Maaf-memaafkan, Baik untuk Jiwa, Baik untuk Bangsa
Silaturahmi dan maaf-memaafkan selama Lebaran baik bagi kesehatan mental, kesejahteraan masyarakat, dan hidup berbangsa.
Idul Fitri sebentar lagi tiba. Saling silaturahmi dan bermaafan menjadi tradisi perayaan Lebaran yang khas Indonesia. Tindakan ini tidak hanya bermakna religi sebagai sarana penghapus dosa, tetapi juga penting untuk ketenangan dan kesejahteraan jiwa serta kerukunan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Setelah sebulan penuh melatih mental melalui ibadah puasa, di akhir Ramadhan, agama menyedikan momen Idul Fitri untuk saling bersilaturahmi dan bermaafan. ”Idul Fitri adalah batu loncatan untuk berubah,” kata Guru Besar Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Faturochman, Sabtu (6/4/2024).
Silaturahmi menjadi sarana memperat relasi sosial yang intensitasnya selalu naik turun. Silaturahmi juga menjadi penyambung kembali hubungan antarmanusia yang renggang akibat jarak, waktu, dan keadaan. Bahkan, silaturahmi menjadi bukti pengakuan atas keberadaan orang lain. Karena itu, silaturahmi menjadi dasar kerukunan dalam kehidupan.
Baca juga: Meminta Maaf, Mudahkah?
Selama silaturahmi Lebaran itu, masyarakat biasanya juga bermaaf-maafan, bukan sakadar mengucapakan selamat Idul Fitri. Permohonan maaf merupakan wujud pengakuan salah atas kesalahan yang mungkin diketahui atau tidak diketahui, disengaja atau tidak disengaja, serta terucapkan atau termaksud dalam hati.
Dalam struktur relasi, orang yang meminta maaf telah merendahkan posisi dirinya dan meninggikan kedudukan orang yang dimintai maaf. Namun, karena permohonan maaf itu diawali dengan pengakuan dosa, orang yang dimintai maaf biasanya juga menurunkan posisinya dengan meminta maaf kembali kepada orang yang lebih dulu meminta maaf.
”Inilah hebatnya maaf-memaafkan. Orang mengakui salah dan meminta salahnya dihapuskan dan dimaafkan. Sebaliknya, orang yang memberi maaf yang mungkin saja melakukan kesalahan, dia juga akan meminta maaf kembali dan juga berharap untuk dimaafkan,” tambahnya.
Ahli neurosains afektif Jaak Panksepp (1943-2017) mengelompokkan memaafkan sebagai salah satu emosi tersier manusia. Emosi ini merupakan gabungan atau kombinasi antara sejumlah emosi primer dan sekunder serta bersumber dari pengalaman emosional yang spesifik dan bernuansa.
Emosi memaafkan, menurut ahli neurosains yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Taufiq Pasiak, mengaktifkan tiga daerah otak yang terlibat dalam pemrosesan informasi, memori, dan penilaian sosial, yaitu korteks prefrontal, hipokampus, dan amigdala.
Maaf-memaafkan ini bukan tentang bisnis, tetapi psikologi dan sosial.
Korteks prefrontal adalah bagian otak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, empati, dan kontrol emosi yang bersifat rasional. Sementara hipokampus terkait dengan memori dan pembelajaran. Adapun amigdala sebagai pusat emosi memproses segala emosi yang terlibat dalam maat-memaafkan.
”Memaafkan membutuhkan ingatan nostalgia, mengingat pelanggaran yang terjadi di masa lalu, dan ini tidak menyenangkan. Saat orang saling meminta maaf dan memaafkan akan terbentuk ikatan sosial yang baik,” katanya.
Selain ketiga wilayah otak itu, maaf-memaafkan juga melibatkan sejumlah neurotransmitter di otak, mulai dari oksitosin, dopamin, hingga kortisol. Oksitosin berperan dalam memunculkan sikap saling percaya, dopamin membuat seseorang merasa senang dan dihargai, serta kortisol terkait dengan stres.
”Saat seseorang memaafkan, otaknya akan melepas dopamin yang membuatnya merasa senang. Adanya oksitosin membuat orang yang meminta maaf dan memberi maaf akan saling percaya, seperti bayi yang sedang menyusu ibunya. Perasaan tenang dan damai itu membuat hormon kortisol menjadi kurang aktif,” tambahnya.
Terkadang sulit
Meski demikian, memberi maaf itu terkadang sangat sulit. Menurut Faturochman, kondisi itu bisa dipicu oleh besarnya kesalahan sehingga seseorang menunda memberikan maaf dan berharap bisa menjadi pelajaran bagi yang bersalah untuk memperbaiki diri. Namun, sulitnya memaafkan juga bisa disebabkan oleh diri yang egois.
Tidak memberi maaf ke orang lain sejatinya sama dengan menanggung beban berat bagi diri sendiri. Bagaimanapun, sifat asal alias fitrah manusia itu menyukai dan mencari kebaikan. Repotnya lagi, beban berat itu tidak ditanggung oleh orang yang meminta maaf karena dia sudah berusaha meminta maaf atas salah yang dilakukan.
Baca juga: Memaafkan Punya Efek Dahsyat bagi Negara
”Hidup adalah untuk mencari kebaikan dan saat kita kehilangan kebaikan, kita akan mencarinya kembali,” ujarnya.
Selain itu, karena momentum maaf-memaafkan itu dilakukan setelah menjalani puasa Ramadhan sebulan, seharusnya jalan menuju pemaafan juga menjadi lebih mudah. Toh tidak ada manusia yang sempurna. Di antara kejelekan yang dimiliki seseorang, pasti setiap orang juga memiliki kebaikan. Namun, kesalahan yang sedikit itu sering membuat kita tidak bisa melihat banyak kebaikan yang dimiliki orang lain.
”Meminta maaf itu baik, tetapi memberi maaf itu jauh lebih baik,” tambah Faturochman.
Saat seseorang sulit memaafkan, lanjut Taufiq, bagian otak yang lebih aktif adalah amigdala. Sementara saat orang lebih mudah memaafkan, bagian otak yang lebih aktif adalah korteks prefrontal dan hipokampus karena proses ini melibatkan bagian otak yang terkait dalam pengambilan keputusan dan rasionalitas.
”Memaafkan justru mengurangi stres, kecemasan, dan depresi sehingga membuat seseorang lebih tenang dan lebih senang,” katanya. Tingkat kesenangan yang dirasakan seseorang saat memberi maaf lebih besar daripada meminta maaf karena memberi maaf merupakan upaya proaktif sehingga pengaruh oksitosinnya lebih kuat.
Namun, sulitnya memaafkan bukan ditentukan semata oleh faktor biologis karena pemaafan terkait dengan proses pembelajaran alias pengasuhan orangtua dan lingkungannya sejak kecil. Anak yang dididik untuk memelihara dendam, menonjolkan amarah saat menghadapi masalah, dan bahkan berat memberi maaf atas hal-hal kecil membuatnya akan tumbuh menjadi individu yang lebih sulit memberi maaf.
Baca juga: Membantu Anak untuk Belajar Memaafkan
”Orang yang tidak dilatih memiliki empati, memiliki rasa sayang terhadap orang lain, bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, akan lebih sulit memberi maaf kepada yang lain,” kata Taufiq.
Ikatan sosial
Maaf-memaafkan tidak hanya baik bagi kesehatan mental, tetapi juga untuk kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Empati yang terbangun dari perbuatan maaf-memaafkan dan pelepasan oksitosin di otak mampu membangun ikatan sosial. Maaf-memaafkan mampu membangun kepercayaan yang menjadi fondasi bagi terbangunnya ikatan sosial.
”Di balik maaf-memaafkan itu ada empati dan rasa percaya kepada orang lain,” tambah Taufiq. Sepanjang kita sulit percaya dengan orang lain, selama itu pula ikatan sosial kita akan lemah. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, ini adalah persoalan besar bagi ketahanan bangsa.
Silaturahmi dan maaf-memaafkan, lanjut Faturochman, menjadi media untuk saling menutup kesalahan dan kekurangan yang dilakukan setiap orang selama berinteraksi. Kesalahan dalam interaksi sosial itu hanya bisa diselesaikan jika seseorang meminta maaf ke orang lain. Karena itu, maaf-memaafkan menjadi fondasi dari kerukunan masyarakat dan integrasi sosial.
Permintaan maaf selama Idul Fitri ini juga tidak disertai adanya obyek material untuk dinegosiasikan. Masyarakat hanya datang ke seseorang, meminta maaf, dan hanya berharap dimaafkan. Karena itu, tradisi maaf-memaafkan ini tidak akan menghapus utang-piutang, perjanjian pinjam-meminjam, mengurangi atau menambah hak waris dalam keluarga, atau meningkatkan keuntungan dari kerja sama bisnis yang dilakukan.
”Maaf-memaafkan ini bukan tentang bisnis, tetapi psikologi dan sosial,” katanya.
Saling bertemu dan bertamu untuk bermaafan itu bisa memunculkan apa yang oleh psikolog dan kolumnis The Wall Street Journal, Susan Pinker, menyebut sebagai the village effect. Tatap muka dan kohesivitas sosial seperti layaknya warga desa telah memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia membuat manusia lebih pintar, lebih sehat, lebih bahagia, lebih tangguh, bahkan berumur lebih panjang.
Baca juga: Memaafkan dan Melepaskan
Interaksi sosial secara langsung, tambah Taufiq, menstimulasi otak lebih kuat dan lebih dalam dibanding interaksi melalui gawai atau media sosial. Manatap wajah orang lain dalam struktur tiga dimensi, menjabat tangannya, dan mendengar suaranya langsung memberikan kesejahteraan yang jauh lebih besar dibanding perjumpaan via teknologi.
Padahal, bisa jadi maaf-memaafkan yang berlangsung selama Idul Fitri ini hanya sebatas ritual semata atau tidak tulus. Saat permintaan maaf dan pemberian maaf tidak ikhlas dan penuh manipulasi, hal itu justru akan meningkatkan hormon kortisol dan mengaktifkan amigdala. Akibatnya, mereka justru akan stres, cemas, takut, waswas, dan marah. Alih-alih terbangun kohesivitas sosial, justru rasa curiga yang akan muncul.
Namun, karena silaturahmi dan maaf-memaafkan selama Lebaran adalah fenomena budaya, orang ”dipaksa” untuk terus melakukannya setiap tahun. Menurut Taufiq, budaya dan lingkungan bisa memengaruhi kinerja otak seseorang. Terlebih, otak memiliki sifat plastis alias mudah berubah.
”Maaf-memaafkan tidak tulus yang dilakukan terus-menerus bisa membawa seseorang pada satu titik saat dia akhirnya bisa melakukannya dengan tulus,” katanya. Walau semula maaf-memaafkan itu dilakukan penuh kepura-puraan, sekadar formalitas, suatu saat bisa menjadi otentik.
Jebakan formalitas maaf-memaafkan itu terkadang sulit dihindari karena karut-marutnya persoalan, sikap egois, hingga keharusan sosial yang membuat seseorang dituntut hadir di forum silaturahmi, halalbihalal, atau reuni selama Lebaran.
Baca juga: Halalbihalal Merajut ”Ukhuwah” Kebangsaan
Meski demikian, hal itu dinilai Faturochman tidak menjadi masalah karena kemauan seseorang hadir dalam forum silaturahmi itu sudah menjadi poin penting karena menunjukkan kesediaannya untuk mengakui keberadaan orang lain dan menjadi bagian dari komunitas tertentu. Kehadiran seseorang itu sudah memperlihatkan adanya niat baik membina hubungan sosial.
”Keinginan untuk terus menjaga silaturahmi itu, apa pun alasannya, menjadi dasar untuk hidup rukun,” ujarnya.
Silaturahmi dan maaf-memaafkan selama Lebaran membuat seseorang yang sebelumnya diam-diaman, tidak mau berhubungan, menjadi mau menyapa kembali. Sapaan dan ucapan maaf singkat di saat Lebaran mampu sedikit meredam ketegangan antarindividu dan melebur batas-batas sosial karena posisi orang yang meminta dan memberi maaf sama.
Karena itu, apa pun motifnya, tulus atau sekadar formalitas, bersilaturahmi dan maaf-memaafkan dalam Lebaran baik bagi kesehatan jiwa dan kesejahteraan masyarakat. Silaturahmi dan maaf-memaafkan membuat masyarakat rukun, terjaga integrasi dan kohesivitasnya, dan bernilai luar biasa bagi ketahanan bangsa.