Alarm Bencana Pangan di NTT
Perubahan iklim membuat ketergantungan NTT terhadap pasokan pangan dari luar bakal semakin tinggi di masa mendatang.
Tingkat konsumsi beras masyarakat Nusa Tenggara Timur tahun 2022 mencapai 117,189 kilogram per kapita per tahun, melampaui rata-rata nasional. Tingginya kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi produksi beras di NTT. Upaya swasembada melalui program lumbung pangan pun gagal mengurangi ketergantungan.
Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan di NTT menyebutkan, produksi beras di daerah itu pada tahun 2022 sebanyak 430.948,5 ton, sedangkan kebutuhan beras sebanyak 642.367,53 ton. Dari tahun ke tahun, selalu dibutuhkan pasokan dari luar untuk menambal kekurangan tersebut.
Ketika daerah pemasok mengalami gagal panen atau keterlambatan pengiriman akibat cuaca buruk, masyarakat NTT kelabakan. Seperti awal tahun 2023, NTT mengalami krisis beras akibat kurangnya pasokan dari luar. Krisis beras menjadi salah satu peristiwa menonjol di NTT sepanjang tahun ini.
Akibat kelangkaan itu, harga beras kualitas medium yang biasa Rp 13.000 per kilogram, melonjak hingga Rp 18.000 per kilogram. Warga panik. Banyak rumah tangga, khusus dari kalangan menengah ke bawah, mengurangi jatah makan beras dari semula tiga kali sehari menjadi dua hingga satu kali.
Kenaikan harga terjadi ketika daya beli masyarakat NTT belum pulih. Pandemi Covid-19, Badai Seroja, dan serangan virus demam babi afrika memukul ekonomi masyarakat NTT hingga sempoyongan. Krisis beras yang datang dengan mudah menumbangkan ketahanan mereka.
Pemerintah tidak tinggal diam. Lewat Perum Bulog, operasi pasar digelar di sejumlah tempat. Dengan harga jual Rp 9.000 per kilogram atau separuh dari harga tertinggi di masyarakat. Langkah ini sangat membantu kendati jatah yang diberikan sedikit, yakni 5 kilogram per keluarga.
Di Kota Kupang, antrean memperebutkan jatah beras murah berlangsung di sejumlah titik. Di bawah terik matahari, mereka menunggu selama berjam-jam untuk mendapatkan kupon pembelian. Bahkan, ada yang sampai pingsan sehingga harus dibawa ke rumah sakit.
Krisis beras perlahan mulai teratasi setelah datangnya kiriman beras bantuan dari pemerintah pusat dan distribusi beras yang dipasok pedagang. ”Sebagian besar beras yang berada di pasar NTT berasal dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan,” ucap Melky Bano (56), pedagang beras di Kota Kupang, Senin (11/12/2023).
Kegagalan lumbung pangan
Tidak semua wilayah di NTT adalah penghasilan beras. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, keseluruhan luas areal pertanian sawah irigasi sebanyak 185.737,54 hektar. Produksi tertinggi berasal dari Kabupaten Manggarai Barat, yakni 76.717,33 ton beras. Adapun produksi terendah ada di Kabupaten Lembata, yakni 118,99 ton.
Sawah dengan pengairan bersumber dari bendungan ini pun tidak berproduksi secara optimalkan setiap tahun. Minimnya hari hujan atau menyusutnya debit mata air penyuplai air ke bendungan menjadi penyebabnya. Belum lagi faktor hama yang sering kali membuat petani menderita gagal panen setiap tahun.
Persoalan air di NTT coba diatasi dengan dibangunnya sejumlah bendungan dalam tujuh tahun terakhir, di antaranya Bendungan Raknamo di Kabupaten Kupang, Bendungan Rotiklot di Kabupaten Belu, dan Bendungan Napun Gete di Kabupaten Sikka. Total biaya yang dikeluarkan melampaui Rp 1 triliun.
Keberadaan bendungan itu belum menjawab persoalan air. Saat didatangi Kompas pada Agustus 2023, petani di Desa Fatuketih, Kecamatan Kakuluk Mesak, membeli air tangki untuk menyiram tanaman. Pasalnya, pasokan air dari Bendungan Rotiklot terhenti akibat kekeringan.
Fatuketih merupakan salah satu areal lumbung pangan nasional yang diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo. ”Masalah air dari bendungan ini sudah ada sejak awal. Presiden bilang begitu setelah dia putar keran air di sini," tutur Daniel Halek (53), petani setempat.
Keberadaan bendungan yang dibangun dengan nilai ratusan miliar rupiah kemudian diikuti dengan pembukaan lahan pertanian tidak berhasil mencapai target produksi. Lumbung pangan yang diharapkan membawa daerah itu swasembada pangan kenyataannya gagal menghasilkan produksi maksimal.
Masalah air dari bendungan ini sudah ada sejak awal. Presiden bilang begitu setelah dia putar keran air di sini
Direktur Eksekutif Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) Torry Kuswardono berpandangan, kondisi alam dan iklim di NTT tidak cocok untuk pengembangan lumbung pangan berbasis pengairan irigasi. Tak hanya di Fatuketih, menurut Torry, lumbung pangan di Kabupaten Sumba Tengah juga gagal.
Baca juga: Inferioritas Pangan Lokal di NTT
Pertanian lahan kering
Pikul, kata Torry, kerap melakukan kajian mengenai kerentanan pangan di NTT. Dari sejumlah temuan di lapangan, mereka berkesimpulan bahwa pertanian lahan kering dengan keragaman pangan lokal harus dikembalikan lagi. Dengan begitu, cadangan makanan masyarakat NTT tetap terus terjaga.
Jika pemerintah tetap memaksakan dengan terus membuka lumbung pangan nasional, pemerintah sendiri akan memperpanjang kegagalan mengejar swasembada pangan. ”Selama swasembada pangan itu orientasi pada produktivitas beras, sulit. Apalagi dampak perubahan iklim saat ini,” ucap Torry.
Praktik pertanian lahan kering telah terbukti membuat masyarakat mandiri secara pangan. Agustus 2023, Kompas menemukan keberhasilan praktik itu ketika datang ke komunitas masyarakat adat Suku Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Mereka nyaris tidak kekurangan makanan. Sepanjang tahun, mereka mengonsumsi padi dari ladang tadah hujan, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan berbagai jenis pangan lokal. Berbagai tanaman pangan itu ditanam secara tumpang sari di dalam lahan tadah hujan.
Raja Boti, Usif Nama Benu, mengatakan, makanan mereka tersedia hingga musim panen berikutnya. Ketika banyak daerah di NTT mengalami rawan pangan, masyarakat Suku Boti masih berkecukupan. Sepanjang sejarah komunitas itu ada, belum pernah terjadi kelaparan.
Usif juga secara tegas menolak bantuan beras pemerintah seperti dalam program beras miskin atau raskin. ”Karena kami merasa makanan kami cukup. Biarlah bantuan itu diberikan kepada mereka yang membutuhkan,” ujarnya dalam bahasa daerah Dawan.
Di tengah dampak perubahan iklim yang semakin parah, ketergantungan NTT terhadap pasokan pangan dari luar bakal semakin tinggi di masa mendatang. Memperkuat sistem pertanian lahan kering dengan pangan beragam menjadi jalan keluar agar bencana pangan tidak terjadi di provinsi yang pada 20 Desember ini berusia ke 65 tahun.