Pemberian Gelar Kehormatan oleh Perguruan Tinggi Jangan ”Diobral”
Sebagian akademisi mengkritik pemberian gelar kehormatan, seperti doktor ”honoris causa”, terutama kepada pejabat negara yang terkesan ”diobral”. Pemberian seperti ini pragmatis dan menjadi instrumen transaksional.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian gelar kehormatan doktor atau profesor honoris causa kepada sosok atau tokoh yang dinilai memiliki karya dan jasa luar biasa pada ilmu pengetahuan teknologi dan kemanusiaan lazim diberikan perguruan tinggi. Namun, pemberian gelar kehormatan dari perguruan tinggi juga jadi sorotan karena muncul kesan ”diobral” atau sebagai balas jasa pihak tertentu di perguruan tinggi yang dapat mengancam kebebasan akademik.
Dalam diskusi yang digelar Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) bertajuk ”Polemik Pemberian Gelar Doktor Kehormatan: Quo Vadis Kebebasan Akademik”, Selasa (19/10/2021), Ubedilah Badrun, dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menyampaikan, UNJ berencana memberikan gelar kehormatan doktor honoris causa kepada wakil presiden dan seorang menteri.
Padahal, dalam pedoman pemberian gelar doktor kehormatan di UNJ yang diputuskan pada rapat pleno 10 Maret 2021 ada ketentuan untuk tidak memberikan gelar kehormatan kepada pejabat. Pimpinan UNJ akan mengubah aturan tersebut demi bisa memberikan gelar doktor honoris causa kepada pejabat negara.
”Selama ini pemberian doktor honoris causa diberikan kepada pejabat karena ada kepentingan pragmatis dan dijadikan instrumen transaksional antara elite kampus dan elite penguasa. Ini akhirnya merusak otonomi dan marwah universitas,” kata Ubedidilah, yang juga Presidium Aliasi Dosen UNJ.
Secara terpisah, melalui siaran pers, Humas UNJ menyatakan, UNJ selalu menjunjung tinggi kebebasan akademik, kebebasan menyampaikan pikiran dan pendapat dengan mengedepankan rasionalitas dan tanggung jawab untuk mengembangkan lembaga. UNJ berupaya meningkatkan dan memperbarui tata kelola lembaga yang baik (good governance), salah satunya dengan melakukan harmonisasi regulasi UNJ. Peninjauan rancangan pedoman pengusulan penganugerahan doktor kehormatan merupakan salah satu bentuk harmonisasi regulasi tersebut.
Rapat Senat UNJ pada 14 Oktober 2021 memutuskan harmonisasi tersebut perlu dilakukan. Sebab, terdapat ketentuan yang tidak sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 65 Tahun 2016, Statuta UNJ, dan Peraturan Rektor tentang pemberian gelar doktor kehormatan. Harmonisasi dilakukan bukan untuk memaksakan pemberian gelar doktor.
Polemik pemberian gelar kehormatan dari perguruan tinggi, terutama untuk pejabat negara maupun wakil rakyat, sering kali menuai kontroversi. Kelayakan tokoh atau sosok yang mendapat gelar kehomatan sering jadi pemicu keberatan sejumlan kalangan sivitas akademika.
Selama ini, pemberian doktor honoris causa diberikan kepada pejabat karena ada kepentingan pragmatis dan dijadikan instrumen transaksional antara elite kampus dan elite penguasa. Ini akhirnya merusak otonomi dan marwah universitas.
Sementara itu, Reni Suwarso, dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, memaparkan, gelar doktor kehormatan diberikan kepada seseorang dengan menghapus beberapa persyaratan untuk mendapat gelar, seperti jenjang pendidikan. Namun, penerima semestinya tidak mencantumkan gelar kehormatan di riwayat pendidikan, tetapi di penghargaan. Selain itu, tidak boleh sembarangan menggunakan gelar doktor honoris causa di komunitas luas.
”Sayangnya, di Indonesia gelar kehormatan doktor honoris causa seperti jadi tren, untuk pengakuan, untuk kehormatan, dan kekuasaan,” kata Reni.
Menurut Reni, pemberian gelar doktor honoris causa oleh perguruan tinggi sudah ada di abad pertengahan. Hal ini dimulai tahun 1470 oleh Oxford University. Penganugerahan gelar kehormatan diberikan, antara lain, kepada raja dan bangsawan.
Di Oxford University, perdana menteri Inggris lulusan kampus Oxford jika sudah selesai menjabat akan mendapat doktor honoris causa. Namun, ada juga pertimbangan penting yang tetap dipegang.
Meskipun gelar kehormatan bisa diberikan perguruan tinggi, ada sejumlah perguruan tinggi yang tidak memberikannya. Perguruan tinggi di Amerika Serikat, seperti Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cornell University, atau Standford Uiversity, tidak memberikan gelar doktor honoris causa. Mereka memberi medali atau sertifikat kehormatan kepada tokoh yang dinilai luar biasa.
Kontroversi pemberian gelar kehormatan tidak hanya terjadi di Indonesia. Mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcer, misalnya, diboikot untuk menerima gelar kehormatan doktor honoris causa dari Oxford University. Alasannya, Margaret mengeluarkan kebijakan memotong anggaran pendidikan.
Ada juga rencana pemberian doktor honoris causa kepada istri Perdana Menteri Malaysia Najib Razak oleh Curtin University karena ia dinilai berperan dalam mendukung pengembangan anak usia dini. Namun, penolakan keras datang dari akademisi di Malaysia dan Australia yang menilai peran tersebut dilakukannya dengan dukungan uang negara sehingga hal yang biasa saja.
Pencabutan gelar kehormatan dari tokoh yang sudah menerima juga bisa dilakukan perguruan tinggi. Misalnya, komedian Amerika Serikat, Bill Cosby, yang gelar doktor honoris causa-nya dicabut ketika terbukti dalam sebuah skandal seks.
”Ketika seseorang akan diberi dan setelah diberi gelar kehormatan ada tanggung jawab moral. Ini yang ditekankan pada mereka yang mendapat gelar doktor honoris causa dengan yang mendapatkan karena pendidikan,” ujar Reni.
Menurut Reni, pemberian gelar kehormatan juga bicara norma, etika moral, harga diri kampus, otonomi, hingga kebebasan akademik. ”Tidak sekadar memberi gelar kehormatan. Kalau memenuhi kriteria untuk gelar kehormatan, rasanya tidak ada yang menolak. Jika ada yang menolak, seperti kasus di UNJ, berarti, kan, perlu dicermati lagi,” ujar Reni.
Di UI pun pernah ada penolakan yang kuat ketika pemberian doktor honoris causa kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz pada tahun 2011. Kalangan akademisi UI menilai, penegakan hukum dalam penanganan pekerja migran Indonesia di Arab Saudi masih banyak yang salah sehingga masih ada pekerja migran kita mendapat hukuman mati meksipun tidak bersalah. Itu sebabnya Raja Arab Saudi dinilai tidak layak menerima gelar kehomatan.
Reni mengatakan, jual-beli gelar kehormatan dari kampus bisa saja terjadi karena ada kelompok oportunis pragmatis yang mau menaikkan gengsi dan jabatan dengan gelar doktor honoris causa. Di dalam kampus pun kelompok ini ada. Mereka mau mendapat jaringan dan akses proyek pemerintah, korporat, atau mau menjadi pejabat.
Pengajar di Universitas Persada Indonesia, Idhamsyah Eka Putra, mengatakan, di Indonesia aspek budaya secara umum juga dipraktikkan dalam lingkungan akademik. Tidak ada perbedaan karakteristik di lingkungan umum dengan di lingkungan akademik sehingga posisi struktural menentukan kekuasaan.
”Jika tidak ada perubahan sistem atau perubahan secara kolektif, praktik-parktik pemberian gelar kehormatan yang ’diobral’ akan terus ada. Tidak ada kampus yang mau melakukan hal berbeda. Praktik yang menimbulkan masalah atau kontroversi pun terus dibiarkan terjadi dan mengancam kebebasan akademik,” kata Idhamsyah.