Presiden Minta Konflik Agraria di Sumut Segera Diselesaikan
Presiden Jokowi meminta percepatan penyelesaian konflik agraria di Sumatera Utara. Konflik agraria itu ialah penyelesaian lahan bekas hak guna usaha PT Perkebunan Nusantara II, lahan Simalingkar A dan Sei Mencirim.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
TANGKAPAN LAYAR
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang hadir melalui sambungan video konferensi dalam seminar bertajuk ”Penyelesaian Konflik Agraria di Sumatera Utara”, di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Kamis (21/10/2021).
MEDAN, KOMPAS — Presiden Joko Widodo meminta percepatan penyelesaian konflik agraria di Sumatera Utara. Konflik agraria itu ialah penyelesaian lahan bekas hak guna usaha PT Perkebunan Nusantara II, lahan Simalingkar A dan Sei Mencirim, konflik lahan Sarirejo dengan TNI Angkatan Udara, serta konflik tanah ulayat masyarakat adat.
”Presiden mengingatkan agar sengketa lahan di Sumatera Utara segera diselesaikan. Sengketa lahan menjadi tantangan berat bagi petani dan nelayan di seluruh negeri,” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang hadir melalui sambungan video konferensi dalam seminar bertajuk ”Penyelesaian Konflik Agraria di Sumatera Utara”, di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Kamis (21/10/2021).
Dalam seminar yang diselenggarakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan USU itu, hadir juga Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Rektor USU Muryanto Amin, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya USU Budi Agustono, serta Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Surya Tjandra.
Moeldoko menyebutkan, reforma agraria menjadi salah satu agenda penting pemerintahan Jokowi. Reforma agraria pun tidak bisa berhenti hanya dengan distribusi lahan, tetapi juga pemanfaatan lahan untuk kesejahteraan masyarakat.
Sumut pun menjadi salah satu daerah dengan konflik agraria tertinggi di Indonesia. ”Kantor Staf Kepresidenan menerima 1.191 aduan konflik agraria, sebanyak 202 di antaranya berada di Sumut,” kata Moeldoko.
Pekerja beraktivitas di Kebun Saentis PT Perkebunan Nusantara II, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Selasa (11/8/2020).
Taufan mengatakan, agraria merupakan sumber daya penting bagi masyarakat. ”Kesejahteraan masyarakat yang terganggu karena konflik agraria bisa menumbulkan gejolak politik nasional,” katanya.
Taufan menyebutkan, aduan konflik agraria ke Komnas HAM merupakan yang tertinggi. Sumut juga merupakan salah satu provinsi dengan aduan konflik agraria terbanyak.
Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Provinsi Sumut M Fitriyus mengatakan, mereka saat ini berfokus menyelesaikan konflik lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara II seluas 5.873,06 hektar.
Konflik lahan terjadi sejak berakhirnya sebagian HGU PTPN II tahun 2000. Sebanyak 5.873,06 hektar di antaranya tidak diperpanjang dan diserahkan penggunaan peruntukannya kepada Gubernur Sumut. Lahan itu berada di Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat, dan Kota Binjai.
DOK SPSB-STMB
Sura beru Sumbiring (64), petani Sei Mencirim, Deli Serdang, Sumatera Utara, saat mengikuti jalan kaki ke Jakarta memperjuangkan hak atas tanahnya pada Juni-Juli-Agustus 2020 selama 48 hari.
Penetapan peruntukan lahan bekas HGU PTPN II dilakukan dengan tahapan penyusunan daftar nominatif, verifikasi nama-nama daftar nominatif, penetapan peruntukan dengan SK Gubernur Sumut, dan penghapusbukuan dari Kementerian BUMN.
Fitriyus mengatakan, hingga kini mereka sudah melakukan klarifikasi terhadap 91 kelompok masyarakat yang menggarap lahan bekas HGU. Sebanyak 1.210 bidang pun sudah diverifikasi dan 986 sudah dilakukan identifikasi lapangan. Dari semua lahan bekas HGU, sekitar 36 persen sudah mendapat surat keputusan penetapan dari Gubernur Sumut.
Kesejahteraan masyarakat yang terganggu karena konflik agraria bisa menumbulkan gejolak politik nasional.
Sementara itu, penyelesaian konflik lahan antara warga Desa Simalingkar A dan Desa Sei Mencirim, Kabupaten Deli Serdang, dengan PTPN II pun hingga kini terus berjalan. Dari 805 masyarakat dalam sengketa di Simalingkar A, sebanyak 716 warga sudah diidentifikasi dan verifikasi untuk ditetapkan sebagai calon penerima lahan.
Di Desa Sei Mencirim, dari 756 warga yang bersengketa, sebanyak 692 warga sudah diidentifikasi dan verifikasi untuk ditetapkan sebagai calon penerima lahan. "Dalam waktu dekat akan segera dilakukan penetapan," kata Fitriyus.
Sementara itu, konflik lahan Sarirejo di Kecamatan Medan Polonia saat ini masih dalam proses. Lahan di Sarirejo sudah turun-temurun ditempati warga. ”Namun, Badan Pertanahan Nasional belum bisa menerbitkan sertifikat hak milik atas lahan tersebut karena secara de jure merupakan aset TNI Angkatan Udara,” kata Fitriyus.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Masyarakat adat melakukan ritual membakar kemenyan dalam unjuk rasa menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan di Kantor DPRD Sumatera Utara, Medan, Senin (23/9/2019).
Masyarakat adat
Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan, konflik agraria yang melibatkan tanah ulayat masyarakat adat di Sumut menjadi persoalan yang belum bisa diselesaikan hingga saat ini. Sejumlah konflik yang terjadi merupakan akibat dari penerbitan konsesi hutan dengan menggunakan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1982.
”Status TGHK 1982 sebenarnya hanya arahan alokasi fungsi kawasan hutan, tetapi sudah digunakan untuk menerbitkan konsesi,” kata Abdon.
Di lapangan, sebagian besar wilayah adat dimasukkan ke kawasan hutan dan pengusahaannya diserahkan kepada perusahaan kayu, pertambangan, dan hutan tanaman industri tanpa persetujuan masyarakat adat, bahkan beberapa tanpa sepengetahuan mereka.
Abdon pun mendorong agar Pemerintah Provinsi Sumut dan pemerintah kabupaten/kota serta jajarannya segera menerbitkan peraturan daerah tentang perlindungan masyarakat adat. Hal itu sangat penting sebagai bentuk pengakuan dan landasan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat.