Capaian 10 Tahun JKN Masih Dibayangi Persoalan Klasik
Apresiasi diberikan dalam pelaksanaan program JKN selama 10 tahun terakhir. Akan tetapi, perbaikan masih diperlukan.
JAKARTA, KOMPAS — Tahun ini, program Jaminan Kesehatan Nasional tepat berusia sepuluh tahun atau satu dekade. Berbagai manfaat telah didapatkan oleh masyarakat luas dari adanya program tersebut. Akses kesehatan menjadi lebih mudah, baik dari segi pelayanan maupun pembiayaan. Namun, belum saatnya berpuas diri karena masih ada sejumlah perbaikan yang harus dilakukan.
Dalam waktu sepuluh tahun, jumlah masyarakat yang tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) semakin besar. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menunjukkan, jumlah peserta pada tahun 2014 sebesar 133,4 juta peserta dan meningkat menjadi 267,3 juta pada 2023. Jumlah itu sekitar 96 persen dari total penduduk Indonesia.
Selain itu, total pemanfaatan dari program JKN di masyarakat meningkat secara signifikan. Pada 2014, rata-rata total pemanfaatan layanan per hari 252.000 pemanfaatan, sementara pada tahun 2023 tercatat sampai 1,6 juta per hari. Dampaknya, biaya untuk jaminan kesehatan juga meningkat dari Rp 42,6 triliun pada 2014 menjadi Rp 158,8 triliun pada 2023. Setidaknya dalam sepuluh tahun program JKN berjalan, total beban jaminan kesehatan mencapai Rp 912,4 triliun.
Baca juga: Beban Biaya Kesehatan Masyarakat Berisiko Semakin Besar
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Agus Suprapto, Sabtu (10/2/2024), dihubungi di Jakarta, mengatakan, besarnya manfaat yang sudah didapatkan masyarakat dari keberadaan program JKN semakin memperkuat keyakinan bahwa keberlanjutan program JKN menjadi keniscayaan. Keberlanjutan dari program tersebut sekaligus menjadi wujud dari pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan setiap warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan negara wajib untuk menyediakannya.
”Program JKN merupakan salah satu cita-cita Pemerintah Indonesia dalam pemenuhan jaminan kesehatan yang keberlanjutan programnya perlu dikawal sesuai dengan amanat konstitusi. Keberlanjutan program JKN dapat dilihat dari upaya pemerintah untuk terus mencapai cakupan kesehatan semesta (UHC),” ujarnya.
Salah satu target capaian dari UHC ialah cakupan kepesertaan yang bisa mencapai 98 persen. Cakupan tersebut ditargetkan bisa tercapai pada tahun ini. Cakupan yang menyeluruh tersebut diharapkan sebagian besar penduduk Indonesia bisa terlindungi dengan program JKN.
Cakupan kesehatan semesta bukan hanya terkait kepesertaan, melainkan juga manfaat serta pembiayaan.
Agus menambahkan, pelaksanaan program JKN telah mengalami banyak kemajuan selama ini. Berbagai inovasi telah dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk perbaikan. Hal itu termasuk inovasi dan digitalisasi yang dihasilkan, seperti program Pesiar, I-care JKN, Mobile JKN, dan program digitalisasi lainnya yang masih terus berkembang.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Ghufron Mukti menuturkan, sistem inovasi yang dibangun semakin baik telah berdampak pula pada lama waktu antrean peserta di fasilitas kesehatan.Jika pada awal program berjalan, lama antrean sempat dikeluhkan hingga lebih dari enam jam. Saat ini, lama antrean rata-rata sekitar 2,5 jam.
”Perbaikan memang masih harus terus dilakukan. Namun, dengan fasilitas kesehatan yang masih terbatas, baik jumlahnya, alatnya, maupun sumber daya manusianya, waktu antrean pasti masih ada. Untuk mengatasi hal itu, kami sudah berinovasi lewat antrean online. Jadi, mengantre bisa dari mana saja,” tuturnya.
Fasilitas kesehatan
Ia menambahkan, kehadiran program JKN turut mendorong pertumbuhan ekosistem kesehatan di Indonesia yang lebih baik. Akses kesehatan bagi masyarakat saat ini semakin luas. Setidaknya hal itu dapat dilihat dari jumlah fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Pada 2014, jumlah fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut yang bekerja sama baru 1.681 fasilitas kesehatan. Jumlahnya kemudian meningkat menjadi 3.120 fasilitas pada tahun 2023. Selain itu, jumlah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama sebesar 18.437 fasilitas pada 2014, kemudian meningkat menjadi 23.639 fasilitas pada 2023.
Meski begitu, Ghufron mengatakan, sekalipun jumlah fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan semakin banyak, ketersediaan fasilitas kesehatan yang belum merata masih menjadi tantangan dalam pelayanan. Kesenjangan juga masih dihadapi oleh sejumlah peserta, terutama kesenjangan antara peserta di kota besar dan daerah terpencil.
”Di Indonesia ini terdiri dari banyak pulau dengan perkembangan infrastruktur yang berbeda-beda. Hal itu menyebabkan akses di masyarakat masih mengalami kesenjangan. Namun, yang perlu dipahami, fasilitas kesehatan itu sebagai supply side bukan tanggung jawab BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan tugasnya di demand side yang menjamin masyarakat tidak kesulitan keuangan ketika mengakses pelayanan,” ujarnya.
Baca juga: Mitigasi Defisit JKN
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya mengatakan, program JKN melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Kementerian Kesehatan. Salah satu tugas utama dari Kementerian Kesehatan ialah meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan.
Terkait mutu, ia menyampaikan, akreditasi yang dilakukan secara berkala oleh Kementerian Kesehatan menjadi upaya untuk menjaga mutu layanan dari setiap fasilitas kesehatan. Dalam penilaian akreditasi, setiap fasilitas kesehatan harus memenuhi standar yang sudah ditentukan.
Upaya lain untuk menjaga mutu dari fasilitas kesehatan juga dilakukan oleh BPJS Kesehatan melalui proses kredensial. Dalam penilaian tersebut akan dinilai apakah fasilitas kesehatan memenuhi standar pelayanan, standar klinis, pemberian obat, dan kepuasan dari pasien.
Azhar mengatakan, keterbatasan akses pada fasilitas pelayanan kesehatan memang masih menjadi tantangan yang dihadapi selama ini. Keterbatasan tersebut semakin nyata dialami oleh masyarakat di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK).
”Kita tidak menafikan masih ada daerah-daerah yang aksesnya masih terhambat. Namun, kita coba jembatani ini dengan adanya telemedisin (pengobatan jarak jauh). BPJS Kesehatan juga sudah menyiapkan skema pembayaran untuk masyarakat yang berobat dengan telemedisin,” katanya.
Ia menambahkan, kerja sama dengan rumah sakit bergerak, seperti rumah sakit apung dan rumah sakit terbang. Upaya-upaya tersebut dilakukan agar masyarakat yang berada di daerah yang sulit terjangkau tetap bisa terlayani lewat program JKN.
Perbaikan
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan, secara keseluruhan pelaksanaan program JKN telah berjalan baik. Program JKN sudah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat. Akses layanan kesehatan juga tidak lagi tersegmentasi, dari yang sebelumnya dilayani melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), serta Asuransi Kesehatan (Askes).
”Dengan adanya program JKN yang tidak lagi tersegmentasi ini, menjadi sangat penting karena seluruh masyarakat punya akses pada pembiayaan kesehatan. Tidak ada lagi masyarakat yang takut ke rumah sakit karena tidak punya biaya,” katanya.
Akan tetapi, capaian yang telah diraih saat ini masih menyisakan persoalan klasik yang harus diperbaiki. Persoalan tersebut khususnya pada aspek kepesertaan, aspek manfaat dan pelayanan, serta pembiayaan. Ketiga aspek itu pula yang sebenarnya menjadi target yang harus dicapai dalam UHC. Cakupan kesehatan semesta bukan hanya terkait kepesertaan, melainkan juga manfaat serta pembiayaan.
Timboel mengatakan, pada aspek kepesertaan, masih ada penduduk miskin yang belum terjamin dalam program JKN. Menurut aturan, jumlah penduduk miskin yang dijamin oleh pemerintah sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebesar 113 juta peserta, tetapi kini baru 96,8 juta orang. Selain itu, pekerja yang seharusnya menjadi peserta penerima upah (PPU) juga masih banyak yang belum didaftarkan oleh si pemberi kerja. Perlindungan bagi kelompok PPU yang mendapatkan pemutusan hubungan kerja ataupun kontrak kerja yang habis juga seharusnya diberikan setidaknya enam bulan dalam bentuk pembayaran iuran jaminan kesehatan.
”Kepesertaan pun perlu dilihat secara keseluruhan. Kenyataannya, dari 260 juta peserta, masih ada sekitar 50 juta peserta tidak aktif. Peserta yang tidak aktif ini sama saja tidak mendapatkan perlindungan karena ia tidak bisa mengakses layanan kesehatan lewat jaminan program JKN,” tutur Timboel.
Baca juga: Pekerja Migran di Program JKN
Ia menuturkan, pada aspek pelayanan masih ditemukan akses kesehatan yang belum merata, ketersediaan obat yang tidak selalu tersedia, serta masih ada biaya-biaya lain yang harus dibayar oleh peserta. Pada aspek pembiayaan, kondisi keuangan dana jaminan sosial yang sudah membaik harus terus dipertahankan. Risiko defisit masih bisa terjadi jika pembiayaan dalam program JKN tidak dijaga dengan baik.
Berdasarkan catatan BPJS Kesehatan, keuangan dana jaminan sosial kesehatan per 31 Desember 2023 menunjukkan kondisi yang baik. Tercatat ada Rp 57,76 triliun aset bersih dana jaminan kesehatan. Jumlah itu setidaknya mencukupi untuk 4,36 bulan estimasi pembayaran klaim ke depan.
Kondisi tersebut dinilai amat baik. Sebab, sejak awal program JKN diluncurkan hingga tahun 2020, selalu menunjukkan kondisi defisit. Bahkan, pada 2019 tercatat defisit dana jaminan sosial kesehatan mencapai Rp 51 triliun.
”Evaluasi (besaran) iuran seharusnya dilakukan setiap dua tahun sekali. Sementara iuran pada peserta JKN terakhir kali dilakukan pada 2019. Artinya sudah hampir lima tahun belum ada penyesuaian iuran. Kenaikan iuran harus dilakukan untuk menjaga keberlangsungan program JKN, sekaligus memperkuat upaya pencegahan terjadinya fraud yang juga bisa mengancam pembiayaan kesehatan kita,” katanya.
Agus menambahkan, tantangan yang juga masih dihadapi dalam penyelenggaraan program JKN yaitu perlindungan pada pekerja migran Indonesia (PMI) dan penduduk lansia yang jumlahnya diperkirakan semakin meningkat. ”Kolaborasi dan kerja sama yang intens dari seluruh kementerian dan lembaga terkait sangat dibutuhkan agar komitmen pemerintah untuk memberikan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan efektif bisa terwujud,” ujarnya.