Presiden: Jangan Hanya Bicara Kemerdekaan Pers, tetapi Juga Pers yang Bertanggung Jawab
Saat bertemu dengan anggota Dewan Pers di Istana Kepresidenan Jakarta, Presiden Joko Widodo berpesan agar jangan lagi hanya bicara soal kemerdekaan pers, tetapi juga perlu membahas pers yang bertanggung jawab.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jajaran Dewan Pers beraudiensi dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta. Salah satu hal menarik yang mengemuka dalam pertemuan tersebut adalah penegasan Kepala Negara menyangkut pers yang bertanggung jawab.
”Catatan yang saya kira perlu di-high light (disorot) oleh teman-teman media bahwa Bapak Presiden mengatakan jangan cuma ngomong kebebasan pers, tapi (bicarakan pula) pers yang bertanggung jawab,” kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu saat memberikan keterangan kepada media di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (6/2/2023).
Ninik menuturkan, pers yang bertanggung jawab tersebut mesti menggunakan etika dan beberapa pedoman yang sudah dimiliki. Wartawan juga harus ikut uji kompetensi supaya memiliki kapasitas dalam pemberitaan.
Catatan yang saya kira perlu di- high light (disorot) oleh teman-teman media bahwa Bapak Presiden mengatakan jangan cuma ngomong kebebasan pers, tapi (bicarakan pula) pers yang bertanggung jawab.
Terkait konteks pernyataan Presiden soal pers bertanggung jawab tersebut, Ninik menuturkan banyak masyarakat yang hanya menuntut pers itu harus bebas. ”Tapi, di sisi lain, melupakan bahwa di-side (sisi lain dari) kebebasan itu ada tanggung jawab. Nah, apa sih substansi tanggung jawab itu? Ya, kode etik jurnalistik,” ujarnya.
Selain itu juga pedoman pemberitaan yang berperspektif keberagaman dan mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”Itu sudah enggak bisa ditawar-tawar. Pers itu harus memberikan pendidikan kepada publik, kontrol sosial, memberikan informasi,” kata Ninik.
Saat ditanya apakah ada kaitan antara penegasan Presiden mengenai pers yang bertanggung jawab dalam konteks dengan tahun politik jelang Pemilu 2024, anggota Dewan Pers yang juga Ketua Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi Pers Paulus Tri Agung Kristanto mengiyakan ada pembicaraan soal itu. ”Ada pembicaraan, tetapi, ya, justru karena itu mengingatkan tentang pers yang bertanggung jawab tadi,” katanya.
Tri Agung menuturkan hal ini karena di tahun politik pasti akan banyak sekali media dimanfaatkan. ”Nah, (oleh) karena itu jangan membicarakan kemerdekaan pers atau kebebasan pers saja, tetapi bagaimana kemudian pers juga mewujudkan situasi masyarakat yang lebih kondusif, lebih baik, dan itulah tanggung jawab pers,” kata Tri Agung.
Terkait pertemuan dengan Presiden Jokowi, Ninik Rahayu menuturkan, hal pertama adalah Dewan Pers melakukan audiensi terkait dengan kepemimpinan Dewan Pers periode 2022-2025 yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden tanggal 13 Juni 2022. ”Dan, seperti teman-teman ketahui, kan, ada pergantian kepemimpinan karena Prof Azra yang memimpin Dewan Pers berpulang setelah memimpin kurang lebih empat bulan. Nah, oleh karena itu, ini menjadi pertemuan pertama sejak kami terpilih,” ujar Ninik.
Kedua, Dewan Pers menyampaikan aktivitas dilakukan. Ada tiga program besar di Undang-Undang Pers yang menjadi mandat buat Dewan Pers, yakni terkait dengan pendataan, pengaduan, dan peningkatan kapasitas wartawan atau pendidikan.
”Nah, terkait ketiga hal itu, kami menyampaikan memang masih cukup banyak tantangannya. Satu, pengaduan itu cukup tinggi angkanya sampai dengan hari ini. Per tahun, di tahun 2022 kemarin kurang lebih 690 (pengaduan) dan kami, Dewan Pers bisa menyelesaikan sampai 97 persen,” kata Ninik.
Bukan hanya dalam konteks sisi jumlah, Ninik menambahkan, substansi pengaduannya juga semakin beragam. Hal itu menandakan masyarakat juga semakin kritis terhadap pemberitaan. Namun, kondisi itu bisa jadi menunjukkan nilai pemberitaan juga semakin menurun karena tidak diikuti dengan kredibilitas yang baik, terutama pada perspektif dan pendekatan kode etik jurnalistik, kode etik keberagaman, dan yang lainnya.
”Terkait dengan pendidikan tadi, kami juga laporkan wartawan yang sudah mengikuti uji kompetensi ada sekitar 22.000 (orang). Di tahun 2022 ada 1.900-an (wartawan)yang mengikuti pendidikan di tingkat muda, madya, dan utama,” ujar Ninik.
Apabila dipersentase dari total jurnalis di Indonesia, jumlah wartawan yang mengikuti uji kompetensi atau pendidikan masih kecil. ”Tapi kita berterima kasih karena juga ada dukungan anggaran dari pemerintah,” katanya.
Adapun terkait dengan pendataan, Dewan Pers juga menyampaikan cukup besarnya keinginan mendirikan media. Hal tersebut harus diakomodasi sebagai upaya keinginan berprofesi di bidang pers. ”Tetapi, memang, kendalanya kami harus melakukan pendampingan terus-menerus terhadap mereka yang mengajukan pendataan agar sesuai dengan kualifikasi dan standar yang sudah ditetapkan, (dan) yang sudah disepakati,” ujar Ninik.
Hal ini karena Dewan Pers tidak dapat membuat aturan sendiri. Dewan Pers membuat aturan bersama dengan 11 konstituen, yakni ada empat organisasi wartawan dan tujuh organisasi media. Menurut Ninik, hal terpenting yang muncul dalam pertemuan adalah terkait media sustainability. Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan Dewan Pers menegaskan harus ada keadilan bagi media dan platform supaya bisa sama-sama secara bisnis mendapatkan keuntungan.
”Dan, itu di bawah Undang-Undang Pers, di bawah Undang-Undang (Nomor) 40 Tahun 1999. Jadi, dikembalikan lagi menjadi satu model penyelesaian yang dilakukan oleh Dewan Pers. Itu saya kira hal penting,” kata Ninik.
Ninik menuturkan, Dewan Pers juga mengucapkan terima kasih karena Presiden Jokowi menyampaikan akan hadir di puncak acara Hari Pers Nasional. ”(Acara) yang di dalamnya selain menyelenggarakan diskusi-diskusi dalam konvensi dipimpin Pak Tra (Tri Agung Kristanto), kami juga ada penandatanganan MoU antara KPI, KPU, Bawaslu, dan Dewan Pers. Sebab, ini memang menyangkut penyelenggaraan pemilu,” katanya.
Ninik menuturkan, penandatanganan nota kesepahaman antara Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Pers tersebut dikarenakan ada masa pra, selama, dan pasca-pemilu pasti banyak konflik pemberitaan yang harus diselesaikan dengan pendekatan jurnalisme.
Sehubungan kasus terkait pers, Ninik juga menuturkan bahwa kepolisian dan Dewan Pers sudah punya nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama mengenai ahl itu. ”Kalau ada kasus-kasus yang terkait dengan pers, bisa dilaporkan ke polisi, bisa dilaporkan ke Dewan Pers. Tetapi, kami sudah bersepakat kalau itu terkait dengan karya jurnalistik, penyelesaiannya adalah dengan mediasi, dengan Undang-Undang 40 (Tahun 2009 tentang Pers). Tetapi, kalau kasusnya adalah pidana murni, monggo ke Trunojoyo (Mabes Polri),” tuturnya.
Ninik menuturkan, antara Dewan Pers dan kepolisian sudah punya saling pemahaman. ”Kami pelajari bersama. Kalau kepolisian merasa ini perlu menghadirkan ahli, dari Dewan Pers untuk melihat. Jadi, jangan sampai semua karya-karya jurnalistik dikriminalisasi,” ujarnya.