Janji Manis bagi Guru dan Dosen, Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Janji manis meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pendidik di negeri ini selalu diumbar saat tahun politik.
Tiap kali memasuki tahun politik, seperti pemilihan umum hingga pemilihan kepala daerah, janji manis menyejahterakan guru dan dosen guna memajukan sistem pendidikan nasional terus bergema, jadi bagian visi dan misi calon pemimpin negeri ini. Namun, hingga kini, janji manis ini belum sepenuhnya terwujud.
Guru honorer dengan gaji minim hingga rendahnya kompetensi guru masih mewarnai dunia pendidikan Indonesia di sejumlah daerah. Para guru dan dosen terus menjadi ”pahlawan tanpa jasa”, yang harus siap mengabdi dengan hati ikhlas, meski gaji tak sesuai kebutuhan hidup.
Bahkan, pendapatan yang seharusnya menjadi hak para pendidik pun sering kali tak dibayarkan. Tidak heran, profesi guru di Indonesia terbanyak yang terjerat pinjaman daring (online).
Hingga usai debat kelima Calon Presiden 2024 pada Minggu (4/2/2024) yang salah satunya membahas visi dan misi pendidikan, komitmen menyejahterakan guru dan dosen Indonesia tetap menjadi janji yang terucap dari calon presiden Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo.
Tidak elok jika membiarkan pendidik Indonesia bergaji rendah dan kesejahteraan terbelakang di tengah upaya membangun sumber daya manusia untuk mendukung terwujudnya Indonesia Emas 2045 dengan memanfaatkan bonus demografi.
Kesejahteraan, kompetensi, fasilitas pendidikan yang minim, dan beban administrasi yang menjadi penghambat kemajuan bagi pendidik dalam bekerja menjadi hal mendasar yang janjinya bakal dibenahi.
Baca juga : Di Debat Kelima, Tiga Capres Sepakati Pentingnya Guru Makin Sejahtera
Guru berdemonstrasi
Namun, hingga Sabtu (10/2/2024), berbagai kisah pilu mengenai tuntutan guru atas hak pembayaran gaji terus mencuat dari sejumlah daerah.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, La Nesa menuturkan, para guru mengadu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat karena pimpinan daerah tak membayar kekurangan gaji guru berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Sebanyak 363 guru PPPK mendapat surat keputusan pengangkatan pada 1 Juni 2023, tetapi gaji dibayar pada Oktober 2023. ”Gaji tiga bulan tidak dirapel. Pemkab tidak bersedia membayar kekurangan gaji guru yang rata-rata per bulan Rp 3 jutaan,” kata La Nesa.
Berdasarkan informasi dari Kompas.com, Kamis (8/2/2024), Bupati Sabu Raijua Nikodemus Rihi Heke terlibat adu mulut dengan perwakilan para guru yang berdemonstrasi beberapa waktu lalu. Sebab, tunjangan guru sekolah dasar dan sekolah menengah pertama belum dibayar sejak tahun 2021.
Ketua Advokasi Hukum PGRI Nusa Tenggara Timur Marthen Dillak menyatakan, tunjangan guru triwulan empat tahun 2021 sebanyak 344 guru, tunjangan nonsertifikasi guru empat bulan bagi 525 guru, dan tambahan penghasilan pegawai selama 12 bulan untuk 53 sekolah tidak dibayarkan. Totalnya Rp 17 miliar.
Di tempat lain, ribuan guru SD dan SMP di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, sejak April 2023 memperjuangkan hak mereka untuk sejahtera. Bahkan, para guru mogok mengajar.
Saat semua aparatur sipil negara (ASN) di daerah itu mendapat tambahan penghasilan pegawai (TPP) dari pemda, justru TPP guru yang sudah mendapat tunjangan profesi guru (TPG) dan tunjangan khusus nol. Bahkan, besaran TPP guru yang tak punya tunjangan di bawah petugas kebersihan dan keamanan.
”Kami para guru harus memperjuangkan nasib kami sendiri. Alasan pemda, guru tidak bisa diberi TPP karena sudah mendapat tambahan penghasilan dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tidak berdasar,” kata Julia Roli Sennang Banurea dari Komunitas Peduli Kehormatan Guru Kabupaten Sintang.
”Ketika alasannya tidak ada dana, kajian kami menemukan TPP untuk pejabat dan ASN lain justru naik. Ini sangat ironis, para guru tidak diperjuangkan kesejahteraannya oleh pemerintah daerah,” ungkapnya.
Tidak hanya guru, para dosen di negeri ini pun mengurut dada kala berbicara soal kesejahteraan. Dosen Universitas Indonesia, Kanti Pertiwi (Kompas.id, 1/5/2023). memaparkan, hasil survei pada 1.300 dosen menunjukkan, kepastian karier dan kesejahteraan dosen mengkhawatirkan.
Sekitar 91 persen dosen mengaku mendapat upah jauh dari layak, yakni Rp 2 juta sampai Rp 5 juta per bulan. Hanya 9 persen dosen memiliki upah di atas Rp 5 juta per bulan. ”Untuk mendapat tambahan penghasilan, mereka biasanya menjadi penjabat struktural atau membuka usaha dan mengajar di tempat lain,” ujarnya.
Sejauh ini kesejahteraan dosen belum jadi perhatian serius pemerintah. ”Hal ini terkait rendahnya budaya riset karena hasil penelitian tak langsung berdampak pada kesejahteraan. Ini tak seperti kalau jadi panitia yang dapat honor, konsultan, atau tenaga ahli. Lama-lama, dosen bisa menjadi sampingan,” kata Kanti.
Baca juga: Berjuang untuk Sejahtera di Tengah Tuntutan Menjadi Dosen ”Super”
Hal ini memunculkan berbagai fenomena gelap di dunia perguruan tinggi antara lain. Contohnya, gelar doktor dan guru besar kehormatan diobral pada pejabat, sedangkan dosen harus berjuang meningkatkan jenjang karier di kampus. Belum lagi integritas dalam riset dan penulisan jurnal ilmiah diwarnai plagiarisme.
Lebih miris lagi, Survei Penilaian Intergritas Pendidikan Tahun 2022 yang dilaksanakan Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, makin tinggi jenjang pendidikan, maka integritas yang tecermin dari karakter, ekosistem, dan kepatuhan justru semakin rendah.
Perguruan tinggi seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas. Namun, perilaku koruptif hingga plagiarisme masih sering dilakukan para pimpinan ataupun dosen di perguruan tinggi.
Potensial berlanjut
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru Satriwan Salim meyakini problem guru tak sejahtera dan kompetensinya rendah berpotensi berlanjut pada tahun-tahun mendatang. Sebab, semua kandidat presiden dinilai tidak punya tawaran inovatif mengatasi masalah yang diwariskan presiden sebelumnya.
Pemenuhan soal kekurangan hingga karir tenaga pendidik, misalnya, masih ditawarkan untuk diatasi lewat perekrutan skema PPPK. Padahal, demi martabat dan profesionalisme guru, status guru perlu diprioritaskan sebagai ASN hingga penetapan upah minimum guru lebih dari upah minimum daerah.
Baca juga: Guru Tangguh untuk Kemajuan Pendidikan Indonesia
Menurut peneliti The SMERU Research Institute, Asri Yusriana, dalam diskusi akhir tahun lalu, kemampuan guru berpengaruh pada kemampuan siswa. Hal ini mengacu pada hasil studi Research on Improving System on Education (RISE)-The SMERU Research Institute di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, yang melibatkan 67 guru honorer lulusan S-1 yang mengajar di SD.
Dari kajian kemampuan numerasi siswa, kemampuan guru yang baik bisa meningkatkan hasil belajar siswa. ”Pengajaran berdampak pada kemampuan anak, khususnya berkemampuan rendah. Hal ini diwujudkan lewat penguatan pembelajaran kemampuan dasar anak, terutama kelas bawah,” kata Asri.
Keberpihakan pada kesejahteraan dan mutu pendidik mampu meningkatkan kemampuan siswa di sejumlah negara, misalnya di Singapura.
Negara itu mencapai hasil Programme for International Student Assesment (PISA) atau Program Penilaian Pelajar Internasional 2023 teratas di dunia meski dilanda pandemi Covid-19. Singapura juga mampu menempatkan salah satu perguruan tingginya masuk top 10 dunia berdasarkan QS World University Ranking 2024.
Wakil Dekan, Praktikum, dan Kemitraan National Institute of Education Singapura Alexius Chia, beberapa waktu lalu, menuturkan, kemajuan pendidikan Singapura dicapai melalui pendekatan dari berbagai aspek.
Pengajaran berdampak pada kemampuan anak, khususnya berkemampuan rendah. Hal ini diwujudkan lewat penguatan pembelajaran kemampuan dasar anak, terutama kelas bawah.
Selain penyempurnaan kurikulum, pemerintah negara tersebut mengembangkan profesionalisme hingga kerangka kerja yang mendukung peningkatan kompetensi tenaga pendidik. ”Kualitas guru menjadi gambaran mutu sistem pendidikan,” tegas Alexius.