Karut-marut Pengelolaan Guru yang Belum Juga Berakhir
Pembenahan tata kelola guru secara serius dan holistik mendesak dilakukan guna meningkatkan mutu pendidikan.
Desentralisasi pendidikan dari pusat ke daerah di era otonomi daerah, terutama terkait guru, belum juga mampu membereskan karut-marut tata kelola guru. Mulai dari perekrutan, distribusi, perlindungan, hingga peningkatan kualitas guru masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.
Pengangkatan 1 juta guru aparatur sipil negara berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (ASN PPPK) pada tahun ini diklaim bakal terpenuhi. Pengangkatan guru non-ASN untuk memenuhi kekurangan guru di sekolah-sekolah negeri hingga tahun 2023 mencapai hampir 800.000 guru. Kuota pada 2024 disediakan 419.146 formasi guru PPPK.
Di atas kertas program Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tampak berhasil mengangkat status dan kesejahteraan banyak guru honorer. Merekalah yang selama ini memperjuangkan nasib di tengah pengabdian bagi anak negeri. Penantian guru hingga belasan tahun menjadi guru honorer dengan gaji ala kadarnya untuk memiliki harkat dan martabat sebagai guru profesional sebagian mulai terjawab dengan tetap menyisakan karut-marut.
Baca juga: Menanti Janji Penataan Guru yang Lebih Baik
Belasan perwakilan guru honorer yang masuk kategori prioritas 1 (P1) karena sudah lulus nilai ambang batas, tetapi sejak 2021 tidak mendapatkan penempatan, dalam pekan ini hingga Rabu (17/1/2024), secara bergantian mendatangi Kantor Kemendikburistek, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Komisi X DPR. Mereka mengirimkan papan bunga dengan ucapan apresiasi dan terima kasih, memberikan sekuntum bunga mawar dan lukisan hitam-putih, hingga membawa hasil kebun, seperti pete dan pisang, untuk diberikan kepada para pejabat dan wakil rakyat.
Para guru yang tergabung di Forum Guru Honorer Negeri Lulus Passing Grade Seluruh Indonesia (FGHNLPSI) ini datang dari Banten, Bekasi, Pemalang, Lampung, hingga Sumatera Utara. Mereka mewakili para guru P1 yang sudah diangkat bertahap ataupun yang masih tersisa.
”Kami mau menyampikan apresiasi karena perjuangan dan aspirasi kami untuk mendapatkan penempatan diwujudkan. Sekaligus kami tetap memperjuangkan sekitar 12.000 guru P1 yang masih tersisa supaya pada 2024 ini semuanya diangkat,” kata Heti Kustrianingsih, Ketua Umum FGHNLPSI.
Penantian Heti lolos menjadi guru PPPK tahun 2023 belum juga berujung manis. Dia menjadi guru honorer di sekolah negeri. Saat lulus tes karena melampaui nilai ambang batas tahun 2021, banyak guru yang tidak mendapat penempatan. Dia terpaksa keluar sebagai guru honorer dan menganggur sekitar tiga bulan. Lalu, melamar ke sekolah swasta, tetapi kemudian harus berhenti.
Namanya diumumkan lolos sebagai guru PPPK formasi tahun 2023 oleh Pemerintah Kabupaten Serang, Banten. Namun, hingga saat ini sekolah tempat dia bertugas belum juga diumumkan.
”Informasi yang kami dapat masih menunggu dari pusat karena ada perubahan surat keputusan,” ujar Heti yang terus mencoba bersabar.
Dianggap beban
Guru honorer NI yang mengajar Matematika di SMP negeri di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, masuk kategori P1 tahun 2021. Hingga seleksi tahun 2023 ia belum juga mendapat penempatan dan dihinggapi ketidakpastian.
”Kami tidak tahu juga bagimana nasib selanjutnya. P1 di Kabupaten Takalar masih ada 400-an guru, tetapi tidak juga dibuka formasi. Tahun ini juga katanya tidak buka formasi lagi karena anggaran tidak ada. Guru makin resah karena beredar video ada pernyataan seorang pejabat bahwa guru PPPK jadi beban daerah,” ujar NI. Ia mendapat gaji dari dana bantuan operasional sekolah dengan honor Rp 8.000–10.000 per jam.
Pekerjaan rumah menempatkan lebih dari 12.000 guru P1 masih dinanti. Namun, persoalan lain tetap bermunculan satu per satu meskipun pemerintah mengaku berupaya adil dan membuat kebijakan terbaik bagi kepentingan guru dan pendidikan anak bangsa.
Justru mereka yang sibuk berjuang mendapatkan sekolah yang dapat menerima mereka mengajar.
Lulusan pendidikan profesi guru (PPG) prajabatan yang dibanggakan sebagai guru masa depan untuk menghadirkan guru bermutu dan profesional nyatanya tidak demikian. Padahal, mereka ini mendapat beasiswa untuk menjadi guru muda yang memenuhi syarat memiliki sertifikat pendidik.
SM yang lulusan PPG prajabatan tahun 2022 dari Universitas Negeri Semarang berhasil menjadi guru PPPK seusai ikut seleksi dari jalur pelamar umum tahun 2023. ”Saya dapat formasi guru kelas, padahal S-1 lulusan Pendidikan Geografi dan PPG Pendidikan Geografi,” ujar SM.
Di jalur umum, SM bersaing dengan guru honorer sekolah negeri yang masuk data pokok pendidikan (dapodik) kurang dari tiga tahun dan guru swasta. ”Lulusan PPG tidak ada jaminan lulus. Hanya dengan sertifikat pendidik, kami dapat afirmasi 100 persen pada kompetensi teknis, yaitu nilai 450. Jadi, kami hanya memaksimalkan pada tes kompetensi manajerial, sosiokultural, dan wawancara. Kami diperlakukan sama seperti pelamar umum lainnya,” kata SM yang ditempatkan di daerah tempat tinggalnya di Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Luciana, Research Associate dari Tanoto Foundation, mengatakan, generasi muda yang mau menjadi guru dan mendapatkan kesempatan PPG prajabatan harus dihargai. Mereka juga mesti ada kejelasan setelah lulus akan mendapat penempatan lokasi sekolah. Apalagi, investasi negara pada calon guru di PPG prajabatan besar, tetapi saat lulus tidak disiapkan kejelasan karier mereka.
”Justru mereka yang sibuk berjuang mendapatkan sekolah yang dapat menerima mereka mengajar,” kata Luciana.
Persoalan lainnya, para guru adu argumentasi soal kebijakan linearitas. Banyak lulusan pendidikan guru sekolah dasar (PGSD) yang mengaku tersingkir karena linearitas guru bahasa Inggris yang justru diprioritaskan menjadi guru kelas. Ada pula kebijakan linearitas yang sudah direstui Kemendikbudristek, tetapi tidak diimplementasikan oleh pemerintah daerah.
Baca juga: Tahun 2024, Rekrutmen Guru PPPK Tetap Prioritas
”Guru kelas kini diisi dari segala jurusan. Tolong hapus kebijakan linearitas yang tidak sejalan dengan UU Guru dan Dosen. Banyak lulusan pendidikan guru SD yang lebih kompeten yang tidak diakomodasi,” ujar seorang guru.
Naik status menjadi guru PPPK memang disyukuri banyak guru karena persaingannya ketat. Namun, muncul keluhan soal penempatan sekolah yang sangat jauh dari domisili. Para guru terbebani karena biaya hidup yang makin mahal dan kenyamanan kerja yang terusik.
”Kami minta supaya penataan guru sesuai domisili agar para guru bekerja fokus dan bahagia agar tujuan pemerintah membenahi guru juga tercapai,” ujar guru lainnya.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek Nunuk Suryani mengatakan, pemerintah berkomitmen menyelesaikan pengangkatan guru PPPK untuk meningkatkan kualitas pendidikan serta membuat profesi guru bermartabat dan membanggakan. ”Jadi, tidak ada lagi guru non-ASN, mereka mendapatkan gaji layak. Kalau sudah menjadi ASN PPPK, ada akselerasi bagi pendidikan profesi guru dalam jabatan sehingga guru mendapat gaji dan tunjangan sertifikasi guru. Peningkatan kesejahteraan dan kejelasan jenjang karier ini agar guru semakin fokus pada kualitas pembelajaran,” tutur Nunuk.
Nunuk mengatakan, tahun 2024 terakhir ada guru non-ASN di sekolah negeri. ”Tidak boleh ada guru honorer di satuan pendidikan negeri. Seharusnya, kan, November tahun 2023, tetapi diperpanjang. Beban untuk menjadikan guru non-ASN sebagai PPPK kami harapkan bisa lunas tahun ini. Jadi, kami terus berupaya untuk bisa melakukan seleksi secara maksimal sesuai formasi,” kata Nunuk.
Resentralisasi guru
Persoalan guru di sejumlah daerah yang karut-marut dari tahun ke tahun memunculkan pertimbangan pemerintah pusat agar tata kelola guru kembali ditarik ke pusat. Kewenangan pengelolaan guru yang didesentralisasikan ke pemerintah daerah sampai saat ini dinilai belum mampu menuntaskan berbagai masalah yang membelenggu guru, baik menyangkut kuantitas maupun kualitas guru.
Padahal, kecukupan dan kualitas guru di sekolah-sekolah penting untuk memastikan layanan pendidikan bermutu bagi semua anak bangsa. Pertimbangan untuk menarik kembali tata kelola guru ke pemerintah pusat pun kembali diwacanakan pemerintah.
Kewenangan mengelola guru ada di pemerintah daerah (pemda) sesuai UU Otonomi Daerah, kecuali guru-guru madrasah tetap dikelola pemerintah pusat lewat Kementerian Agama (Kemenag). Adapun untuk guru pendidikan anak usia dini (PAUD), SD, SMP, dan sekolah luar biasa (SLB) oleh pemerintah kabupaten/kota, sedangkan SMA/SMK oleh pemerintah provinsi.
Deputi Bidang Pembangunan, Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas) Amich Alhumami mengatakan, hingga saat ini masalah pendistribusian guru, termasuk yang penting peningkatan mutu guru, belum seperti yang diharapkan. Padahal, dengan kewenangan pemda, distribusi guru seharusnya dapat berjalan baik. Namun, kondisi saat ini ada yang kekurangan guru dan ada yang kelebihan. Hal ini karena distribusi atau pemerataan guru di dalam satu daerah tidak optimal.
Dengan pendataan yang dilakukan pemerintah pusat oleh Kemendikbudristek lewat dapodik, pemetaan guru dapat dilakukan hingga ke guru mata pelajaran. Termasuk juga mengetahui kondisi sekolah dan daerah yang kurang/berlebih guru dan kebutuhan pengganti guru pensiun. Dengan demikikian, penegelolaan kembali oleh pemerintah pusat dinilai lebih efektif dan tepat. Apalagi hal ini juga berkaitan dengan kapasitas perekrutan kepegawaian secara nasional oleh pemerintah yang diajukan kementerian/lembaga terkait.
Meskipun mendukung tata kelola kembali ke pemerintah pusat, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru Satriwan Salim mengingatkan perlu kajian yang serius.
”Perlu dikritisi juga dampak tata kelola guru dilakukan pemerintah pusat kembali pada harapan peningkatan kualitas pendidikan. Sebab, tata kelola guru-guru madrasah oleh pemerintah pusat lewat Kemenag ternyata tidak signifikan juga membawa perbaikan atau perubahan, termasuk guru honorer menjadi persoalan laten, seperti ketika diatur pemda,” kata Satriwan.