Peluit Cendekia Mengingatkan Penguasa
Akademisi berseru agar penguasa menegakkan demokrasi dan tidak mengabaikan etika. Ini bukan cuma suara, tapi peringatan.
Dalam sepekan terakhir, sivitas akademika dari puluhan kampus di Tanah Air menyuarakan kegelisahan terhadap kondisi bangsa. Seruan itu ibarat peluit yang ditiupkan para cendekia untuk mengingatkan penguasa agar kembali ke jalur demokrasi dan menjunjung tinggi etika.
Saat pemungutan suara Pemilu 2024 semakin dekat, kegelisahan yang disuarakan para guru besar, dosen, dan mahasiswa juga menguat. Beragam petisi keprihatinan terhadap proses berdemokrasi digaungkan dari kampus ke kampus. Tudingan yang menyebut aksi ini sebagai gerakan politik partisan tidak menyurutkan gelombang seruan moral tersebut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Melalui Petisi Bulaksumur, Rabu (31/1/2024), sivitas akademika Universitas Gadjah Mada menyerukan ajakan kembali ke jalan demokrasi kepada Presiden Joko Widodo serta aparat penegak hukum, pejabat negara, dan aktor politik. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (2/2/2024), akademisi Universitas Lambung Mangkurat mengingatkan pentingnya etika berdemokrasi.
Sementara sejumlah guru besar Universitas Indonesia menyampaikan pesan kebangsaan bertajuk ”Genderang Universitas Indonesia Bertalu Kembali”. Mereka terpanggil untuk membangkitkan asa dan memulihkan demokrasi yang terkoyak. Di Bandung, Jawa Barat, akademisi Universitas Padjadjaran, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Institut Teknologi Bandung secara terpisah meminta para penguasa menjalankan demokrasi yang bermartabat.
Baca juga: Seruan dari Kampus Terus Bergulir
Seruan dengan nada serupa juga mengalir dari kampus di berbagai penjuru negeri, di antaranya Universitas Khairun Ternate, Universitas Andalas, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Universitas Hasanuddin, dan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia. Ada juga Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta, Universitas Malikussaleh, Universitas Airlangga, dan Universitas Sumatera Utara.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Cecep Darmawan mengatakan, munculnya petisi keprihatinan tersebut membuktikan kampus mencermati kondisi kebangsaan. Menurut dia, kampus tidak boleh buta kondisi politik karena mempunyai tanggung jawab moral terhadap kehidupan bangsa.
Saat pemungutan suara Pemilu 2024 semakin dekat, kegelisahan yang disuarakan para guru besar, dosen, dan mahasiswa juga menguat. Beragam petisi keprihatinan terhadap proses berdemokrasi digaungkan dari kampus ke kampus.
Oleh karena itu, para akademisi tidak tinggal diam ketika melihat praktik kekuasaan menjauh dari rambu-rambu demokrasi. Etika berdemokrasi mesti ditegakkan ketika kekuasaan dijalankan secara ugal-ugalan.
”Seruan-seruan ini merupakan kegelisahan bersama akan kondisi berdemokrasi yang sudah lampu kuning. Kampus bersuara untuk mengingatkannya. Gerakan ini panggilan moral, bukan gerakan politik praktis,” ujarnya, Selasa (6/2/2024).
Seruan keprihatinan dari sejumlah perguruan tinggi menjadi akumulasi dari berbagai ketidakpuasan atau kekecewaan. Salah satunya adalah pernyataan Presiden Jokowi bahwa presiden boleh berkampanye dan memihak.
Sebelumnya, muncul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berujung pada putusan etik pelanggaran berat terhadap Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, yang juga paman Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi. Putusan ini membuka jalan untuk Gibran maju dalam kontestasi sebagai calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.
Cecep menuturkan, melalui berbagai seruan, para sivitas akademika sedang menyuarakan keresahan masyarakat. Sebab, beberapa praktik kekuasaan dinilai telah melenceng dari prinsip demokrasi dan etika.
”Siapa yang nanti jadi presiden, itu rakyat yang menentukan. Namun, yang kita pedulikan adalah bagaimana prosesnya dilakukan secara demokratis, tanpa kecurangan, dan tidak melanggar etika,” ucapnya.
Kritik cendekiawan terhadap kekuasaan bukanlah fenomena baru. Momentumnya juga tidak melulu saat pemilu atau suksesi kepemimpinan. Saat kekuasaan bergeser dari relnya, di situlah suara kaum intelektual mulai terdengar untuk mengingatkannya.
Pada 1913, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hadjar Dewantara, yang kelak menjadi Bapak Pendidikan Nasional, menulis artikel berjudul ”Seandainya Aku Seorang Belanda”. Tulisan itu merupakan sindiran atau kritik terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang sedang merancang perayaan satu abad kemerdekaan negerinya secara besar-besaran di negara yang dijajahnya dengan memungut biaya dari rakyat yang dijajahnya.
Saat Orde Lama, kaum intelektual gencar melancarkan kritik pada penguasa. Salah satunya terhadap Ketetapan MPRS Nomor III Tahun 1963 yang menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Sebelum lengser dari jabatannya pada 1967, Bung Karno juga banyak dikritik oleh mahasiswa.
Tindakan represif pemerintahan Orde Baru juga tidak mampu ”membunuh” kekritisan kaum intelektual. Meski sering dibubarkan, mahasiswa dan dosen menyerukan protesnya melalui mimbar akademik di kampus-kampus.
Menara api dan air
Cecep mengatakan, perguruan tinggi atau kampus merupakan salah satu benteng moralitas. Oleh karena itu, para sivitas akademika perlu menyalakan alarm saat terjadi pelanggaran etika atau prinsip demokrasi. Jadi, kampus bukan menara gading yang terasing dari realitas sosial dan politik.
”Kampus justru harus jadi menara api yang menerangi dalam kegelapan dan jadi menara air yang mengalirkan kejernihan. Seruan dari kampus ini bukan masalah berani atau takut. Namun, menangkap kegelisahan masyarakat lalu menyuarakannya,” jelasnya.
Presiden Jokowi menanggapi petisi dari berbagai perguruan tinggi tersebut sebagai hak berdemokrasi. ”Ya, itu hak demokrasi, setiap orang boleh berbicara, berpendapat. Silakan,” kata Presiden Joko Widodo saat menjawab pertanyaan awak media di sesi keterangan pers seusai membuka Kongres XVI GP Ansor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat.
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menuturkan, kampus merupakan bagian dari sistem kontrol terhadap kekuasaan. Peran itu semakin sentral ketika oposisi menyusut sehingga pengawasan melemah.
Menurut dia, seruan keprihatinan yang menjalar dari kampus ke kampus tidak terjadi secara tiba-tiba. Hal ini merupakan akumulasi dari praktik-praktik kekuasaan yang mengecewakan masyarakat.
Baca juga: Memahami Kegelisahan di Balik Gelombang Seruan Para Akademisi
”Tidak ada pilihan lain bagi kampus selain meresapi spirit publik untuk melakukan kontrol atas kekuasaan yang dijalankan secara ugal-ugalan. Pada bagian ini, kampus memang mesti mengambil peran untuk mengingatkan penguasa tentang etika,” ujarnya.
Halili menuturkan, seruan dari kampus lewat petisi tersebut lebih banyak tidak mewakili kelembagaan perguruan tinggi. Sebab, kampus juga tersandera oleh berbagai kepentingan. Mekanisme pemilihan rektor, misalnya, tidak dilakukan mandiri oleh perguruan tinggi, tetapi melibatkan pemerintah pusat melalui menteri pendidikan sebagai pemegang hak pilih sebesar 35 persen.
”Banyak juga di kampus yang sudah ditundukkan. Namun, masih ada oknum-oknum guru besar, dosen, dan mahasiswa yang bersuara sebagai tanggung jawab moral mereka sebagai intelektual,” ucapnya.
Saat dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran etika dalam kontestasi politik mencuat, seruan untuk menyelamatkan demokrasi pun kian menderu. Suara para sivitas akademika terus menggema mengetuk hati penguasa agar kehidupan berdemokrasi bangsa kembali ke jalurnya.