Dua Tahun Disahkan, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Masih Belum Punya Aturan Pelaksanaan
Indonesia sudah punya UU TPKS, tapi kekerasan seksual terus terjadi. Implementasi regulasi itu dinantikan para korban.
Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual hingga kini menghadapi tantangan menyusul maraknya kasus kekerasan seksual di masyarakat. Regulasi tersebut dinilai tidak bertaring karena hingga hampir dua tahun diundangkan, penegakan hukum masih mengalami hambatan.
Dalam praktik di lapangan, pemahaman aparat penegak hukum (APH) mengenai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) masih amat rendah. Meski pemberlakuan UU itu tidak perlu menunggu terbitnya aturan pelaksana, ketika ada kasus TPKS, belum semua pihak kepolisian menerapkan UU TPKS dengan dalih belum ada peraturan pelaksananya.
Sementara peraturan pelaksanaan UU TPKS hingga kini belum juga diselesaikan pemerintah. Padahal, Pasal 91 Ayat (1) UU TPKS mengatur peraturan pelaksanaan dari UU tersebut harus telah ditetapkan paling lambat dua tahun terhitung sejak UU TPKS diundangkan pada 9 Mei 2022.
Hal itu berarti aturan turunan UU TPKS paling lambat harus diterbitkan pada 9 Mei 2024. Jika melihat waktunya, berarti kurang dari dua bulan lagi. Tanpa adanya aturan pelaksana, penerapan UU tersebut akan berbeda-beda.
Baca juga: Implementasi UU TPKS Terkendala
Komitmen pemerintah dalam mencegah kekerasan seksual dipertanyakan sejumlah kalangan. Sebab, hingga pekan lalu, dari tujuh aturan turunan UU TPKS, yakni tiga peraturan pemerintah (PP) dan empat peraturan presiden (perpres) yang disiapkan pemerintah, baru satu yang diterbitkan pada awal 2024. Sementara enam lainnya masih diproses pemerintah.
Lambatnya proses aturan pelaksanaan UU TPKS berdampak besar pada implementasi UU TPKS. Kekerasan seksual terus terjadi di masyarakat. Sepanjang tahun 2023, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada 2.078 kasus kekerasan seksual, yang menyebar luas di semua ranah dan usia, termasuk di ruang siber.
Empat lembaga negara hak asasi manusia, yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND), dalam pernyataan bersama, Jumat (8/3/2024), mendesak Presiden segera mengesahkan semua aturan turunan UU TPKS.
Dalam penyataan bersama, Anis Hidayah (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi (Komnas Perempuan), Dian Sasmita (KPAI), dan Fatimah Asri Mutmainnah (KND) menyatakan, belum disahkannya peraturan pelaksanaan UU TPKS menyebabkan pencegahan, penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban TPKS belum berjalan optimal.
”Kami mendesak aparat penegak hukum untuk menyelesaikan perkara TPKS melalui proses peradilan sesuai ketentuan Pasal 23 UU TPKS dan tidak lagi menggunakan pendekatan perdamaian serta menghentikan penyidikan dengan alasan keadilan restoratif, karena telah diselesaikan secara kekeluargaan,” ujar Anis yang juga Ketua Tim TPKS Komnas HAM.
Selain lemahnya pengetahuan APH atas UU TPKS dan keterkaitan UU TPKS dengan UU lain, ada sejumlah hambatan yang dihadapi dalam penanganan kasus TPKS, misalnya terbatasnya ahli UU TPKS untuk membantu penyidik dalam membuat terang suatu tindak pidana, serta berlarut-larutnya proses kasus TPKS.
Kami mendesak aparat penegak hukum untuk menyelesaikan perkara TPKS melalui proses peradilan sesuai ketentuan Pasal 23 UU TPKS dan tidak lagi menggunakan pendekatan perdamaian serta menghentikan penyidikan dengan alasan keadilan restoratif.
”Hambatan lain adalah belum terbangunnya mekanisme kerja kolaboratif antara sistem peradilan pidana dan sistem layanan pemulihan korban, serta belum semua daerah memiliki infrastruktur dan sistem layanan korban, baik berbasis pemerintah maupun masyarakat,” kata Siti Aminah.
Tujuh aturan turunan
Ketika UU TPKS diundangkan, setidaknya ada sepuluh aturan turunan yang harus diterbitkan sebagai peraturan pelaksana dari UU tersebut, yakni lima peraturan pemerintah (PP) dan lima peraturan presiden (perpres) untuk mendukung implementasi UU TPKS.
Namun, hasil pembahasan tim pemerintah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta kementerian/lembaga terkait, pada 6 Juni 2022, disepakati aturan turunan tersebut disederhanakan menjadi tujuh yang terdiri dari tiga PP dan empat perpres.
Baca juga: UU TPKS Disahkan, Segera Sosialisasi dan Siapkan Aturan Pelaksana
Ketiga PP adalah PP tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan TPKS; PP tentang Pencegahan TPKS serta Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban TPKS; dan PP tentang Dana Bantuan Korban TPKS.
Adapun empat perpres meliputi Perpres tentang Kebijakan Nasional tentang Pemberantasan TPKS; Perpres tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum dan Tenaga Layanan Pemerintah, dan Tenaga Layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.
Selain itu, ada Perpres tentang Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) serta Perpres tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu PPA di Pusat.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Ratna Susianawati mengutarakan, saat ini dari tujuh aturan turunan, enam aturan sudah selesai dibahas, melalui proses harmonisasi, dan tinggal menunggu proses penetapan untuk diundangkan.
Salah satu aturan turunan tersebut sudah diterbitkan pada 23 Januari 2024, yakni Perpres Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan TPKS.
”Semoga sebentar lagi juga akan terbit dua perpres yang terkait dengan UPTD PPA dan Perpres PPT PPPA di Pusat. Finalisasi terus dilakukan supaya semua aturan delegasi UU TPKS komprehensif dan mudah diimplementasikan di lapangan,” ujar Ratna.
Sementara itu, satu rancangan PP, yakni PP tentang Pencegahan TPKS serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban TPKS, sudah siap diplenokan dalam waktu dekat di tingkat harmonisasi, selanjutnya akan diajukan kepada Presiden agar segera ditandatangani dan diundangkan.
Pada Kamis (7/3/2024), Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, dalam Rakor Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Bali, mendorong komitmen pemerintah daerah melaksanakan penguatan fungsi UPTD PPA dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Adapun UPTD PPA diharapkan melaksanakan tata kelola baru one stop services sesuai dengan amanat UU TPKS. ”Terobosan penting dari UU TPKS salah satunya tentang memperkuat penyelenggaraan layanan terpadu melalui mekanisme one stop services penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Bintang.
Kekerasan seksual pada anak dan disabilitas
Kehadiran aturan turunan TPKS semakin mendesak karena hingga kini proses hukum atas kasus kekerasan seksual, termasuk pada anak, terus mengalami hambatan. Tahun 2023 KPAI menerima laporan dari 391 kasus TPKS pada anak, yang penanganannya terhambat mulai di tingkat penyidikan.
Selain pengetahuan APH terkait UU TPKS yang belum merata, peliknya penanganan TPKS juga disebabkan belum tersedianya lembaga layanan pendampingan dan pemulihan di setiap kabupaten atau kota. ”Praktik pemaksaan perkawinan anak dan derasnya arus digital menambah kerentanan anak jadi korban kekerasan berbasis jender dan korban kekerasan berbasis jender daring,” kata Dian.
Risiko kerentanan berlapis juga harus dihadapi oleh kelompok penyandang disabilitas, terutama perempuan dengan disabilitas. Hingga kini, menurut Fatimah, layanan KND terus menerima aduan dari perempuan dengan disabilitas yang menjadi korban TPKS.