Pemanfaatan Pengetahuan Lokal untuk Mitigasi Bencana Belum Optimal
Pemanfaatan pengetahuan lokal dan kesadaran bencana, khususnya pada kelompok rentan, belum optimal.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan kekayaan pengetahuan lokal untuk memitigasi bencana di Indonesia belum optimal. Padahal pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun tersebut menjadi bekal penting untuk hidup di negara rawan bencana.
Berbagai kearifan lokal di Tanah Air terbukti ampuh meminimalkan dampak bencana. Saat gelombang tsunami menerjang wilayah Aceh pada tahun 2004, misalnya, budaya smong menyelamatkan penduduk di Pulau Simeulue dari gelombang besar dari Samudra Hindia tersebut. Smong merupakan pengetahuan lokal yang mengingatkan warga untuk berlari ke dataran tinggi saat terjadi gempa besar.
Di Lebak, Banten, terdapat kisah ”Urat Gunung Kendeng”. Hal ini berkaitan dengan jalur sesar aktif yang ada di kawasan itu. Kisahnya sekaligus mengingatkan masyarakat agar waspada terhadap gempa bumi.
Direktur Eksekutif Management of Social Transformation (MOST) Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), Fakhriati mengatakan, Indonesia sangat kaya dengan pengetahuan lokal terkait kebencanaan.
”Ini masih termarjinalkan, belum dimanfaatkan dengan baik, sehingga seperti kita ketahui banyak korban saat terjadi bencana,” ujarnya dalam Kick Off MOST UNESCO 2024 tentang ”Pemanfaatan Pengetahuan Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana bagi Kelompok Rentan dengan Menggunakan Teknologi Informasi”, di Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Indonesia dilanda 4.940 kali bencana pada 2023. Jumlah itu meningkat dibandingkan pada tahun 2022 dengan 3.544 kejadian bencana. Kesiapsiagaan warga menghadapi bencana amat penting untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan.
Oleh karena itu, mitigasi bencana berbasis pengetahuan lokal perlu dihidupkan kembali. Apalagi perkembangan teknologi saat ini belum dapat memprediksi terjadinya sejumlah bencana, antara lain gempa, tsunami, dan angin puting beliung.
Fakhriati menuturkan, pihaknya akan fokus meningkatkan pengetahuan dan kesadaran bencana, khususnya pada kelompok rentan, seperti perempuan, anak, dan penyandang disabilitas. ”Tingkat kerentanan kelompok rentan ini lebih parah karena mereka membutuhkan perlakuan khusus. Kami juga mencoba mengintegrasikannya dengan teknologi informasi yang sedang berkembang,” ucapnya.
Saat membuka kegiatan tersebut, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko memaparkan, pihaknya mempunyai program akuisisi pengetahuan lokal yang sebagian relevan dengan mitigasi bencana. Kekayaan pengetahuan lokal itu perlu diteliti dan dieksplorasi oleh periset untuk memperkuat benteng mitigasi di era sekarang.
”Sebagai negara yang memang ’pasar’ bencana, kita harus menjadi yang terdepan, seperti halnya Jepang, untuk memitigasi, menghadapi, serta mempersiapkan masyarakat, khususnya anak muda, untuk hidup berdampingan bersama bencana,” ujarnya.
Penelitian kearifan lokal tentang kebencanaan bertujuan untuk menggali kembali narasi-narasi mitigasi bencana. Sebab, banyak pengetahuan lokal, seperti tradisi lisan, yang terputus sehingga tidak lagi dipahami secara utuh oleh generasi saat ini.
”Mungkin karena demografi masyarakatnya makin mengglobal sehingga cenderung melupakan local wisdom (kearifan lokal) yang tadinya ada di daerahnya sendiri,” ujarnya.
Maka dari itu, perlu ada kerja sama dengan berbagai pihak, seperti KPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), serta Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) untuk melestarikan kearifan lokal tersebut dalam berbagai bentuk.
Penelitian kearifan lokal tentang kebencanaan bertujuan untuk menggali kembali narasi-narasi mitigasi bencana. Sebab, banyak pengetahuan lokal, seperti tradisi lisan, yang terputus sehingga tidak lagi dipahami secara utuh oleh generasi saat ini.
Handoko menambahkan, riset pengetahuan lokal tentang kebencanaan didokumentasikan dalam teks, visual, dan audiovisual. Konten tersebut bisa dijadikan bahan pelajaran tambahan di sekolah-sekolah sehingga mitigasi bencana dapat diajarkan sejak dini.
”Itu tinggal disebarkan saja. Mungkin bisa juga menyasar ibu-ibu untuk lebih memahami kalau kita hidup bersama dengan bencana di negeri ini,” katanya.
Mengatasi ketidaksetaraan
National Professional Officer UNESCO Jakarta Office Ardito M Kodijat memaparkan, kekayaan pengetahuan lokal di Indonesia dapat diadaptasikan dalam sistem peringatan dini bencana. Hal ini perlu dilakukan secara inklusif sehingga menjangkau kelompok rentan.
”Salah satu fokusnya yakni mengatasi ketidaksetaraan. Fokus dari ketidaksetaraan itu adalah masyarakat rentan. Apakah masyarakat yang termarjinalisasi, masyarakat berkebutuhan khusus, atau yang tidak memiliki akses memadai,” ucapnya.
Ardito menambahkan, inklusivitas dalam mitigasi bencana telah diterapkan dalam sejumlah program. Salah satu program itu yakni penggunaan huruf braille dalam materi kesiapsiagaan bencana. ”UNESCO hanya memperlihatkan arahnya. Apakah ini akan diadaptasi dan diadopsi? Itu menjadi kewenangan dan tanggung jawab negara masing-masing,” katanya.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati menuturkan, perempuan dan anak perlu dilibatkan dalam mitigasi bencana. Namun, bukan sekadar sebagai kelompok rentan, melainkan juga diberdayakan untuk memperkuat kesiapsiagaan.
”Terkait kearifan lokal, perempuan juga memiliki pengetahuan yang banyak. Jika perempuan diberi akses memadai dengan teknologi informasi, ini akan menjadi kekuatan untuk menyebarkan pengetahuan tersebut. Begitu juga dengan anak yang memiliki forum di mana anak sebagai pelapor dan pelopor,” katanya.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amich Alhumami menegaskan, mitigasi bencana juga dapat dilakukan dengan menyeimbangkan pembangunan dan pengelolaan lingkungan secara baik.
Pemanfaatan sumber daya alam harus berkelanjutan. Sebab, penggunaan sumber daya alam bukan hanya untuk kepentingan generasi saat itu, melainkan juga bagi generasi berikutnya.
”Harus ditimbang risiko yang mungkin muncul atas bencana dalam konteks pembangunan. Kerugian ekonomi atau finansial bisa tergambar di sini. Hambatan pembangunan ekonomi akan berdampak pada lapangan kerja, roda pendapatan, dan ini akan mengurangi kesejahteraan masyarakat,” tuturnya.