Otak-atik Perubahan Struktur dan Nomenklatur ”Kementerian Lingkungan”
Penggabungan sektor tata ruang dan kehutanan bisa menjadi jalan untuk mengatasi persoalan data dan ego lembaga.
Beberapa hari setelah pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, beredar bocoran daftar nama-nama yang disinyalir akan mengisi posisi menteri pada Kabinet Indonesia Emas yang akan dipimpin Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Nama-nama tersebut muncul setelah pasangan capres-cawapres nomor urut 2 ini unggul sementara dalam hasil hitung cepat pemilu yang diselenggarakan sejumlah lembaga, termasuk Litbang Kompas.
Bocoran daftar nama-nama jajaran menteri dan kepala staf dalam kabinet tersebut diunggah oleh sejumlah akun politik di media sosial. Namun, ketika ditanya oleh salah satu akun, Gibran membalas bahwa informasi tentang nama-nama menteri tersebut tidak benar.
Terlepas dari informasi yang tidak benar tersebut, publik juga menyoroti terkait perubahan struktur dan nomenklatur beberapa kementerian. Salah satunya ialah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dalam informasi kabinet tersebut dipisah ruang lingkupnya dan berubah hanya menjadi Kementerian Lingkungan Hidup.
Baca juga: Sekelumit Pesan untuk Menlu di Kabinet Prabowo
Masih dalam data kabinet tersebut, ruang lingkup sektor kehutanan kemudian dilimpahkan ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Nomenklatur ini pun berubah menjadi Kementerian Tata Ruang dan Kehutanan.
Selain itu, terdapat pula nomenklatur baru, yakni Kementerian Koordinator Bidang Energi, Investasi, dan Lingkungan Hidup. Sebelumnya, sektor lingkungan hidup masuk ke dalam lingkup koordinasi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional Uli Arta Siagian mengajak publik untuk turut mencermati informasi terkait nomenklatur dan struktur dalam kabinet yang beredar di media sosial tersebut. Salah satu yang perlu mendapat sorotan ialah nomenklatur baru Kemenko Bidang Energi, Investasi, dan Lingkungan Hidup.
”Nomenklatur ini seolah-olah menjadikan lingkungan hidup sebagai bagian dalam lanskap energi dan investasi. Ini sebenarnya terlihat sekali semangat untuk mengomodifikasi lingkungan hidup atau melihat lingkungan hidup sebagai bisnis,” ujarnya, Rabu (21/2/2024).
Menurut Uli, siapa pun presidennya ke depan akan sangat berbahaya bila nomenklatur baru tersebut benar-benar direalisasikan dalam struktur kabinet pemerintah. Posisi lingkungan hidup seharusnya tidak diletakkan ke dalam satu bagian dari investasi ataupun bisnis. Sebab, dua ruang lingkup tersebut memiliki aspek yang sangat bertolak belakang.
Sosok menteri lingkungan hidup ke depan, yakni harus seseorang yang mempunyai rekam jejak panjang dalam kerja-kerja yang berkaitan dengan lingkungan hidup, agraria, hingga kehutanan.
Keberpihakan pemerintah baru ke depan terhadap isu lingkungan seharusnya juga ditunjukkan dengan menambahkan nomenklatur perubahan iklim ke dalam nama kementerian. Alasannya, perubahan iklim merupakan salah satu permasalahan terbesar, mulai dari tingkat lokal hingga global. Besarnya skala dan kompleksitas permasalahan krisis iklim membuat penanganannya butuh diangkat pada level yang lebih tinggi.
”Beberapa negara sekarang sudah punya nomenklatur sendiri untuk perubahan iklim di kementeriannya, bahkan hingga undang-undang. Kita perlu meletakkan persoalan lingkungan hidup dan perubahan iklim menjadi persoalan besar yang harus dijawab secara struktural,” ujarnya.
Tata ruang dan kehutanan
Meski terdapat catatan, perubahan struktur dan nomenklatur beberapa kementerian dalam informasi kabinet yang beredar di media sosial tersebut juga memiliki terobosan yang cukup baik. Bahkan, perubahan struktur dan nomenklatur antara KLHK dan Kementerian ATR/BPN juga dianggap bisa menyelesaikan sejumlah persoalan yang masih sulit diselesaikan saat ini.
Dalam konteks advokasi, misalnya, Uli menilai, selama ini KLHK dan Kementerian ATR/BPN kerap memiliki persoalan ego sektoral yang menyebabkan ketidaksinkronan data hingga saling lempar tanggung jawab. Persoalan ini pada akhirnya membuat beberapa program yang saling beririsan, seperti reforma agraria tidak bisa berjalan optimal.
”Penggabungan sektor tata ruang dan kehutanan tidak terlalu dipermasalahkan karena mengatasi kesenjangan selama ini. Ke depan, kita juga bisa memeriksa aspek penataan ruang dan penyelesaian konflik tenurialnya sebelum penetapan kawasan hutan,” ucapnya.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo juga pernah menyinggung, sektor agraria dan kehutanan perlu fokus ditangani satu lembaga. Sebab, orientasi pembagian berbagai sumber daya antara masyarakat dan negara harus difungsikan dalam konstelasi atau hubungan konservasi.
”Orientasi pembagian sumber daya ini tak hanya menekankan keadilan dalam hal kepemilikan. Akan tetapi, tanah juga amat penting sebagai konservasi dan menjadi sumber air ataupun penunjang sektor pertanian. Jadi, akan amat baik apabila hal ini menjadi satu kepengurusan karena sejak bertahun-tahun sektor agraria dipisah dengan planologi,” ujarnya, seperti dikutip dari pemberitaan Kompas pada 17 Oktober 2023.
Strategi advokasi juga menjadi aspek lain yang perlu dicermati ketika dua sektor ini ditangani satu lembaga. Strategi advokasi ini bertujuan agar penyelesaian berbagai permasalahan agraria dan kehutanan dapat didukung pemerintah berikutnya.
Baca juga: Sektor Agraria dan Kehutanan Perlu Fokus Ditangani Satu Lembaga
Saat berbincang dengan Kompas akhir Januari lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar tidak menampik masih ada persoalan ego sektoral antara KLHK dan Kementerian ATR/BPN. Persoalan tersebut memicu realisasi program reforma agraria, khususnya yang terkait pelepasan kawasan hutan belum berjalan optimal.
Siti menyebut, dalam menjalankan program yang beririsan dengan Kementerian ATR/BPN, KLHK sudah berpedoman pada ketentuan dan aturan yang berlaku. Ia pun menegaskan akan menjalin komunikasi kembali dengan Kementerian ATR/BPN untuk mengoptimalkan realisasi program yang beririsan, seperti Reforma Agraria.
Sosok ideal pimpin lingkungan
Selain perubahan struktur dan nomenklatur, hal lain yang perlu disoroti ialah nama-nama yang akan mengisi posisi menteri dalam kementerian tersebut. Upaya perbaikan dinilai akan sia-sia apabila calon menteri memiliki rekam jejak sebagai sosok yang pernah terlibat atau memiliki bisnis di sektor industri ekstraktif dan merusak lingkungan.
”Faktanya, selama ini Indonesia memilih menteri bukan karena kapasitas, melainkan kepentingan politik pragmatis. Jadi, latar belakang calon menteri sebagai pengusaha nantinya akan memengaruhi cara dia mengoperasionalisasikan kebijakan dalam konteks investasi dan energi yang kemudian bisa berdampak terhadap lingkungan,” kata Uli.
Berkaca dari tantangannya selama ini, sektor lingkungan hidup diyakini tetap akan memiliki peran signifikan bagi Indonesia ke depan. Oleh karena itu, sosok menteri lingkungan hidup ke depan, yakni harus seseorang yang mempunyai rekam jejak panjang dalam kerja-kerja yang berkaitan dengan lingkungan hidup, agraria, hingga kehutanan.
Baca juga: Sembilan Tahun Berjalan, Capaian Reforma Agraria Masih Timpang
Selain itu, kata Uli, menteri lingkungan hidup yang baru juga harus memiliki keberanian dalam mengoreksi kebijakan yang selama ini banyak dipermasalahkan. Hal ini termasuk mengevaluasi kembali sejumlah proyek strategis nasional yang dalam implementasinya meninggalkan persoalan lingkungan dan sosial bagi masyarakat.
”Sosok menteri ke depan harus meletakkan keberlanjutan lingkungan hidup, termasuk melakukan mitigasi perubahan iklim. Kemudian, dia juga harus menghindari konflik kepentingan, menjamin keselamatan dan hak rakyat, serta terpenting bisa mengedepankan keseimbangan ekologis,” ucapnya.