Jalan Panjang Pers Indonesia dari Masa Penjajahan hingga Era Digital
Pada Selasa (20/2/2024) akan berlangsung puncak peringatan Hari Pers Nasional. Pers Indonesia tak lekang oleh zaman.
Puncak peringatan Hari Pers Nasional akan digelar di Jakarta, Selasa (20/2/2024) sore. Presiden Joko Widodo direncanakan akan hadir dan mengumumkan Peraturan Presiden tentang Publisher Rights, regulasi yang mengatur kerja sama antara penerbit media dan platform digital.
Peraturan Presiden (Perpres) tentang Publisher Rights hanya salah satu dari sekian banyak cara pers nasional Indonesia bertahan dari tantangan zaman. Pers di Indonesia memiliki perjalanan panjang mulai dari masa penjajahan Belanda sampai berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan. Dimulai dengan hanya memuat periklanan, surat kabar di Indonesia berkembang menjadi sarana gerakan kebangsaan dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Dilansir dari situs Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada 7 Agustus 1744 terbit media cetak bernama Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementes yang disingkat menjadi Bataviasche Nouvelles. Surat kabar ini hanya terbit selama setahun.
Sebelumnya, pada 1615, Gubernur Jenderal pertama VOC, Jan Piterszoon Coen, telah memerintahkan penerbitan Memorie der Nouvelles. Surat kabar ini tidak dicetak, tetapi ditulis tangan yang bertahan sampai tahun 1644. Selanjutnya, ada surat kabar mingguan Bataviasche Koloniale Courant.
Pada masa penjajahan Inggris, Java Government Gazette terbit mulai 29 Februari 1812 sampai 13 Agustus 1814. Ketika Belanda kembali berkuasa, terbit De Bataviasche Courant yang kemudian berganti menjadi Javasche Courant pada 1828.
Baca juga: Tantangan Pers Bebas di Era Disrupsi
Di Surabaya, Jawa Timur, terbit surat kabar Soerabajaasch Advertentieblad pada Juli 1835. Sementara itu, di Semarang, Jawa Tengah, terbit Semarangsche Advertentieblad, De Semarangsche Courant, dan Het Semarangsche Niuews en Advertentieblad pada pertengahan abad ke-19. Het Semarangsche Niuews en Advertentieblad berganti nama menjadi de Locomotief untuk menghormati pertama kali dibuka jalan kereta api oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1862.
Surat kabar pada zaman penjajahan ini lebih banyak memuat iklan dan hanya dicetak sekitar 1.000 sampai 1.200 eksemplar. Mereka belum berpengaruh dalam urusan politis.
Adapun koran berbahasa Jawa tertua, yakni Bromartani yang terbit pada 21 Maret 1855 di Surakarta, Jawa Tengah, yang dipimpin oleh pencinta dan juru bahasa Jawa di Keraton Surakarta, Carel Frederick Winter Junior. Setelah Carel meninggal pada 1859, sahabatnya menerbitkan surat kabar Djoeroemartani pada 1865. Surat kabar ini diubah namanya menjadi Bromartani untuk mengenang Winter.
Sejumlah surat kabar berbahasa Melayu yang dimiliki peranakan Belanda pada masa ini hampir semua dimusnahkan. Namun, pada 1880 mulai terbit surat kabar yang dikelola peranakan China-Melayu, seperti Pemberita Betawi, Bintang Surabaya, dan Bintang Betawi. Pada awal 1900-an terbit Li Po (1901), Chabar Perniagaan (1903), Ik Po (1904), dan Sin Po (1910).
Setelah orang Belanda dan China merbitkan surat kabar, Haji Samanhudi bersama dengan Raden Mas Djokomono menerbitkan Medan Prijaji pada Januari 1904. Surat kabar yang dipimpin oleh Raden Mas Djokomono yang terkenal dengan nama RM Tirto Adhie Soeryo ini menjadi tonggak jurnalistik Indonesia.
Baca juga: Presiden: Jangan Hanya Bicara Kemerdekaan Pers, tetapi Juga Pers yang Bertanggung Jawab
Pada masa ini, koran dan majalah menjadi tempat untuk mengungkapkan gagasan gerakan kebangsaan. Pers nasional menunjukkan kehidupan gerakan kebangsaan sekaligus menyebarkan gagasan idealisme para bapak pendiri bangsa. Pers Indonesia menjadi oposisi Pemerintah Belanda dan berjuang untuk kebebasan masyarakat Indonesia dari penjajahan.
Setelah Medan Prijaji, terbit Darmo Kondho, Fikiran Ra’jat, Soeloeh Ra’jat Indonesia. Beberapa surat kabar terbit di luar Jawa dengan gagasan yang sama, seperti Penghantar (Ambon), Sinar Borneo (Banjarmasin), Persatoean (Kalimantan), Pewarta Deli, Matahari (Medan), dan Sinar Sumatera (Padang).
Ketika Jepang datang, hanya surat kabar di kota besar yang boleh terbit, seperti Asia Raya (Jakarta), Sinar Baroe (Semarang), Soeara Asia (Surabaya), Kita Sumatera Shimbun (Medan), dan Atjeh Simbun (Kutaradja/Banda Aceh). Pada masa ini, surat kabar Belanda tidak boleh terbit. Bahkan, wartawannya ditangkap dan dipenjara.
Kantor Berita Antara dilebur dalam kantor berita Jepang Domei. Pemerintah Jepang menerbitkan surat kabar demi kepentingan pendudukan Jepang, salah satunya majalah Djawa Baroe yang berisi tentang propaganda Jepang.
Pada masa penjajahan Jepang, terbit surat kabar Tjahaya di Bandung yang dipimpin S Bratanata. Koran ini sempat memuat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945.
Baca juga: Adaptasi Media Menghadapi Disrupsi Digital Tidak Cukup
Setelah Indonesia Merdeka, Jepang menerbitkan koran Berita Gunseikanbu yang berupaya menghalangi roda pemerintahan Indonesia. Para pelajar Kenkoku Gakuin atau sekolah pangreh praja menerbitkan koran Berita Indonesia untuk menyaingi koran terbitan Jepang tersebut.
Surat kabar pertama yang terbit setelah Indonesia merdeka adalah Berita Indonesia. Koran ini terbit secara teratur sejak 6 September 1945. Setelah itu, muncul majalah Tentera dan disusul surat kabar Merdeka yang dipimpin oleh BM Diah. Pemerintah Indonesia juga menerbitkan Negara Baroe dan Soeara Oemoem.
Awal Desember 1945, terbit majalah tengah bulanan Pantja Raya. Selanjutnya, ada majalah dan surat kabar lain, seperti Pembangoenan, Siasat, Pedoman, dan Mimbar Indonesia. Selain di Jakarta, juga terbit koran Menara Merdeka (Ternate), Soeara Indonesia, Pedoman (Makassar), Soeara Merdeka (Bandung), Soeara Rakjat (Surabaya), dan Kedaulatan Rakyat, Nasional (Yogyakarta).
Selain itu, ada Soeloeh Rakyat (Semarang), Pewarta Deli, Suluh Merdeka, Mimbar Umum (Sumatera Utara), Sumatera Baru (Palembang), Pedoman Kita, Demokrasi, Oetosan Soematera (Padang), dan Semangat Merdeka (Aceh). Kantor Berita Antara juga ikut berperan mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Perjuangan wartawan untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia terlihat ketika Pemerintah Jepang tidak mau melepaskan Indonesia dan Belanda membonceng sekutu untuk kembali berkuasa. Pers Indonesia berdiri di belakang kaum republikan terus menyuarakan kemerdekaan Indonesia sehingga disebut pers republikan.
Untuk menandingi tulisan pada koran republikan, Belanda membuat koran tandingan, yakni De Courant (Bandung), De Locomotief (Semarang), dan Java Bode (Jakarta).
Ketika ibu kota Republik Indonesia pindah di Yogyakarta, wartawan berkumpul di gedung Sociteit atau Sasono Suko Solo (sekarang Monumen Pers Nasional) pada 9 Februari 1946. Mereka mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). PWI merupakan organisasi profesi wartawan pertama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan ketua RM Sumanang Suryowinoto. Pada 8 Juni 1946 berdiri Serikat Perusahaan Surat Kabar (SPS) di Yogyakarta.
Tantangan
Setelah kemerdekaan, pers Indonesia menemui beragam tantangan sebagai penyampai informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Tantangan terbaru ialah perkembangan teknologi dan perubahan masyarakat di era digital yang membuat pers kembali meniti jalan terjal untuk memenuhi fungsinya.
Tahun lalu, tepatnya 17 April 2023, Koran Sindo mengumumkan penghentian penerbitan versi cetak maupun versi e-paper hingga batas waktu yang akan ditentukan kemudian. Dalam surat keterangannya, Koran Sindo yang berada di bawah manajemen PT Media Nusantara Indonesia menyoroti soal semakin besarnya tantangan dalam bisnis media sebagai alasan pengambilan keputusan tersebut.
Koran Sindo hanya satu dari puluhan media cetak yang tutup setelah Reformasi. Sebelum Koran Sindo, belasan media cetak tutup dalam lima tahun terakhir. Harian Republika, majalah Mombi, tabloid Nova, dan majalah Bobo Junior tutup pada 2022. Suara Pembaruan tutup satu tahun sebelumnya. Adapun Koran Tempo juga mengakhiri edisi cetaknya pada 2020 dan beralih ke platform digital pada 2021.
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru tantangan pers ialah tekanan rezim yang berkaitan dengan situasi politik. Beragam peraturan menguatkan tekanan itu, mulai dari Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Menganggu Ketertiban Umum hingga Peraturan Menteri Penerangan No 1/1984 yang mengatur tentang surat izin usaha.
Pemberangusan kebebasan pers melalui pembredelan media beberapa kali terjadi di era Orde Baru. Pada 20 Januari 1978 malam, harian Kompas menerima pemberitahuan larangan terbit. Selain Kompas, saat itu ada enam media lain yang terbit dilarang terbit, yakni koran Sinar Harapan, Pelita, Merdeka, Indonesia Times, Sinar Pagi, dan majalah Tempo. Mereka dilarang terbit mulai 21 Januari 1978.
Baca juga: Industri Pers Harus Bertransformasi
Pada masa setelahnya, pers menemui tantangan baru penetrasi digital. Hasil analisis European Journalism Centre (ECJ) terhadap perkembangan ekosistem media di Indonesia menunjukkan, perusahaan pers, terutama media cetak, mengalami tekanan luar biasa akibat kenaikan ongkos produksi saat turunnya jumlah pembaca.
Platform digital telah menguasai pasar iklan, mendominasi distribusi konten, tanpa regulasi yang tegas dan melindungi media nasional. Google dan Facebook menguasai 75-80 persen dari total belanja iklan digital nasional.
Media nasional yang jumlahnya lebih dari 1.000 perusahaan hanya mendapatkan sisanya. Selain itu, readership atau tingkat keterbacaan dan oplah media terus menurun. Sebab, penetrasi dunia digital juga menciptakan perubahan masyarakat dalam mengonsumsi berita.
Baca juga: Perpres Media Berkelanjutan Mesti Berlandaskan UU Pers
Untuk mengatasi tantangan ini dan menciptakan ekosistem pers Indonesia sehat serta berkelanjutan, insan pers mengajukan usulan regulasi publisher rights sejak empat tahun lalu. Regulasi ini mengatur kerja sama antara penerbit media dan platform digital.
Regulasi ini juga mengatur tanggung jawab platform media (misalnya Google dan Facebook) untuk berkontribusi dalam jurnalisme berkualitas.
Presiden Joko Widodo direncanakan akan mengumumkan regulasi publisher rights dalam peringatan Hari Pers Nasional 2024, Selasa (20/2/2024). Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menuturkan, perpres memiliki tujuan utama ingin memastikan kerja sama antara perusahaan pers dan platform digital dapat terwujud serta memberikan manfaat yang optimal.
Pemerintah, kata Budi, juga berupaya memitigasi dampak dari penerapan publisher rights tersebut. Pemerintah mengantisipasi jika perusahaan platform tidak lagi mendistribusikan konten yang dihasilkan media (Kompas.id, 9/2/2024).