Indonesia Alami Deforestasi 257.384 Hektar pada 2023
Sebanyak 31 taman nasional, 45 cagar alam, dan 26 suaka margasatwa mengalami deforestasi sepanjang 2023.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hasil analisis Auriga Nusantara menunjukkan deforestasi Indonesia tahun 2023 mencapai 257.384 hektar. Ironisnya, deforestasi itu dominan terjadi dalam kawasan hutan negara.
Deforestasi juga terpantau semakin luas dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2022, deforestasi terpantau 230.760 hektar.
”Hal yang mengkhawatirkan adalah kita kehilangan hutan konservasi yang sebenarnya ada pengelolanya. Ini menjadi cambuk bagi pengelola kawasan konservasi Indonesia. Sebagian besar deforestasi di kawasan konservasi terjadi di wilayah Papua,” ujar Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara, dalam diskusi secara daring, Jumat (22/3/2024).
Data deforestasi Indonesia tahun 2023 ini diperoleh dari tiga tahapan, yakni validasi data yang bersifat publik, klasifikasi untuk membedakan hutan dan nonhutan, dan terakhir tahap analisis. Dari hasil analisis tersebut, Auriga mencatat deforestasi Indonesia tahun 2023 naik 26.624 hektar dari tahun sebelumnya.
Sementara dari sebaran wilayahnya, deforestasi terbesar tercatat di wilayah Kalimantan Barat sebesar 35.162 hektar, disusul Kalimantan Tengah (30.433 hektar), Kalimantan Timur (28.633 hektar), Sulawesi Tengah (16.679 hektar), Kalimantan Selatan (16.067 hektar), Kalimantan Utara (14.316 hektar), Riau (13.268 hektar), dan Papua Selatan (12.640 hektar).
Timer menyampaikan, 73,2 persen deforestasi itu terjadi di kawasan hutan. Adapun deforestasi terbesar berada di kawasan hutan produksi dengan total 149.139 hektar, disusul area penggunaan lain (APL) sebesar 68.839 hektar, kawasan hutan lindung 26.624 hektar, dan kawasan hutan konservasi 12.631 hektar.
Menurut Timer, terdapat 31 taman nasional, 45 cagar alam, dan 26 suaka margasatwa yang mengalami deforestasi sepanjang 2023. Hal ini perlu menjadi catatan karena dari aspek pengelolaan, kawasan tersebut, khususnya cagar alam dan suaka margasatwa, seharusnya sangat terjaga serta tidak sembarang orang memiliki akses masuk.
Direktur Informasi dan Data Auriga Nusantara Dedy P Sukmara mengatakan, analisis data deforestasi Indonesia ini juga merujuk pada metodologi dan data yang bersifat terbuka untuk publik dari University of Maryland, AS. Oleh karena itu, data deforestasi dari Auriga ini juga akan terbuka sehingga bisa menjadi pengetahuan untuk publik.
Analisis Auriga memang memiliki perbedaan dengan data deforestasi milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Deforestasi yang dirilis Auriga pada 2022 mencapai 230.760 hektar, sedangkan data KLHK tahun 2022 seluas 104.000 hektar. Data deforestasi tahun 2023 juga diyakini mengalami perbedaan.
Kami melihat bahwa seharusnya KLHK tidak perlu mengoreksi data deforestasi siapa pun karena bukan otoritas mereka. Hal yang perlu dilakukan KLHK adalah menghentikan deforestasi karena itu merupakan otoritas mereka.
Timer mengakui bahwa selama ini dalam lingkup akademis memang banyak perbedaan data terkait deforestasi antara KLHK dan pihak lain. Akan tetapi, ia menekankan bahwa perbedaan data ini seharusnya dianggap sebagai hal yang biasa. Salah satu pihak juga tidak perlu saling koreksi data karena memiliki metode analisis masing-masing.
”Kami melihat bahwa seharusnya KLHK tidak perlu mengoreksi data deforestasi siapa pun karena bukan otoritas mereka. Hal yang perlu dilakukan KLHK adalah menghentikan deforestasi karena itu merupakan otoritas mereka,” ungkapnya.
Koreksi data
Sebelumnya, pada akhir Januari lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebut bahwa sejak tahun lalu, KLHK dan World Resources Institute (WRI) telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) kemitraan teknis. Kemitraan ini bertujuan untuk mengoreksi data deforestasi dari Global Forest Watch (GFW) tahun 2022.
KLHK dan WRI kemudian mengoreksi data deforestasi Indonesia versi GFW sebesar hampir 54 persen dari sebelumnya seluas 230.000 hektar kemudian berubah menjadi 107.000 hektar. Langkah koreksi data deforestasi versi GFW tersebut dilakukan setelah peninjauan bersama ke lapangan pada Juni 2023.
Menurut Siti, peninjauan lapangan tersebut juga diikuti oleh perwakilan dari Pemerintah Norwegia guna mengetahui terdapat kawasan nonhutan alam, seperti kebun sawit, hutan tanaman, dan kebun masyarakat, yang dimasukkan sebagai hutan primer.
”Memasukkan kawasan nonhutan alam dalam perhitungan deforestasi versi Global Forest Watch jelas salah. Perlu saya tegaskan bahwa data Global Forest Watch tidak melakukan cek lapangan sehingga kami bersama WRI berkolaborasi untuk memperkuat data kehutanan yang berbasis fakta lapangan,” ucapnya.