Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat, sepanjang 2020 masih terjadi konflik agraria di berbagai sektor dan wilayah di Tanah Air. Kasus-kasus pada masa lalu pun belum terselesaikan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masa pandemi Covid-19 tak menyurutkan peristiwa kasus perampasan tanah dan kekerasan terhadap masyarakat yang memperjuangkan lahannya. Keberpihakan dan langkah politik pemerintah diperlukan agar bisa mencegah konflik agraria berulang sekaligus mengurai dan menyelesaikan peninggalan konflik di masa lalu.
Ini terangkum dalam Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2020 yang diluncurkan secara daring, Rabu (6/1/2021). KPA mencatat, jumlah konflik agraria di sektor perkebunan meningkat 28 persen dari tahun lalu, sedangkan di sektor kehutanan naik 100 persen. Secara keseluruhan, masyarakat yang terdampak mencapai 135.332 keluarga.
Dari sisi jumlah korban konflik agraria secara langsung sebanyak 169 orang, 139 orang di antaranya mengalami kriminalisasi, 19 orang dianiaya, dan 11 orang tewas. Mayoritas kasus kekerasan tersebut dilakukan aparat negara, seperti polisi (46), TNI (22), satuan polisi pamong praja (9), dan petugas keamanan/preman sewaan perusahaan (20).
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyampaikan, jika diakumulasikan, pada 2015-2020 total konflik agraria yang bersifat struktural mencapai 2.288 kasus. Namun, tingginya jumlah konflik agraria ini berbanding terbalik dengan upaya penyelesaiannya. Dewi memandang, penyelesaian konflik agraria sampai saat ini masih macet.
”Situasi agraria tahun 2020 menunjukkan adanya pengabaian terhadap konflik agraria struktural dan tidak menganggap bahwa situasi ini seharusnya diselesaikan secepat mungkin. Perlu ada perubahan paradigma yang mutlak dalam melihat hak rakyat atas tanah,” ujarnya.
Selain itu, kata Dewi, dibutuhkan juga terobosan politik untuk menuntaskan konflik agraria. Terobosan bisa dilakukan dengan cara membentuk badan khusus untuk menyelesaikan konflik agraria yang bersifat struktural dan eksekutorial serta sejalan dengan tujuan reforma agraria. Badan khusus ini perlu dibuat mengingat sejumlah kementerian/lembaga hanya menerima pengaduan, tetapi tidak menuntaskan konflik.
”Konflik agraria menandakan kebutuhan mendesak untuk melakukan proses menata ulang struktur penguasaan tanah dan meredistribusikannya kepada petani serta masyarakat miskin. Dibutuhkan perubahan mendasar tentang reforma agraria dari sekadar program sertifikasi tanah biasa,” ucap Dewi.
Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sugeng Purnomo menyatakan, sepanjang 2020, pihaknya menerima 60 persen laporan terkait dengan masalah pertanahan. Laporan tersebut merupakan kasus antara masyarakat dan masyarakat, masyarakat-kelompok pemodal, ataupun masyarakat-badan usaha milik negara (BUMN).
Ketimpangan akses
Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang Surya Tjandra mengakui, konflik agraria meningkat bisa jadi karena saat ini penanganan belum masuk ke masalah ketimpangan akses dan kepemilikan atas tanah. Karena itu, reforma agraria menjadi upaya yang terus dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Namun, Surya juga menyebut pelaksanaan reforma agraria untuk menyelesaikan konflik masih menemui sejumlah tantangan. Penyelesaian konflik ini butuh kepemimpinan yang kuat karena aspek lintas sektor sangat dominan. Hal ini pada akhirnya membutuhkan juga koordinasi dan komunikasi efektif antar-kementerian/lembaga serta pemahaman menyeluruh akan kebutuhan masyarakat.
Salah satu kebutuhan koordinasi antar-kementerian ini di antaranya saat akan menyelesaikan konflik agraria antara masyarakat dan BUMN. Menurut Surya, Kementerian ATR tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut sendiri sehingga membutuhkan koordinasi dengan Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan karena menyangkut aset negara.
Terkait masalah mafia tanah yang kerap menjadi akar konflik agraria, Surya menyatakan, hal ini sulit diatasi karena pada dasarnya banyak pihak yang dapat mengeluarkan hak atas tanah mulai dari tingkat desa hingga kecamatan. Bahkan, surat keterangan tanah tersebut bisa diakui di pengadilan.
”Gugus Tugas Reforma Agraria juga berpikir untuk membuat semacam model penyelesaian konflik yang lebih komplet. Nantinya bisa melibatkan sebanyak mungkin stakeholder tidak hanya kementerian atau lembaga dari pemerintah, tetapi juga aparat penegak hukum,” katanya.
Selain itu, dari sisi sengketa tanah, Surya mengakui permasalahan tersebut sangat kompleks sehingga Kementerian ATR masih akan membenahi prosedur pertanahan. ”Ada ruang-ruang yang menjadi permainan para oknum dari luar dan dalam. Pengadilan juga menjadi salah satu yang perlu direformasi sistemnya,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Sosial Budaya Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri Komisaris Besar Arif Rahman menampik anggapan bahwa polisi merupakan pihak yang kerap mengkriminalisasi masyarakat dalam konflik agraria. Menurut dia, Polri hanya sebagai pihak yang diminta menjaga keamanan oleh pihak lain yang bersengketa untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan anarkistis.
”Dalam pelaksanaannya, terjadi aksi-aksi anarkistis dari pihak-pihak tertentu sehingga Polri mau tidak mau harus terlibat di dalamnya. Acuan Polri adalah hukum, pihak mana yang memiliki legalitas hukum akan diamankan Polri dan menjaga agar tidak terjadi konflik,” ungkapnya.