupa, melemah sebelum menguat.
Kuatnya warisan otoritarianisme dan tradisi feodalisme di kalangan akademisi membuat sejumlah serikat dosen di perguruan tinggi kehilangan nyali. Sikap kritis sesuai keilmuwannya, terutama sangat sulit dijalankan oleh ilmuwan dengan status aparat sipil negara (ASN) yang cenderung tunduk di bawah sistem birokrasi, persis seperti yang terjadi di BRIN saat ini.