Sekalipun patah hati terasa sangat menyakitkan bagi sebagian orang, hal tersebut bisa menjadi bentuk evolusi manusia.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
Rasa sakit yang timbul ketika sedang patah hati ternyata tidak hanya disebabkan oleh pikiran. Hormon pada tubuh dapat menimbulkan emosi yang negatif ketika sedang patah hati. Hal itu bahkan bisa memberikan dampak yang terasa menyakitkan secara fisik.
Penulis medis di Dr Fox Online Pharmacy di Inggris yang juga spesialis kesehatan reproduktif dan seksual, Deborah Lee, mengatakan, terdapat alasan fisiologis mengapa patah hati dapat menimbulkan rasa yang sangat menyakitkan pada seseorang. Gejala yang timbul tidak hanya akibat dari pikiran.
”Ketika jatuh cinta, tubuh secara alami akan mengeluarkan hormon. Itu termasuk hormon oksitosin dan dopamin yang memberikan rasa nyaman. Namun, saat putus cinta, kadar hormon tersebut akan menurun, secara bersamaan hormon kortisol yang menyebabkan stres justru meningkat,” ujarnya dalam artikel dari Livescience, 3 Februari 2023.
Peningkatan kadar hormon kortisol tersebut dapat memicu terjadinya sejumlah gangguan pada tubuh, seperti darah tinggi, penambahan berat badan, munculnya jerawat, dan peningkatan kecemasan. Ketika terjadi penolakan sosial, seperti putus cinta, area di otak yang berhubungan dengan rasa sakit fisik dapat menjadi aktif.
Hal itu tertulis dalam studi yang terbit pada 2011 di jurnal Biological Sciences. Studi itu dilakukan dengan memperlihatkan foto mantan pasangan pada sejumlah orang yang baru saja diputuskan. Dari hasil pemindaian magnetic resonance imaging (MRI) ditemukan, area otak yang biasanya berhubungan dengan cedera fisik menjadi aktif.
Hormon yang dilepaskan saat patah hati mengaktifkan kedua bagian sistem saraf (simpatik dan parasimpatik) ini. Otak dan jantung, yang merespons jalur ini, menjadi bingung karena menerima pesan yang beragam.
Dokter spesialis kejiwaan klinis dan terapis di klinik Couples Therapy di Inggris, Eric Ryden, mengatakan, rasa sakit dari efek neurobiologis ketika patah hati bisa mencapai tingkat yang amat tinggi. Rasa sakit itu bahkan bisa disamakan dengan rasa sakit fisik, seperti nyeri dada dan serangan panik. Rasa sakit itu seperti rasa ketika terbentur.
”Patah hati tampaknya melibatkan beberapa mekanisme saraf yang sama seperti rasa sakit fisik,” ucapnya.
Deborah Lee mengungkapkan, patah hati akan mengaktifkan pula sistem saraf simpatik dan parasimpatik, Pada kondisi normal, saraf tersebut biasanya akan saling mengimbangi. Sistem saraf simpatik bertanggung jawab atas respons tubuh ketika sedang berlari atau melawan sehingga detak jantung dan pernapasan menjadi cepat. Sementara sistem saraf parasimpatik bertanggung jawab ketika tubuh sedang beristirahat.
”Hormon yang dilepaskan saat patah hati mengaktifkan kedua bagian sistem saraf ini. Otak dan jantung, yang merespons jalur ini, menjadi bingung karena menerima pesan yang beragam,” katanya.
Detak jantung
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan gangguan pada aktivitas listrik jantung yang menyebabkan detak jantung menjadi lebih rendah. Jurnal Psikoneuroendokrinologi pada 2018 mengungkapkan, risiko kematian pada seseorang meningkat 41 persen pada enam bulan pertama sejak kehilangan suami ataupun istri.
Artikel lain yang terbit di Frontiers in Psychiatry pada 2019 mengungkapkan, orang dengan variabilitas detak jantung yang rendah akan menunjukkan gejala lain, seperti kelelahan, kecemasan, depresi, dan kurang tidur. Variabilitas detak jantung ini juga biasa digunakan untuk menilai keadaan klinis pada pasien yang mengalami depresi.
Pada beberapa kasus ditemukan pula terjadinya kondisi kardiomiopati takotsubo pada seseorang yang mengalami patah hati. Dari laman Kementerian Kesehatan dijelaskan, kardiomiopati takotsubo atau takotsubo cardiomyopathy merupakan penyakit jantung yang bermanifestasi dengan turunnya fungsi ventrikel jantung secara akut.
Kondisi itu dipicu oleh kondisi stres, baik fisik maupun emosional. Kondisi ini bersifat sementara dan biasanya akan membaik dalam jangka waktu tertentu. Gangguan ini juga dikenal sebagai sindrom patah hati.
Eric Ryden mengatakan, sekalipun patah hati terasa sangat menyakitkan bagi sebagian orang, rasa sakit tersebut bisa menjadi bentuk evolusi manusia agar bisa bertahan hidup. ”Risiko dan dampak patah hati dapat dianggap sebagai bagian dari dorongan untuk menemukan pasangan dengan keterikatan yang aman,” tuturnya.