Matematika Pangan Lokal Melawan Hegemoni Beras
Melonjaknya harga beras seharusnya menjadi momentum untuk kembali pada beragam pangan lokal.
Melonjaknya harga beras menjadi momentum untuk kembali pada beragam pangan lokal. Selain lebih murah, pangan lokal juga lebih segar dan memiliki kandungan gizi yang baik.
Ditinggalkannya beragam pangan lokal dan bergesernya pola konsumsi ke beras telah menjadi beban ekonomi masyarakat, terutama di daerah yang defisit beras seperti Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan harga beras yang melambung tinggi, sebagian besar pengeluaran masyarakat kini tersedot untuk memenuhi kebutuhan beras.
Semakin miskin masyarakat, presentasi penghasilan yang tersedot untuk membeli beras kian besar. Masyarakat harus mengorbankan beragam kebutuhan konsumsi yang lain, termasuk di antaranya dengan mengurangi konsumsi protein. Hal ini pada gilirannya berisiko meningkatkan masalah gizi pada anak.
”Harga beras saat ini paling mahal dari yang saya alami selama hidup. Warga saat ini terbebani luar biasa dengan perkembangan ini,” kata Kepala Desa Mudakeputu, Kecamatan Ile Mandiri, Kabupaten Flores Timur, NTT, Yohanes Purin Weking (57), Minggu (3/3/2024).
Harga beras di Pasar Mudakeputu saat ini Rp 17.000 per kilogram (kg), jauh lebih tinggi dari ketetapan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.400 per kilogram (kg). Kenaikan harga beras ini diikuti oleh kenaikan harga kebutuhan pokok lain, termasuk telur. ”Warga miskin tambah miskin, karena uang saat ini seperti tidak bernilai,” ujarnya.
Baca juga: Inferioritas Pangan Lokal di NTT
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahunan di NTT mencapai 3,01 persen per Februari 2024, jauh lebih tinggi dari rata-rata inflasi nasional sebesar 2,75 persen. Tingginya inflasi di NTT, terutama disumbang oleh kenaikan harga beras.
Sekalipun lonjakan harga beras dialami oleh seluruh masyarakat di Indonesia, daerah-daerah seperti NTT yang mengalami defisit produksi pangan pokok ini lebih terpukul. Harga beras di NTT juga rata-rata lebih mahal dibandingkan rata-rata nasional.
Kondisi alam di NTT yang tidak mendukung untuk memproduksi padi secara optimal membuat provinsi ini dari tahun ke tahun defisit beras. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka produksi beras di NTT pada 2022 hanya 442.842 ton, sementara itu tingkat konsumsi beras mendekati 1 juta ton per tahun.
Fungsional Analis Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Flores Timur Junus Mukin mengatakan, perubahan pola konsumsi masyarakat yang semakin bergantung pada beras dengan meninggalkan beragam pangan lokalnya membuat Flores Timur mengalami defisit beras yang cenderung semakin besar.
Harga beras saat ini paling mahal dari yang saya alami selama hidup. Warga saat ini terbebani luar biasa dengan perkembangan ini.
”Saat ini kebutuhan beras di Flores Timur mencapai 30.000-33.000 ton per tahun. Sementara produksi beras hanya sekitar 15.000 ton per tahun. Sebagian besar konsumsi beras di sini harus didatangkan dari luar. Kalau harga beras terus naik, daerah-daerah seperti Flores Timur paling susah,” kata Junus.
Pengeluaran terbesar dari beras
Dalam diskusi terfokus yang diadakan Finbargo-Bekal Pemimpin 0.3, Amartha, dan Berguna, lembaga lingkungan di Larantuka, bersama 50 perempuan Desa Mudakeputu terungkap, satu keluarga rata-rata mengeluarkan dana Rp 700.000 hingga Rp 1.000.000 per minggu untuk membeli barang konsumsi. Beras jadi sumber pengeluaran terbesar, mencapai Rp 200.000-Rp 250.000 per keluarga.
Theodora Dora Weking (40), Kepala Dusun 1, Desa Mudakeputu, menuturkan, kenaikan harga kebutuhan pangan mengganggu pemenuhan gizi keluarga sehingga meningkatkan risiko gizi buruk, bahkan stunting atau tengkes. ”Saat ini di desa kami ada 16 anak stunting dan satu anak kurang gizi. Dengan kenaikan harga pangan ini, upaya mengatasi stunting bakal lebih sulit,” ujarnya.
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, masyarakat petani umumnya mengandalkan hasil kebun mete, selain sayur-mayur, jagung, pisang, dan singkong yang ditanam di sisa lahan. ”Pada tahun 1980-an, pemerintah mengenalkan mete kepada masyarakat. Sejak itu, kami jual mete untuk beli beras,” kata Dora.
Menurut Yohanes, sebelum menanam mete, warga di desanya bisa memenuhi pangan dari hasil ladang. Secara tradisional, masyarakat Lamaholot, etnis di Flores Timur, mempraktikkan penanaman beragam tanaman di lahan kering.
Di ladang itu, mereka biasa menanam padi, jagung, sorgum, jawawut, umbi-umbian, labu, hingga kacang-kacangan dengan sistem penanaman campuran. ”Kalau dulu, makanan kami lebih beragam, tergantung hasil musim dan hasil panen,” ungkapnya.
Keberagaman hasil panen inilah yang melahirkan tradisi kuliner beragam. Selain mengenal nasi beras, masyarakat Lamaholot biasa mengonsumsi putu, diolah dari singkong yang dikeringkan, kemudian ditumbuk hingga halus dan kemudian dikukus dalam batok kelapa. Mereka juga biasa mengonsumsi jagung giling, jagung titi, serta jagung bose sebagai makanan pokok.
”Namun, sekarang rata-rata setiap keluarga hanya makan nasi dan nasi,” kata Dora. Menurut Yohanes, setiap keluarga rata-rata memiliki lahan mete seluas 1-2 hektar (ha). Sementara lahan untuk tanaman pangan hanya sekitar 0,25 ha per keluarga.
Baca juga: Alarm Bencana Pangan di NTT
Namun, menurut Yohanes, hasil tanam mete saat ini sulit diandalkan. Setelah La Nina beruntun pada 2020 hingga 2023, yang menyebabkan tingginya curah hujan dan merontokkan bunga mete, belakangan terjadi El Nino, yang memicu rendahnya hujan. Apalagi, harga mete tak menentu. ”Harga mete terkadang Rp 15.000 per kg, tetapi bisa juga jatuh hingga Rp 5.000 per kg,” tuturnya.
Anastasia Marselina Dai (35), ibu rumah tangga di Desa Mudakeputu, menjelaskan, untuk memenuhi kebutuhan beras, keluarganya menjual hasil pertaniannya seperti sayur-mayur, singkong, dan jagung, tetapi harganya tidak sebanding. Satu karung singkong, sekitar 50 kg hanya laku dijual Rp 20.000.
”Kami sekarang harus menghemat untuk membeli lauk-pauknya. Ikannya dikurangi, yang penting anak-anak kenyang dulu,” katanya.
Untuk jagung, saat ini mengalami kenaikan harga. Di Mudakeputu, jagung kering bisa dihargai Rp 10.000 per kg dan jika sudah digiling bisa mencapai Rp 15.000 per kg. Meskipun demikian, panen jagung tahun lalu juga anjlok karena serangan hama ulat. Adapun tahun ini panen kemungkinan anjlok karena kurangnya hujan.
Kembali ke pangan lokal
Yohanes menyatakan, lonjakan harga beras saat ini membuatnya tersadar tentang pentingnya pangan lokal. ”Kalau warga masih mau makan pangan-pangan lokal, pasti tidak akan kesusahan dengan kenaikan harga beras. Namun dengan harga beras mahal seperti sekarang, warga masih juga jual jagung dan singkong untuk beli beras dengan harga murah,” ucapnya.
Secara tradisional, masyarakat Mudakeputu telah memiliki pengetahuan untuk mengolah jagung dan singkong sebagai pangan pokok. ”Bahkan, kalau mau ke hutan, juga banyak umbi-umbian yang dulu waktu saya masih kecil menjadi makanan sehari-hari,” tuturnya.
Sekalipun kondisi lingkungan di Flores Timur umumnya tidak bisa mendukung produksi padi sawah skala besar, wilayah ini mempunyai keberagaman sumber pangan. Tak hanya memiliki keberagaman sumber pangan, leluhur mereka juga mewariskan pengetahuan untuk mengolah aneka sumber pangan ini menjadi aneka menu makanan, yang memiliki kandungan gizi yang baik.
Jagung kuning, misalnya, menurut ahli gizi IPB University, Drajat Martianto, memiliki kandungan energi 355 kalori per 100 gram (g), hampir sama dengan nasi sebesar 360 kalori per 100 g. Adapun tepung gaplek memiliki kandungan energi 363 kalori per 100 g. Untuk karbohidrat, beras sebesar 78,9 g per 100 g, jagung kuning 33,1 g per 100 g, dan tepung gaplek 88,2 g per 100 g.
Bahan pangan ini juga memiliki unsur mikro dengan kandungan bervariasi. Untuk kandungan protein, beras lebih unggul, tetapi vitamin B lebih banyak dalam jagung kuning. Sementara tepung gaplek memiliki kandungan zat besi dan kalsium lebih tinggi.
Dari segi harga, beragam pangan lokal ini juga lebih murah. Misalnya, harga 1 kilogram beras di Mudakeputu bisa untuk membeli hampir empat kilogram singkong. Namun, makan juga soal kebiasaan, selain juga persepsi warga yang sudah terhegemoni oleh pangan pokok harus beras.
Baca juga: Pangan Instan Menggerus Pangan Lokal
Menurut Yohanes, selama puluhan tahun masyarakat di desa diajarkan bahwa makan harus beras. Mereka yang masih makan putu dan nasi jagung dianggap orang tidak mampu. ”Ini yang membuat warga menjual jagung, singkong, dan mete untuk beli beras,” katanya.
Para perempuan Mudakeputu yang lahir setelah tahun 1980-an dan sekarang telah jadi ibu tak pernah lagi memberi makan anak-anak mereka dengan pangan lokal. ”Sekarang untuk mengenalkan makan-makan lokal kepada anak-anak tidak mudah. Kalaupun di rumah masak nasi jagung dan putu, yang makan orang tua. Anak-anak memilih beras dan mi instan,” ucap Anastasia.