Sektor Agraria dan Kehutanan Perlu Fokus Ditangani Satu Lembaga
Penanganan isu agraria dan kawasan hutan tidak boleh dipisahkan. Masalah ini harus ditangani oleh satu lembaga.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permasalahan di sektor agraria dan kawasan hutan dinilai memiliki keterkaitan, terutama yang bersinggungan dengan masyarakat adat atau lokal. Oleh karena itu, permasalahan di kedua sektor ini perlu ditangani oleh satu kepengurusan atau lembaga.
Hal tersebut mengemuka dalam dialog nasional bertajuk ”Mewujudkan Keadilan Sosial-Ekologis Melalui Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam”, di Gedung Serba Guna Gelora Bung Karno, Jakarta, Senin (16/10/2023). Dialog tersebut merupakan salah satu rangkaian acara Konferensi Tenurial yang diselenggarakan pada 16-17 Oktober.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo mengemukakan, isu agraria atau pertanahan dan kawasan hutan sangat penting untuk ditangani oleh satu lembaga. Sebab, orientasi pembagian berbagai sumber daya antara masyarakat dan negara harus difungsikan dalam suatu konstelasi atau hubungan konservasi.
”Orientasi pembagian sumber daya ini tidak hanya menekankan keadilan dalam hal kepemilikan. Akan tetapi, tanah juga sangat penting sebagai konservasi dan menjadi sumber air ataupun penunjang sektor pertanian. Jadi, akan sangat baik apabila hal ini menjadi satu kepengurusan karena sejak bertahun-tahun sektor agaria dipisah dengan planologi,” tuturnya.
Variasi dari modus mafia tanah perlu diurai agar bisa melihat akar persoalannya karena hal ini tidak sekadar kejahatan, tetapi juga menggunakan administrasi negara.
Meski demikian, Hariadi memandang, ketika dua sektor ini disatukan, tidak hanya akan menimbulkan persoalan teknis, tetapi juga politik. Pada akhirnya, hal ini memunculkan pertanyaan terkait kelompok mana saja akan yang diuntungkan dan menerima manfaat.
Strategi advokasi juga menjadi aspek lain yang perlu dicermati ketika dua sektor ini ditangani oleh satu lembaga. Strategi advokasi ini bertujuan agar upaya penyelesaian berbagai permasalahan agraria dan kehutanan dapat didukung oleh pemerintah berikutnya.
Hariadi juga menilai dari kasus-kasus sekarang ini masih ada dikotomi dan pemisahan antara legalitas hukum dan legitimasi masyarakat adat. Hal ini ditunjukkan dari sikap pemerintah yang selalu menyinggung adanya sertifikat dan hak guna usaha (HGU). Padahal, hal yang dipersoalkan terkait dengan cara memperoleh dan menyelesaikan hak dasar masyarakat adat atau lokal khususnya yang berada di lokasi HGU tersebut.
”Jadi, permasalahan ini sebenarnya bisa diselesaikan sehubungan dengan penyatuan kepengurusan antara pertanahan dan kawasan hutan. Kita melihat sampai lima tahun ke depan sentralisasi masih akan terus terjadi dan ini menjadi suatu ketimpangan,” katanya.
Selain itu, Hariadi menekankan tentang mafia tanah yang juga menjadi salah satu pemicu persoalan ketidakadilan penguasaan lahan. Ia pun mendorong pentingnya melihat tipologi proses mafia tanah sehingga bisa mengatasi persoalan ini di level kebijakan tertinggi yang ditangani langsung oleh kementerian atau kepolisian.
”Variasi dari modus mafia tanah perlu diurai agar bisa melihat akar persoalannya karena hal ini tidak sekadar kejahatan, tetapi juga menggunakan administrasi negara. Jadi, persoalan ini juga perlu didalami,” tuturnya.
Ketimpangan regulasi
Deputi II Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)Bidang Politik dan Hukum Erasmus Cahyadi menyoroti berbagai regulasi yang dinilai membuat perampasan tanah pertanian dan wilayah adat semakin masif. Sebaliknya, regulasi yang mengarah kepada keadilan sosial dan lingkungan tidak kunjung diselesaikan ataupun diimplementasikan.
Dalam Konferensi Tenurial 2023, masyarakat pun kembali menegaskan pentingnya pemerintah untuk segera menyelesaikan sejumlah regulasi untuk mewujudkan keadilan sosial-ekologi. Regulasi tersebut adalah TAP MPR IX/2001, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Peraturan Presiden tentangReforma Agraria, serta Rancangan UU Masyarakat Adat.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika selaku Ketua Panitia Pengarah Konferensi Tenurial 2023 menyampaikan, Konferensi Tenurial tahun ini memiliki peran yang sangat penting dan relevan dalam menyikapi isu agraria di Indonesia. Sebab, selama ini pemerintah dipandang belum mewujudkan reforma agraria sejati.
KPA mencatat, selama pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2015-2022 telah terjadi 2.710 konflik agraria yang berdampak pada 5,88 juta hektar. Konflik tersebut disebabkan oleh ragam bisnis dan investasi, pembangunan infratstruktur, pertambangan, dan berbagai proyek strategis nasional dan pariwisata premium.
”Koalisi masyarakat sipil dari berbagai gerakan ini bergabung untuk mengantisipasi tantangan dan ancaman menjelang kekuasaan politik 2024. Kami melihat terjadi rekonsolidasi kelompok elite politik untuk memastikan pergantian kekuasaan sejalan dengan tata cara atau modus mengakuisisi tanah dan sumber daya alam,” papar Dewi.