Memitigasi Puting Beliung di Era Perubahan Iklim
Pemanasan global meningkatkan pertumbuhan awan kumulonimbus yang menjadi sumber cuaca ekstrem, termasuk puting beliung.
Kenaikan suhu permukaan seiring pemanasan global telah meningkatkan pertumbuhan awan kumulonimbus yang menjadi sumber terjadinya cuaca ekstrem. Selain hujan yang lebih ekstrem, intensitas dan frekuensi puting beliung juga cenderung meningkat sehingga perlu dimitigasi.
Angin puting beliung melanda sekitar Rancaekek, Bandung, pada Rabu (21/2/2024). Sejumlah video rekaman yang beredar di media sosial terlihat angin kencang dan berputar di sekitar lokasi kejadian serta menimbulkan beberapa kerusakan.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat menyebutkan, fenomena puting beliung tersebut terjadi sekitar pukul 15.30-16.00. Fenomena ini menimbulkan dampak ikutan berupa angin kencang hingga sekitar wilayah Jatinagor, Kabupaten Sumedang. Sebanyak 735 keluarga dan 116 rumah terdampak puting beliung ini, di mana 32 warga luka-luka.
Baca juga: Puting Beliung di Bandung-Sumedang Sebabkan 706 Bangunan Rusak
Deputi Meteorologi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Guswanto mengatakan, Automatic Weather Station (AWS) BMKG di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) Jatinangor, merekam kecepatan angin 36,8 kilometer per jam. Lokasi AWS ini sekitar 5 kilometer dari lokasi pusat puting beliung.
Sekalipun intensitasnya cukup kuat, Guswanto mengatakan, puting beliung ini jauh lebih kecil dibandingkan tornado yang biasa melanda Amerika Serikat (AS). Dia sekaligus membantah informasi yang beredar di media sosial bahwa puting beliung di Bandung merupakan tornado pertama di Indonesia. Istilah tornado di Rancaekek ini awalnya disampaikan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin.
Erma sebelumnya menyatakan, ”Struktur tornado Rancaekek, Indonesia, dibandingkan dengan tornado yang biasa terjadi di belahan bumi utara Amerika Serikat. Memiliki kemiripan 99,99 persen.” Namun, Erma yang dikonfirmasi lebih lanjut belum merespons pertanyaan mengenai kriteria kemiripan itu.
Menurut Guswanto, walaupun sama-sama terbentuk dari sistem awan kumulonimbus (cumulonimbus/CB), skala pusaran, kecepatan, dan durasi puting beliung lebih kecil dibandingkan tornado yang biasa terjadi di belahan bumi utara seperti AS. Secara definisi puting beliung mengacu angin yang berputar dengan kecepatan maksimal 63 kilometer per jam dan bergerak secara garis lurus dengan lama kejadian sekitar 5 menit dan skala wilayahnya sekitar 5-10 km setara, dengan diameter awan CB sebagai induknya.
Sementara itu, pusaran angin disebut tornado jika kecepatan anginnya minimal 70 kilometer per jam. ”Istilah tornado itu biasa dipakai di wilayah Amerika ketika intensitas pusaran angin meningkat dahsyat dengan kecepatan angin hingga ratusan kilometer per jam dengan dimensi yang sangat besar hingga puluhan kilometer sehingga dapat menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Durasi tornado juga bisa berjam-jam,” katanya.
Yang lebih dibutuhkan masyarakat adalah bagaimana memitigasi dan mengurangi risiko dari puting beliung, yang risikonya cenderung meningkat seiring pemanasan global.
Karena sama-sama terbentuk dari awan CB, puting beliung memang bisa disebut sebagai tornado kecil. Namun, Guswanto menyarankan untuk menggunakan istilah puting beliung sebagai terminologi yang sudah dikenal masyarakat.
Apalagi, kejadian puting beliung, termasuk di Bandung, juga bukan yang pertama kali terjadi. Menurut Guswanto, pada 5 Juni 2023 di Baleendah, Desa Bojongmalaka, Bandung, juga terjadi puting beliung yang berdampak lebih parah, yaitu merusak 141 rumah.
”Kami mengimbau bagi siapa pun yang berkepentingan, untuk tidak menggunakan istilah yang dapat menimbulkan kehebohan di masyarakat, cukuplah dengan menggunakan istilah yang sudah familiar sehingga masyarakat dapat memahaminya dengan lebih mudah,” paparnya.
Peningkatan risiko
Peneliti iklim BMKG Siswanto menambahkan, yang lebih dibutuhkan masyarakat adalah bagaimana memitigasi dan mengurangi risiko dari puting beliung, yang risikonya cenderung meningkat seiring pemanasan global.
Menurut kajian Siswanto, yang dipublikasikan di jurnal Meteorological Society of Japan pada Februari 2022, kenaikan suhu permukaan di Jakarta dan sekitarnya sebesar 1 derajat celsius dalam 100 tahun terakhir telah meningkatkan kemampuan udara menahan air hingga 14 persen, dua kali lipat dari yang selama ini dipahami secara global.
Baca juga: Bukan Tornado, Kecepatan Puting Beliung di Bandung 36 Kilometer Per Jam
”Artinya, semakin banyak kandungan uap air di atmosfer, potensi terbentuknya awan CB semakin tinggi dan potensi terjadinya cuaca ekstrem termasuk hujan ekstrem dan puting beliung juga meningkat,” kata Siswanto.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menunjukkan, frekuensi puting beliung di Indonesia meningkat hingga 3,5 kali dalam periode 2011-2021. Sebanyak 441 puting beliung melanda wilayah Indonesia sepanjang 2011. Setahun kemudian jumlahnya menjadi 543 kali dan pada 2016 menjadi 663 kali. Adapun di tahun 2021, puting beliung terjadi 1.577 kali atau 3,5 kali dibandingkan 10 tahun sebelumnya.
Menurut Siswanto, puting beliung termasuk fenomena meteorologi yang sulit diprediksi karena kejadiannya yang cenderung acak dan tiba-tiba. Skalanya yang relatif kecil dan durasinya yang pendek membuat puting beliung sulit ditangkap oleh radar.
Kajian Siswanto dan Supari, juga dari BMKG di Widyariset (2012) untuk mengidentifikasi kondisi awal kejadian puting beliung di Pangkal Pinang pada 9 Januari 2008 menyimpulkan, parameter yang paling menonjol sebelum terjadinya angin puting beliung adalah munculnya geseran angin tingkat rendah yang didukung oleh faktor lain. Faktor itu seperti adanya suhu puncak awan yang sangat dingin dan suhu permukaan yang hangat.
”Teknik untuk memprediksi terbentuknya puting beliung dari menganalisis radar itu belum bisa sampai sekarang. Kalau ada model yang bilang sudah bisa, itu patut diragukan. Di AS juga belum bisa prediksi tornado, padahal skala dan pergerakannya lebih luas,” katanya.
Baca juga: Antara Puting Beliung di Bandung dan Badai Topan di Hong Kong
Siswanto menambahkan, yang bisa dilakukan sejauh ini adalah memperkirakan potensi kemunculan awan CB. Kemunculan awan tersebut bisa memicu cuaca ekstrem, yang bisa berupa hujan ekstrem, dan itu bisa disertai kilat, angin kencang, dan puting beliung.
”Hal ini sudah dilakukan BMKG dan secara berkala, prediksi cuaca ekstrem biasanya dirilis secara rutin seiring pertumbuhan awan,” katanya.
Menurut Siswanto, risiko terjadinya puting beliung umumnya lebih tinggi di pergantian musim, seperti awal musim hujan atau menjelang akhir musim hujan. Selain itu, fenomena ini biasanya terjadi di kawasan yang relatif datar.
”Masyarakat bisa mengenali pertumbuhan awan, untuk mewaspadai potensi cuaca ekstrem,” kata dia.
Biasanya, pertumbuhan awan ini dimulai dengan kemunculan awan kumulus yang berwarna putih dan menyerupai kapas. Ketika gumpalan awan bertambah besar, bertumpuk-tumpuk, dan tumbuh vertikal sehingga menjadi berwarna kelabu-hitam, itu tandanya mulai terbentuk awan kumulonimbus.
Baca juga: Gejala Awal dan Cara Mengantisipasi Puting Beliung
”Kalau kita lihat ke atas, pandangan horison tertutup awan dan suasana menjadi gelap, itu artinya kita berada di bawah awan kumulonimbus,” katanya.
Begitu muncul awan kumulonimbus, masyarakat perlu mengantisipasi skenario terburuk terhadap fenomena ekstrem. ”Kalau sudah merasakan sensasi angin, kemungkinan tak lama lagi akan turun hujan. Sambaran petir bisa terjadi sebelum hujan. Dan kalau sudah hujan ekstrem, bisa disertai angin kencang dan lebat sekali. Kalau disertai angin tidak beraturan, misalnya pohon-pohon tertiup tidak menentu, itu tanda terjadi pergeseran angin yang bisa menjadi puting beliung,” papar Siswanto.
Hingga saat ini, para ahli meteorologi dan badan-badan pemantauan seperti BMKG sudah jauh lebih baik dalam meramalkan kondisi yang membuat kemungkinan terjadinya cuaca ekstrem. Namun, memprediksi dengan tepat badai petir mana yang akan menghasilkan puting beliung, bahkan juga tornado, masih menjadi tantangan bagi sains.
Untuk saat ini, langkah mitigasi yang bisa dilakukan adalah mengenali pembentukan awan kumulonimbus dan ter-update peringatan dini cuaca ekstrem, yang bisa diikuti puting beliung.