Antara Puting Beliung di Bandung dan Badai Topan di Hong Kong
Walau kerusakan tidak separah di negara subtropis yang menjadi langganan tornado, langkah antisipasi sangat penting.
Indonesia sungguh beruntung. Terletak di kawasan khatulistiwa, negeri ini sangat minim, kalau tidak dikatakan nyaris mustahil, diterjang tornado. Meski demikian, Indonesia berkali-kali mengalami puting beliung (dengan kecepatan di bawah 70 kilometer per jam) dengan efek kerusakan dan ancaman terhadap nyawa manusia.
Hari Rabu (21/2/2024), puting beliung melanda Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, dan Sumedang, Jawa Barat. Terjangan puting beliung itu menjebol bangunan hingga menjungkirbalikkan kendaraan besar, seperti truk.
Walau kerusakannya tidak separah di negara subtropis yang menjadi langganan tornado, langkah antisipasi perlu dilakukan di Indonesia. Sebagai pembanding, topan Saola yang melanda Hong Kong pada September 2023 nyaris melumpuhkan Hong Kong.
Baca juga: Menuju Daratan China, Topan Mangkhut Hantam Hong Kong
Topan Saola itu terbilang luar biasa. Dengan kecepatan 195 kilometer per jam, atau hampir lima kali kekuatan puting beliung Bandung, topan Saola menerjang Hong Kong dan sisi selatan daratan China.
Dalam artikelnya di South China Morning Post, David Dodwell menuliskan pengalaman 40 tahun menghadapi 135 kali topan badai di Hong Kong sejak tahun 1983. Menurut dia, Hong Kong telah bersiap dengan kebutuhan hidup, berbagai sarana penanganan banjir, hingga shelter darurat.
Pengalaman pertama didapat Dodwell ketika topan Ellen melanda Hong Kong tahun 1983. Ketika itu, 10 orang tewas dan 300 orang terluka akibat terjangan.
Harian Kompas juga menulis soal topan Ellen itu pada edisi Minggu (11/9/1983). Namun, Kompas menulis hanya 6 orang tewas dengan 300 orang lain terluka. Topan itu ditulis berkecepatan 235 km per jam.
”Banyak kaca bangunan hancur akibat terjangan angin. Ketika itu, harga sewa apartemen menjadi melonjak pascatopan Ellen,” kenang Dodwell.
Setiap hari dan terutama pada musim topan (Mei-November), Observatorium Hong Kong selalu memberikan perkiraan cuaca dan peringatan kepada warga Hong Kong. Itulah ”kearifan lokal” di Hong Kong sebagai salah satu kawasan yang kerap disambangi tornado.
Bagi warga Hong Kong, hujan lebat, topan, atau tornado yang mengakibatkan langit gelap memang mengerikan. Namun, itulah bagian dari keseharian hidup yang harus dihadapi dengan bijak.
Namun, ada hal memprihatinkan ketika Pemimpin Hong Kong Eric Chan Kwok-ki dinilai menyederhanakan persoalan saat menghadapi topan Saola pada September 2023. Dengan dalih akibat hujan terbesar sekali dalam 500 tahun, pemerintah di sana mengaku sulit memprediksi dampak dari hujan dan badai yang terjadi.
Baca juga: Penerbangan dan Bisnis Dihentikan Saat Topan Super Saola Dekati Hong Kong dan China
Padahal, menurut Dodwell, dalam catatan Observatorium Hong Kong, curah hujan mencapai 88,4 milimeter dalam satu jam pada tahun 1886. Curah hujan di tahun 1966 naik menjadi 108.2 milimeter, lalu di tahun 2008 mencapai 145,5 milimeter, dan pada September 2023 ketika topan Saola melanda mencapai 158,1 milimeter yang mengakibatkan banjir besar di Hong Kong.
Menurut dia, dari angka-angka curah hujan tersebut, sudah dapat dibaca tren untuk mengantisipasi potensi banjir dan badai.
Pemerintah Hong Kong bukannya berdiam diri. Untuk mengantisipasi banjir dan dampak badai topan, pada tahun 2007 telah dibangun saluran barat Hong Kong sejauh 10,7 kilometer yang menghubungkan Tin Hau di timur Pulau Hong Kong menuju Pok Fu Lam di sebelah barat
Juga dibangun tangki penampung air berkapasitas 60.000 meter kubik di bawah tempat pacuan kuda Happy Valley yang berlokasi tidak jauh dari Causeway Bay dan Stadion Ratu Elizabeth II. Ketika dibangun, tangki itu berbiaya 1 miliar dollar Hong Kong.
Ketika proyek tangki penampungan di Happy Valley selesai tahun 2020, insinyur senior Richard Leung mengatakan, mereka harus mengantisipasi buruknya dampak perubahan iklim meski sudah memiliki tangka penampung baru tersebut.
Apa yang dikhawatirkan oleh Leung tetap terjadi, wilayah Chai Wan dan Wong Tai Sin tetap kebanjiran walau sudah ada dua proyek megah di Happy Valley dan saluran Tin Hau-Pok Fu Lam.
Saluran banjir tersebut sudah mengurangi 127 lokasi banjir di Hong Kong sejak tahun 1995. Namun, masih ada empat wilayah banjir yang sayangnya terendam parah akibat topan Saola.
Guru besar arsitektur di Universitas Tionghoa, Hong Kong, Edward Ng, mengatakan, rancangan infrastruktur antibanjir dan badai di Hong Kong masih cocok dengan situasi 30 tahun silam (1990-an), tetapi sudah tidak memadai untuk mengantisipasi bencana hingga 50 tahun mendatang.
Berbeda dengan kawasan Rancaekek, topan Saola menghantam Hong Kong yang dikenal sebagai pusat finansial. Akibatnya, bursa saham Han Seng ditutup, ratusan orang terjebak di Bandara Internasional Hong Kong sebagai efek pembatalan 460 penerbangan regional dan internasional.
Layanan feri, bus, juga dihentikan di Hong Kong. Padahal, layanan feri sangat penting untuk menghubungkan warga di pulau-pulau sekitar Hong Kong untuk bekerja atau bersekolah ke Hong Kong atau New Territories (NT).
Di kawasan tetangga Hong Kong, Pemerintah China di Provinsi Guangdong menghentikan semua layanan kereta api sejak Jumat-Sabtu (1-2 September 2023).
Sementara di wilayah tetangga, Makau, pemerintah setempat memberi tahu warga untuk mengantisipasi banjir yang bisa mencapai ketinggian 1,5 meter. Wilayah Makau terbagi atas daerah Makau, Taipa, Cotai, Coloane, dan wilayah yang disewa dari China di Heng Qin.
Masyarakat Hong Kong juga masih ingat topan super Mangkhut berkecepatan 255 kilometer per jam pada tahun 2018. Topan Mangkhut telah melumpuhkan Hong Kong selama berhari-hari. Setidaknya, 127 orang tewas di Filipina, 6 orang tewas di China, dan 1 orang tewas di Taiwan akibat topan itu.
Baca juga: Diterjang Badai Chaba, Kapal di Hong Kong Terbelah Dua
Di Amerika, Badan Layanan Cuaca Amerika Serikat (NOAA) memberikan tips bagi warga untuk mengantisipasi bahaya tornado. Persiapan yang harus dilakukan adalah kotak darurat berikut lampu senter, pembangkit listrik mini, hingga makanan.
Namun, ada tips yang boleh jadi tidak dilakukan oleh orang Indonesia, antara lain asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Termasuk pula asuransi kesehatan ketika harus dirawat setelah menghadapi bencana.
Indonesia terbilang jarang mengalami bencana tornado, topan, badai, atau puting beliung. Namun, badai Seroja pernah melanda Nusa Tenggara Timur pada April 2021. Selain itu, kasus puting beliung mulai sering terjadi di Jawa yang mengakibatkan kerusakan bangunan dan membahayakan nyawa manusia. Saatnya kita tidak mengabaikan ancaman bencana hidrometeorologi ini. (ASSOCIATED PRESS)