Selain Emisi Karbon, Deforestasi Juga Melepaskan 200 Ton Merkuri
Sekitar 200 ton merkuri terlepas akibat deforestasi atau sekitar 10 persen dari total emisi yang dihasilkan manusia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Deforestasi global diketahui telah menyebabkan pelepasan emisi karbon ke atmosfer yang berdampak pada perubahan iklim. Namun, selain karbon, deforestasi menyumbang sekitar 10 persen emisi merkuri global. Upaya reforestasi diyakini bisa meningkatkan serapan merkuri global sekitar 5 persen.
Hasil studi terbaru dari Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, menunjukkan sekitar 10 persen emisi merkuri yang dihasilkan manusia ke atmosfer setiap tahun disebabkan deforestasi.
Laporan studi ini telah terbit di jurnal Environmental Science and Technology yang dipublikasikan American Chemical Society, 8 Februari 2024.
Selama beberapa dekade terakhir, para ilmuwan umumnya fokus mempelajari deforestasi sebagai sumber emisi karbon dioksida global. Sementara merkuriyang merupakan salah satu hasil pelepasan deforestasi belum mendapat perhatian yang signifikan.
”Kami selama ini mengabaikan sumber merkuri yang signifikan, terutama di wilayahtropis,” ujar Ari Feinberg, penulis utama studi tersebut, dikutip dari situs resmi Massachusetts Institute of Technology (MIT), Rabu (15/2/2024).
Tumbuhan memiliki kemampuan emisi dari atmosfer, baik karbon dioksida maupun merkuri. Namun, berbeda dengan karbon dioksida, merkuri tidak memiliki peran atau fungsi biologis yang penting bagi tumbuhan.
Sebagian besarkandungan merkuri tetap berada di dalam daun hingga akhirnya jatuh dan diserap oleh tanah di kawasan hutan.
Pencemaran merkuri menjadi perhatian serius bagi manusia jika berakhir di perairan karena dapat dimetilasi oleh mikroorganisme. Metilmerkuri merupakan neurotoksin yang kuat dan dapat diserap ikan serta terakumulasi secara hayati melalui rantai makanan.
Ikan yang terpapar metilmerkuri akan sangat berisiko dan berbahaya jika dikonsumsi manusia.
”Di dalam tanah, merkuri terikat jauh lebih erat dibandingkan jika disimpan di lautan. Hutan melakukan semacam jasa ekosistem, yaitu menyerap merkuri dalam jangka waktu lebih lama,” kata Feinberg yang juga peneliti di Institut Kimia Fisika Blas Cabrera, Spanyol.
Dalam studi ini, peneliti menerapkan permodelan transportasi kimia untuk melacak merkuri dari sumber emisinya hingga terserap ke dalam ekosistem hutan.
Mereka kemudian membagi bumi menjadi delapan wilayah dan melakukan simulasi untuk menghitung faktor emisi deforestasi di tiap-tiap wilayah. Penghitungan ini juga mempertimbangkan jenis dan kepadatan vegetasi, kandungan merkuri dalam tanah, serta riwayat penggunaan lahan.
Meski demikian, keterbatasan data membuat pengukuran tidak bisa dilakukan di Afrika tropis atau Asia Tenggara yang merupakan wilayah dengan angka deforestasi terbesar.
Hutan melakukan semacam jasa ekosistem, yaitu menyerap merkuri dalam jangka waktu lebih lama.
Guna mengatasi kesenjangan data ini, para peneliti menggunakan permodelansecara luring yang lebih sederhana untuk menyimulasikan ratusan skenario.
Mereka juga mengembangkan formulasi baru untuk melihat emisi merkuri dari tanah. Formulasi ini menangkap fakta bahwa deforestasi telah mengurangi luas daun sehingga meningkatkan jumlah sinar matahari yang mengenai tanah dan mempercepat keluarnya gas merkuri dari tanah tersebut.
Secara keseluruhan, peneliti menemukan sekitar 200 ton merkuri dilepaskan ke atmosfer akibat deforestasi atau sekitar 10 persen dari total emisi yang dihasilkan manusia.
Emisi deforestasi di negara tropis dan subtropis seperti Brasilmempunyai persentase lebih tinggi, yakni mencapai 40 persen dari total emisi yang dihasilkan manusia.
Dampak reforestasi
Terlepas dari hasil temuan itu, upaya mencegah pelepasan merkuri dari deforestasi tetap bisa dilakukan. Permodelan yang dibuat para peneliti menunjukkan hutan hujan Amazon memainkan peran amat penting sebagai penyerap merkuri, yang menyumbang sekitar 30 persen dari penurunan daratan global.
Artinya, membatasi deforestasi Amazon dapat berdampak besar pada pengurangan polusi merkuri.Hal sama juga bisa dilakukan dengan mengurangi deforestasi di wilayah lain.
Tim peneliti memperkirakan, upaya reforestasi global dapat meningkatkan serapan merkuri tahunan sekitar 5 persen. Meskipun hal ini penting, para peneliti menekankan bahwa reforestasi saja tidak bisa dilakukan untuk mengendalikan polusi di seluruh dunia.
Profesor di Departemen Ilmu Bumi, Atmosfer, dan Planet MIT, Noelle Selin,yang juga salah satu penulis studi ini mengutarakan, banyak negara telah melakukanupaya untuk mengurangi emisi merkuri, terutama negara-negara industri di wilayah utara.
Akan tetapi, 10 persen emisi merkuri global merupakan angka yang besar sehingga perlu juga melakukan pengurangan emisi yang lebih ambisius.
Ke depan, peneliti akan mencoba untuk memasukkan permodelan yang lebih dinamis ke dalam analisis mereka. Hal ini memungkinkan untuk melacak serapan merkuri secara interaktif dan memodelkan skala waktu pertumbuhan vegetasi dengan lebih baik.