Hingga kini masih banyak petani di sejumlah wilayah yang terancam dan mengalami konflik akibat program pembangunan. Kondisi ini merupakan ironi di negeri yang memiliki slogan negara agraris.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai negara agraris, upaya Indonesia menyejahterakan para petaninya belum optimal. Masyarakat yang mayoritas menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian justru kerap terancam dan mengalami konflik akibat program pembangunan, termasuk proyek strategis nasional.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi daring reforma agraria menuju Hari Tani Nasional 2022 bertajuk ”Bertaruh Nyawa di Negeri Agraris”, Rabu (14/9/2022). Diskusi ini menghadirkan pembicara jaringan kelompok agraria dari sejumlah wilayah di Indonesia.
Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi mengemukakan, fakta menunjukkan bahwa saat ini masyarakat, khususnya petani, kerap bertaruh nyawa demi melindungi haknya. Bahkan, atas nama pembangunan, konflik agraria masih terus terjadi meski Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sudah berusia lebih dari 60 tahun.
”Selama ini, negara agraris hanya sebuah slogan yang menyenangkan. Kita masih merasa bahwa petani itu berjasa, tetapi hak-haknya terus dirampas. Kondisi ini juga terjadi di Sumatera Utara dalam dua proyek strategis nasional (PSN),” ujarnya.
Dua PSN, yakni pengembangan destinasi pariwisata super prioritas Danau Toba dan proyek lumbung pangan (food estate) di sejumlah wilayah di Sumatera Utara, dinilai telah menambah deretan konflik agraria dan meningkatkan derita para petani.
Menurut Delima, meningkatnya derita petani di Sumut juga tidak terlepas dari 60 persen wilayah daratan di Tapanuli yang diklaim sebagai kawasan hutan negara. Klaim ini banyak membuat hak-hak petani dan masyarakat adat atas tanah mereka terancam .
”Masyarakat yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian ini tidak bisa berbuat apa-apa karena klaim kawasan hutan negara. Sistem pangan lokal mereka juga dirusak oleh kebijakan-kebijakan tersebut,” ucapnya.
Delima menyatakan, pemerintah kerap mengabaikan dampak sosial maupun lingkungan dalam pembangunan PSN tersebut meski sudah diperingatkan oleh masyarakat. Kekhawatiran masyarakat pun menjadi kenyataan. Bulan lalu, Desa Sigapiton yang masuk dalam pengembangan wisata Danau Toba diterjang banjir dan longsor.
“Sawah-sawah para petani kini tertimbun longsor dan sumber air mereka hilang. Meski sudah terjadi bencana ini, pemerintah tidak memberikan tanggapan apa-apa. Padahal, petani di Sigapiton sedang bertaruh nyawa tidak hanya kehilangan sistem pangan, tetapi juga terancam tertimpa longsor,“ ujarnya.
Selain di Sumut, konflik agraria yang dihadapi masyarakat adat dan petani juga terjadi di wilayah Indonesia lainnya. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2021 terdapat 207konflik agraria dengan kasus terbanyak tercatat berada di Jawa Timur (30 kasus), Jawa Barat (17 kasus), dan Riau (16 kasus).
Konflik agraria terkait sektor infrastruktur dan pertambangan juga melonjak, terutama terkait dengan pembangunan PSN. Dari 52 kasus konflik agraria pada sektor infrastruktur, sebanyak 38 kasus di antaranya terkait dengan PSN.
Kriminalisasi petani
Anggota KPA Jawa Timur yang juga pendamping Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB) Kinan mengatakan, kasus kriminalisasi masih kerap dialami petani di Blitar akibat konflik dengan pihak perusahaan perkebunan. Sampai saat ini, pihak perusahaan telah melaporkan 22 petani di Blitar ke pihak kepolisian terkait dengan sengketa tanah obyek reforma agraria (TORA).
”Pemanggilan para petani ini cukup memberikan efek, seperti intimidasi, yang dilakukan pihak kepolisian. Mereka dituduh memasuki wilayah atau pekarangan tanpa izin yang berhak. Padahal, hak guna usaha di wilayah perkebunan tersebut sudah mati dan sekarang dikuasai negara sehingga yang berhak melaporkan adalah negara,” katanya.
Sawah-sawah para petani kini tertimbun longsor dan sumber air mereka hilang. Meski sudah terjadi bencana ini, pemerintah tidak memberikan tanggapan apa-apa.
Kondisi serupa juga dialami petani di Sulawesi Selatan. Dari catatan KPA Sulsel, dalam lima tahun terakhir terdapat 92 kasus kriminalisasi petani dan pejuang agraria. Kasus tertinggi dialami petani yang diklaim masuk ke kawasan hutan.
Kepala Advokasi Kebijakan KPA Roni Septian menekankan, di tengah kondisi saat ini, para petani dan masyarakat luas perlu terus melakukan perlawanan, khususnya untuk mengembalikan hak-haknya. Di sisi lain, kelompok petani juga perlu memperkuat aspek keorganisasian untuk menghadapi tantangan dan kebijakan yang semakin liberal.
”Ketika penguasaan tanah belum diakui secara hukum, minimal secara ekonomi para petani bisa menang. Jadi, tidak bisa kita menunggu sertifikat diberikan oleh presiden. Kita baru bisa mendesak Rancangan Undang-Undang Reforma Agraria apabila gerakan tani semakin membesar dan lokasi penguasaan semakin luas,” ucapnya.