Kolaborasi Bisa Tuntaskan Perdebatan Data Deforestasi
Kolaborasi riset antarlembaga ini dapat menjadi salah satu solusi mengakhiri perdebatan data deforestasi. Namun, syarat utama kolaborasi ini, yaitu setiap lembaga terlebih dahulu harus memenuhi aspek keterbukaan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Metode analisis yang berbeda-beda membuat data deforestasi Indonesia dari sejumlah lembaga menghasilkan angka yang berbeda-beda. Kolaborasi atau pembuatan konsensus antarlembaga dalam menghitung angka deforestasi menjadi salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk menghindari klaim atau perdebatan data.
Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Kiki Taufik mengemukakan, data yang diambil dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan deforestasi di Indonesia sepanjang 2012-2020 seluas 4,96 juta hektar. Angka ini juga menunjukkan masih terdapat deforestasi yang cukup besar meski pada 2011 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang moratorium hutan dan lahan gambut.
”Dari data KLHK, deforestasi bruto Indonesia dari tahun 1990-2020 kurang lebih 41,43 juta hektar dan 74,3 persen di antaranya berada di dalam kawasan hutan. Pemerintah kemudian membuat data deforestasi hutan alam pada 2004 dan hal ini cukup membingungkan,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Membuka Data dan Informasi Deforestasi secara Terang Benderang”, Jumat (10/12/2021).
Syarat utama kolaborasi ini yaitu setiap lembaga terlebih dahulu harus memenuhi aspek keterbukaan.
Greenpeace mendedah dan menyoroti sejumlah keterkaitan antara data deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada 2015-2019. Banyak narasi yang menyebut angka deforestasi pada 2015 cukup besar karena terjadi kebakaran hutan dan lahan.
Namun, setelah diidentifikasi, angka deforestasi pada 2015 yang tidak disebabkan oleh kebakaran mencapai lebih dari satu juta hektar. Dengan kata lain, kebakaran besar yang terjadi pada 2015 tidak terlalu berpengaruh terhadap angka deforestasi.
Menurut Kiki, saat ini sudah banyak sejumlah lembaga di dunia yang melakukan monitoring dan menganalisis deforestasi di Indonesia. Lembaga tersebut di antaranya University of Maryland, Atlas Nusantara (Tree Map), European Commission Joint Research Centre (EC JRC), dan Map Biomass. Sementara di Indonesia, pemantauan deforestasi secara resmi dilakukan oleh KLHK.
Dari rangkuman yang dilakukan Greenpeace, total deforestasi Indonesia sepanjang 2001-2020 versi KLHK seluas 14 juta hektar, University of Maryland 9 juta hektar, EC JRC 22 juta hektar, Tree Map 10 juta hektar, dan terakhir Map Biomass mencatat 13 juta hektar.
Kelima lembaga yang memantau angka deforestasi di Indonesia tersebut menggunakan citra satelit Landsat sebagai basis data yang nantinya dianalisis oleh perangkat sistem informasi geografis. Data dari citra Landsat sudah bisa menghasilkan peta 1:50.000 meski periode perekaman cukup lama, yakni 16 hari dan resolusinya tidak setajam citra satelit lain.
Dalam proses analisis lanjutan, kelima lembaga menggunakan metodologi yang tidak sama. Sebagian menggunakan metode manual dan sebagian lainnya dengan cara komputasi penuh. Perbedaan metodologi dalam menganalisis inilah yang membuat setiap lembaga menghasilkan angka deforestasi Indonesia yang berbeda-beda.
Kiki menilai bahwa kolaborasi riset antarlembaga ini dapat menjadi salah satu solusi mengakhiri perdebatan data deforestasi. Kolaborasi dapat menemukan atau menyepakati metodologi yang sesuai, mengatasi permasalahan pengadaan citra resolusi tinggi, hingga meningkatkan transfer teknologi. Namun, syarat utama kolaborasi ini, yaitu setiap lembaga terlebih dahulu harus memenuhi aspek keterbukaan.
”Di Indonesia, data ini menjadi sebuah dilema karena keterbukaan informasi dan data kehutanan cukup menjadi tantangan. Greenpeace pernah mengajukan permohonan ke KLHK terkait informasi tujuh jenis data yang seharusnya terbuka untuk publik. Data tersebut didapat selama satu tahun lewat Komisi Informasi Publik, tetapi akhirnya ditarik lagi oleh KLHK yang mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara,” tuturnya.
Selain data deforestasi, sampai saat ini perdebatan juga masih kerap terjadi pada aspek juga terminologi dan definisi hutan. Sejumlah lembaga di dunia maupun di Indonesia sama-sama memiliki istilah tersendiri dalam mengartikan hutan dan deforestasi yang dituangkan dalam aturan resmi. Perbedaan istilah inilah yang dipandang menjadi salah satu akar dari sejumlah perdebatan lainnya termasuk soal data deforestasi.
Mendukung penurunan emisi
Peneliti Tree Map David Gaveau menyatakan, terdapat banyak kumpulan data yang tidak sama dengan hasil angka deforestasi yang juga berbeda-beda. Dalam menganalisis deforestasi Indonesia, Tree Map menggunakan basis data dari penelitian terdahulu yang digabungkan dengan peta kawasan hutan 2020 yang dikembangkan pihak KLHK.
”Perbedaan angka deforestasi ini menunjukkan bahwa sangat penting untuk menilai keakuratan sebuah data. Sebab, data yang akurat tentang deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan sangat penting untuk menilai komitmen penurunan emisi nasional dan internasional,” ujarnya.
David menegaskan, KLHK sebagai lembaga resmi yang bertanggung jawab dalam menganalisis data deforestasi Indonesia harus melihat pro dan kontra untuk setiap metode teknik pemetaan yang terus berkembang. Dengan menjalin diskusi dengan berbagai pihak, KLHK juga dapat meningkatkan teknik pemetaannya. Di sisi lain, keakuratan data akan selalu diragukan jika tidak diiringi dengan transparani dan pengukuran.
Webinar tersebut telah mengundang pihak KLHK untuk turut berdiskusi. Namun, sampai akhir acara, tidak ada satu pun perwakilan dari KLHK yang hadir. Ketika diminta keterangan, pihak KLHK juga tidak memberikan jawaban.
Beberapa waktu lalu, KLHK mengklaim data deforestasi dan reforestasi dari pemerintah memiliki dasar ilmiah yang kuat dengan tingkat akurasi mencapai 90-95 persen. Sistem pemantauan hutan juga menggunakan citra satelit yang terjamin kredibilitasnya.