UU TPKS Disahkan, Segera Sosialisasi dan Siapkan Aturan Pelaksana
Indonesia akhirnya memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dukungan semua pihak dalam mengawal implementasi UU TPKS sangat dibutuhkan, agar UU ini benar-benar melindungi korban kekerasan seksual.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tidak sampai sebulan setelah Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan Presiden Joko Widodo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, resmi diundangkan pada Senin (9/5/2022) melalui Lembaran Negara Tahun 2022 Nomor 120.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, pemerintah siap mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tersebut. Semua peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres) yang akan mendukung pelaksanaan UU tersebut segera disusun, tidak perlu menunggu sampai batas waktu sampai dua tahun.
“UU ini harus betul-betul implementatif. Karena itu, supaya implementasi UU ini cepat, proses PP dan perpres tidak usah menunggu sampai batas akhir. Namun, jangan sampai meninggalkan substansi dari UU TPKS,” ujar Bintang, Rabu (11/5/2022).
UU TPKS disahkan oleh Presiden Joko Widodo, tanggal 9 mei 2022 dan diundangkan di Jakarta pada tanggal yang sama oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H Laoly, melalui Lembaran Negara Tahun 2022 Nomor 120. Sebelumnya, Selasa (12/4), rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani menyetujui Rancangan UU TPKS disahkan menjadi UU TPKS.
Untuk pelaksanaan UU TPKS, setidaknya ada 10 aturan turunan yang dibutuhkan, yakni lima PP dan lima perpres. Kelima PP tersebut adalah PP mengenai Sumber, Peruntukan, dan Pemanfaatan Dana Bantuan Korban, PP mengenai Penghapusan dan/atau Pemutusan Akses Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang Bermuatan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; PP mengenai Tata Cara Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan; PP mengenai Penyelenggaraan Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan PP mengenai Koordinasi dan Pemantauan.
Adapun Perpres mengenai Tim Terpadu; Perpres Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu di Pusat; Perpres mengenai Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) ; Perpres mengenai Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan; dan Perpres mengenai Kebijakan Nasional tentang Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Layanan terpadu
Menteri PPPA menegaskan, semua aturan turunan tersebut sangat penting. Namun untuk langkah awal, perpres mengenai Tim Terpadu dan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu mendesak diterbitkan, karena selama ini yang menjadi kendala dalam penanganan kekerasan seksual adalah layanan terpadu.
“Untuk mewujudkan layanan terpadu dan terintegrasi perlu penguatan di lapangan. Jadi jangan lagi korban yang harus kesana kemari mencari layanan. Tentu saja pelatihan bagi aparat penegak hukum penting, agar memiliki kaca mata yang sama dalam memberikan kepentingan terbaik pada korban,” papar Bintang.
Lahirnya UU TPKS diharapkan mendorong penanganan kasus kekerasan seksual lebih optimal, mulai dari pencegahan, hingga perlindungan dan dukungan bagi pemulihan korban.
Untuk memastikan undang-undang tersebut berjalan sesuai kepentingan korban, Menteri PPPA mengajak semua pihak mulai dari kementerian/lembaga, pemerintah daerah, termasuk lembaga penegak hukum, untuk mensosialisasikan UU TPKS di jajarannya. Partisipasi masyarakat sipil seperti kerja kolaboratif yang tercipta sejak pembahasan RUU TPKS hingga diketok di DPR, harus terus berlanjut.
“Mari sama-sama mengawal implementasi UU ini. Kita sudah melalu proses yang panjang untuk melahirkan UU TPKS. Kita harus belajar dari pengalaman. UU banyak tapi sering kegagalannya dalam implementasi. Maka, kita tidak mau UU TPKS seperti itu, kita melewati perjuangan panjang dalam melahirkan UU ini,” kata dia.
Kawal implementasi
Pengesahan UU TPKS juga disambut gembira Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan organisasi yang mengawal UU TPKS. Lahirnya UU TPKS diharapkan mendorong penanganan kasus kekerasan seksual lebih optimal, mulai dari pencegahan, hingga perlindungan dan dukungan bagi pemulihan korban.
“Perlu menguatkan institusi pelaksana, khususnya mempercepat pembentukan direktorat PPA di kepolisian dan unit khusus kejaksaan, diseminasi UU TPKS, pelatihan aparat penegak hukum dan pengada layanan, serta memastikan peraturan turunan segera disusun,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati berharap UU TPKS menjadi payung hukum yang dapat memastikan siapapun korban kekerasan seksual dapat mengakses keadilan, serta menjadi upaya perlindungan yang holistik sebagai bentuk hadirnya negara memberikan hak perlindungan dan rasa aman masyarakat dari ancaman kekerasan seksual.
“Apresiasi diberikan kepada semua pihak, parlemen, pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat sipil yang berjuang untuk memastikan UU TPKS sah. Tetapi energi mengawal UU TPKS belum selesai, diperlukan kerja pengawalan yang strategis, untuk mengoptimalkan implementasi dengan mengawal PP dan perpres yang akan menguatkan UU TPKS,” ujar Mike.
Andy dan Mike juga mengimbau semua pihak agar mengawal proses revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk memastikan pidana perkosaan dan pemaksaan aborsi, menjadi bagian integral dalam revisi KUHP tersebut.
Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan, Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan, Jakarta, Yulianti Muthmainnah berharap penyusunan PP dan perpres UU TPKS partisipatif, terbuka, dan melibatkan kelompok perempuan pendamping korban yang selama ini mendampingi korban.