Aku dan Kisah Klasik Patah Hati
Jadi, kalau kau putus cinta karena ditinggal kekasih yang memilih hidup dengan pasangan lain, hati-hati dengan dirimu sendiri.
Patah hati bisa jadi tragedi. Barangkali sudah jamak kau dengar dalam kenyataan hidup sehari-hari, seseorang mengakhiri hidupnya karena patah hati. Bahkan, dalam kisah klasik seperti Rama dan Sinta, patah hati telah memicu perang besar bernama Ramayana. Cinta Rahwana yang ditolak Sinta membuatnya nekat menculik perempuan pujaan rakyat Ayodhya. Perbuatan itu berakibat fatal: seluruh isi Kerajaan Alengka musnah diamuk oleh para kera dari Kerajaan Kiskenda yang mengabdi kepada Rama.
Dalam kisah Ramayana, kita mengenal tokoh protagonis bernama Hanoman, seekor kera putih berwujud manusia. Tokoh yang dikenal sebagai putra Dewa Bayu ini berhasil masuk ke bilik penyekapan Sinta dengan menyamar sebagai seekor lalat. Setelah berhasil membawa Sinta kembali ke Ayodhya, Hanoman tak tinggal diam. Bersama ratusan ekor kera, ia mengobrak-abrik Taman Asoka dan membakar Kerajaan Alengka. Pada akhirnya, Rahwana terbunuh dalam perang tanding melawan Rama.
Nenekku punya versi sendiri. Setiap kali mendongeng di saat-saat kami para cucunya menjelang tidur, ia selalu bilang Rahwana tidak mempan oleh senjata. Seberapa pun saktinya senjata yang dibidikkan oleh Rama, Rahwana selalu bisa bangkit kembali. Bahkan, ketika seluruh tubuhnya remuk, raja para raksasa itu selalu bisa bangkit kembali. Rama tak kehabisan akal. Setelah berhasil dilumpuhkan oleh satu bidikan anak panah Rama yang tepat menghujam dada Rahwana, Hanoman kemudian menerbangkannya. Tubuh Rahwana dijepit di antara mega-mega di atas ketinggian langit.
”Karena itu, kalau ada suara menggeram di langit, itu Rahwana sedang kesakitan atau sedang marah. Cepat-cepat kau pulang ke rumah, jangan berkeliaran di halaman.” Selalu begitu kata Nenek sebelum mengakhiri dongengnya. Anehnya, aku dan teman-teman sepermainanku percaya. Setiap kali langit menggeram, berarti Rahwana sedang marah, dan kemarahan itu bisa mengguntur menjadi petir yang menyambar-nyambar.
Oh ya, Nenek juga bilang, ”Hujan itu pertanda Rahwana sedang menangis kesakitan. Air matanya yang turun itu bisa membuatmu sakit. Jadi, jangan pernah bermain dalam hujan.” Aku juga percaya dongeng itu. Walau tentu saja harus menahan gairah bermain dalam air hujan, seperti yang anak-anak lain biasa lakukan.
Nenek yang patah hati sekaligus sakit hati memutuskan pulang kembali ke rumah. Sejak itu, ia tinggal bersama Kakekku, yang tak lain adalah adik kandungnya.
Setelah cukup besar, aku mendengar cerita bahwa Nenek pernah dicampakkan oleh (mantan) suaminya. Dalam usia pernikahan yang baru berjalan beberapa tahun, suaminya jatuh cinta lagi dengan perempuan lain. Nenek yang patah hati sekaligus sakit hati memutuskan pulang kembali ke rumah. Sejak itu, ia tinggal bersama Kakekku, yang tak lain adalah adik kandungnya. Nenek tak pernah menikah lagi. Ia memilih menemani para cucu, seperti diriku, sampai akhir hayatnya pada usia sekitar 80 tahun.
Baca Juga: Drupadi Terkapar di Jalanan Kota
Sejak itu pula aku mulai memahami bahwa patah hati sesungguhnya metafora populer untuk menyebut seseorang yang tengah mengalami sakit emosional. Penderitaan yang teramat dalam sehingga terkadang berdampak pada fisik dan psikis, bisa disebabkan oleh perasaan kehilangan yang mencabik-cabik hidupmu. Kehilangan itu bisa berupa kematian, penceraian, putus hubungan, atau penolakan rasa cinta.
Ketika mulai berjarak dari kehidupan dongeng, aku bertemu dengan kisah populer dalam lakon drama gong berjudul Jayaprana-Layonsari. Kisah ini amat populer dipentaskan mulai tahun 1960-an sampai era tahun 1980-an di panggung-panggung tradisional di pelosok-pelosok desa Bali. Pasca-tragedi 1965 yang menelan korban ratusan ribu jiwa, banyak rakyat yang membutuhkan hiburan. Sesungguhnya drama gong layak disebut sebagai wahana katarsis rakyat setelah didera kecamuk huru-hura.
Baca Juga: Hamlet Ketemu Miss Tjitjih
Struktur dramatik dalam drama gong terpengaruh oleh lakon-lakon yang dimainkan oleh kelompok sandiwara seperti Dardanella atau Miss Tjijih pada pertengahan tahun 1920-an. Cuma drama gong menggunakan bahasa Bali dan sebagian besar kisahnya berangkat dari kisah-kisah Panji. Agak berbeda dengan lakon Jayaprana-Layonsari, yang berangkat dari legenda lokal masyarakat Kalianget (Buleleng). Bahkan, jika kau berkunjung ke Bali belahan barat, kau bisa berziarah ke makam Jayaprana-Layonsari di sebuah perbukitan di sekitar Teluk Terima.
Lakon ini juga tentang patah hati yang menjadi tragedi. Raja Kalianget tak menduga kecantikan Layonsari telah menyihir hatinya. Ia ingin istri abdinya, Jayaprana, itu menjadi istrinya sendiri. Padahal, pernikahan Jayaprana-Layonsari dilakukan atas restu raja. Atas saran seorang patih bernama Saunggaling, raja memerintahkan Jayaprana untuk memadamkan sebuah kerusuhan di hutan dekat Teluk Terima. Tanpa menaruh curiga, Jayaprana berangkat bersama Saunggaling. Ketika tiba di tengah hutan, Saunggaling menikam Jayaprana dari belakang.
Tak lama setelah mendengar akal bulus raja, yang terus memaksa Layonsari menjadi pemaisurinya, perempuan putri seorang jro bendesa (pemuka adat) itu akhirnya bunuh diri. Raja yang frustrasi kehilangan Layonsari mengamuk. Ia membunuh siapa saja yang berada di dekatnya, sampai akhirnya rakyat menangkap dan membunuhnya.
Kapan pun kau mengunjungi Bali, coba sempatkan singgah di kompleks pemakaman Jayaprana-Layonsari. Di situ, cinta yang kekal abadi itu seolah ”dimuseumkan” berkelindan dengan kisah tragedi patah hati. Layonsari tak hanya marah, tetapi terguncang secara emosional kehilangan pasangan hidup yang dicintainya, Jayaprana. Oleh sebab itu, daripada hidup bersama seorang pembunuh, ia memilih melakukan aksi bunuh diri dengan menikam dadanya.
Lakon ini pernah dipanggungkan Teguh Karya bersama para awak Teater Populer tahun 1991. Para pemain teater kawakan, seperti Alex Komang dan Nungki Kusumastuti, terlibat penuh dalam pementasan ini. Toh begitu, seperti resensi pementasan yang ditulis Putu Wijaya dalam majalah Tempo, Jayaprana-Layonsari, tak berlari jauh dari kisah tragedi akibat patah hati.
Namun, konteks munculnya genre drama gong dengan lakon Jayaprana-Layonsari tepat di saat rakyat membutuhkan kanalisasi kebuntuan hidup.
Pementasan oleh Teater Populer bersama Teguh Karya ibarat menggali lubang baru, yang menambah dalam rasa kehilangan orang Bali. Kisah Jayaprana-Layonsari memang kisah tragedi romantis seperti juga kau bisa temukan pada lakon-lakon besar Romeo & Juliet dan Sampek Eng Tay. Namun, konteks munculnya genre drama gong dengan lakon Jayaprana-Layonsari tepat di saat rakyat membutuhkan kanalisasi kebuntuan hidup.
Tragedi 1965 telah meninggalkan lubang menganga yang sulit tersembuhkan. Bahkan, di masa sekarang, aku masih kerap mendengar penemuan kerangka manusia di dalam sumur-sumur warga atau pekuburan massal yang jauh di tegalan atau juga terdampar di pantai-pantai di wilayah Bali barat. Di sebuah rumah toko yang dulu bernama Toko Wong, dalam satu riset, aku masih menemukan sebuah sumur yang disakralkan oleh warga kota Negara. Setiap hari, warga sekitar menghaturkan sesaji di atas sumur yang telah ditutup itu.
Baca Juga: Kehilangan, yang Terampas dan yang Putus
Banyak warga tahu pasti bahwa di sumur itu terpendam kisah pilu yang membuat banyak orang kehilangan. Toh begitu, sejauh ini tak ada usaha untuk menyembuhkan diri dengan cara mencari tahu siapa saja yang terkubur secara sia-sia di sumur itu. Dan, kau harus tahu, banyak jenis semur serupa di sekitar Desa Mertasari atau Desa Baluk, yang masih di wilayah kota Negara. Sumur-sumur itu tak pernah digali lagi, bahkan ditututup rapat-rapat, seolah mengubur seluruh sejarah kehilangan yang pernah menghantam warga kota.
Tragedi memang sakit kalau dibuka kembali. Entah mengapa para penemu drama gong memasukkan kisah-kisah seperti Jayapara-Layonsari dan Sampek Eng Tay dalam lakon-lakon mereka. Aku masih ingat benar bagaimana kelompok-kelompok drama gong yang tersebar di seluruh wilayah Bali berlomba-lomba memainkan lakon-lakon itu. Lakon tragedi romantis itu bersanding dengan lakon sakral dan seram, seperti Calonarang. Namun, hanya sedikit kelompok yang berani mementaskan Calonarang, mengingat kisah ini menyangkut soal kekuatan batin yang harus dimiliki setiap pemainnya. Ada sesi mengundang siluman, seperti leak, agar hadir dan menjelmakan diri di atas panggung. Pada saat itulah biasanya terjadi adu kekuatan batin (ilmu sihir) antara pemain dan kawanan leak yang diundang.
Pasca-tragedi 1965 di kotaku, drama gong tidak hanya diperlakukan sebagai wahana hiburan, mengingat ketiadaan bentuk-bentuk hiburan lainnya, tetapi juga menjadi ruang katarsis rakyat. Kehilangan dan kemudian kebuntuan hidup harus mendapatkan saluran yang tepat untuk menghindari tragedi berikutnya.
Dalam satu perbincangan, penulis budaya dan cerpenis Gde Aryantha Soethama mengatakan, tanpa kehadiran drama gong, rakyat Bali pasti masih menderita. Drama gong, katanya, adalah bentuk populer dan fusion dari seni tradisi Bali dengan seni kontemporer. Ia tetap menggunakan gamelan dan berbahasa Bali, tetapi sangat terbuka untuk memainkan lakon-lakon saduran seperti Sampek Eng Tay. Karena bentuknya yang populer itu, bentuk kesenian ini mudah diterima rakyat pada saat dibutuhkan.
”Sekarang bentuk drama gong sudah tidak populer lagi karena rakyat sudah semakin berjarak dengan tragedi 1965,” kata Aryantha Soethama. Barangkali, tambahnya, rakyat membutuhkan kanal lain untuk menyalurkan keresahan hidup seperti di saat pandemi sekarang ini.
Jadi, kalau kau putus cinta karena ditinggal kekasih yang memilih hidup dengan pasangan lain, hati-hati dengan dirimu sendiri. Sejak masa klasik sampai masa postmodern disambung era post-truth sekarang ini, patah hati tetap bisa memancing tragedi. Sekuat apa pun pertahanan emosi dan fisik manusia, jika dilanda patah hati, beragam tindakan irasional bisa terjadi. Rahwana dan Raja Kalianget, yang dimabuk asmara dan kemudian patah hati, telah menghancurkan kerajaannya sendiri.
Sejak masa klasik sampai masa postmodern disambung era post-truth sekarang ini, patah hati tetap bisa memancing tragedi.
Sebaliknya, pasangan yang sedang dilanda cinta membara pun turut pula menjadi korban. Ketika mendengar Jayarapana terbunuh, Layonsari mengambil jalan pintas bunuh diri. Begitu pun saat tahu Juliet telah ”mati” dengan meminun racun, Romeo juga minum racun. Ketika tiba di makam Sampek, dalam satu perjalanan, Eng Tay memilih menceburkan diri ke dalam lubang kubur yang tiba-tiba menganga.
Di situ memang ada romantisisme terhadap kesetiaan dan cinta, tetapi toh kenyataan yang sampai kepada kita adalah kehilangan yang tragis. Aku jadi ingat lirik yang ditulis oleh Godfather of Broken Heart Didi Kempot dalam satu lagu legendaris berjudul ”Cidro”. //Wis sakmestine ati iki nelangsa/wong sing tak tresnani mblejani janji/Apa ora eling nalika semana/Kebak kembang wangi jeroning dada/Kepiye maneh iki pancen nasibku/Kudu nandang lara kaya mengkene/Remuk ati iki yen eling janjine/Ora ngira jebul lamis wae…//.
Kira-kira maksudnya: Sudah semestinya hati ini merana/Orang yang kusayang mengingkari janji/Apa tidak ingat waktu itu/Penuh bunga wangi di dalam dada/Bagaimana lagi, ini memang nasibku/Harus tersakiti seperti ini/Remuk hati ini jika ingat janjimu/Tak kukira ternyata hanya omong kosong…//.
Baca Juga: Sakitnya Patah Hati
Seterusnya aku tak berani melanjutkan, takut benar-benar membuat ”cidro”, cedera hati alias patah hati. Takut masa-masa terdampar di kota asing, yang jauh dari kampung halaman, mengundang rasa kehilangan yang dalam. Jadi, jika aku menuliskan patah hati dengan segenap perasaan, tak lain tak bukan karena pernah benar-benar merasakannya. Ia menghujam dada. Jadi, sakitnya itu di situ…. Khusus bagian ini, aku tak ingin menceritakan lebih jauh kepadamu. Cukup diwakili oleh persaaan Godfather of Broken Heart sehingga aku cukup kuat untuk menyelesaikan tulisan ini sampai di sini.
Baca Juga: Pandai ”Mengelola” Patah Hati