Merusak Lingkungan, Hilirisasi Industri Nikel Perlu Dievaluasi
Hilirisasi nikel di Halmahera dinilai melanggar hak asasi manusia, menyebabkan deforestasi, dan pencemaran lingkungan.
JAKARTA, KOMPAS — Hilirisasi nikel di Indonesia perlu dievaluasi. Sebab, alih-alih menjadi energi terbarukan sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik, proses produksinya justru tidak berkeadilan dan merusak lingkungan. Para pasangan calon presiden dan wakil presiden harus menjadikan isu ini sebagai hal urgen.
Laporan Climate Right International (CRI) yang dirilis pada 17 Januari 2024 menunjukkan, kompleks industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera, Maluku Utara, telah melanggar hak asasi manusia, menyebabkan deforestasi, hingga pencemaran udara dan air.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Masyarakat dari awal tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), tanah mereka diambil tanpa persetujuan dan kompensasi ganti untung.
Selain itu, industri nikel mengoperasikan lima unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan akan membangun hingga 12 unit untuk daya menjalankan smelter peleburan nikelnya dengan total 3,78 gigawatt (GW) per tahun untuk industri nikel. PLTU luar jaringan ini menghasilkan gas rumah kaca yang besar karena batubara yang digunakan berkualitas rendah dari Kalimantan.
Pencemaran udara diperparah dengan hilangnya 5.331 hektar hutan tropis yang ditebang dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera. Ini menyebabkan sekitar 2,04 metrik ton gas rumah kaca yang sebelumnya bisa diserap hutan terlepas begitu saja ke udara.
Ekosistem sungai dan laut sebagai sumber mata pencarian masyarakat juga rusak karena sistem pengolahan limbah yang tidak sesuai. Irigasi pertanian dan sumber air bersih pun tercemar limbah, masyarakat kian sulit untuk hidup.
”Kurangnya transparansi dan keterbukaan informasi dari perusahaan dan Pemerintah Indonesia semakin memperburuk keadaan,” kata peneliti CRI, Krista Shennum, saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (17/1/2024).
Selama ini tidak pernah ada evaluasi. Jika terjadi pelanggaran, tidak pernah disanksi. Ini harus dijawab oleh ketiga kandidat.
CRI sudah menyerahkan laporan yang dikerjakan setahun ini ke perusahaan nikel, kementerian dan lembaga terkait, Kedutaan Besar China di Indonesia, Kedubes Amerika Serikat di Indonesia, dan pihak terkait lainnya, seperti ke perusahaan kendaraan listrik, seperti Tesla, Ford, dan Volkswagen, sebagai pengguna. Namun, semua tidak menjawab atau memberi sikap konkret untuk menindaklanjuti.
Pada September 2023, tim Jelajah Laut Papua Maluku Kompas juga pernah melakukan pengujian air laut di Teluk Weda, Halmahera Tengah, dan Teluk Buli, Halmahera Timur, keduanya di Provinsi Maluku Utara. Sampel yang diuji di laboratorium PT Advanced Analytics Asia Laboratories di Jakarta ini menunjukkan, kandungan krom heksavalen (Cr), nikel (Ni), dan tembaga (Cu) melebihi ambang baku mutu yang diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Baca juga: Perairan Halmahera Tercemar Logam Berat
PT IWIP mengklaim, pemantauan secara reguler dilakukan dengan melibatkan laboratorium lingkungan terakreditasi dan terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). PT IWIP juga telah memasang alat pemantauan kualitas air yang terkoneksi langsung dengan server KLHK.
Kemudian, IWIP mengaku telah mengelola lingkungan dan memantaunya rutin setiap enam bulan pada aspek geofisika dan kimia dengan total mencapai lebih dari 200 titik lokasi pemantauan.
”Untuk nelayan, area sekitar kawasan telah kami jaga agar tidak berpengaruh secara signifikan ke laut yang masuk dalam kawasan industri, di antaranya dengan membuat kolam sedimen dan adanya silt curtain pada muara yang ada di area IWIP,” tulis pihak manajemen dalam keterangan tertulis (Kompas, 7/11/2023).
Evaluasi hilirisasi
Direktur Eksekutif CRI Brad Adams menambahkan, temuan ini mengisyaratkan pentingnya evaluasi semua bentuk hilirisasi industri di Indonesia, terutama industri energi terbarukan yang sering berlindung di balik label industri penghasil energi ramah lingkungan. Pengawasan dan penegakan sanksi harus tegas agar tujuan utama dari peralihan ke energi terbarukan bisa terwujud.
Namun, dia pesimistis hal itu bisa terwujud dengan kondisi hari ini. Sebab, di Indonesia, konflik kepentingan sangat kental dengan terlibatnya beberapa pejabat pemerintah sekaligus pebisnis, serta kasus korupsi yang juga belum terselesaikan hingga ke level pemerintah daerah terkecil.
”Kekuatan Pemerintah Indonesia untuk mengatur investor masih lemah, semua diberi jalan yang terbuka lebar. Pebisnis merangkap politisi sudah sangat awam di sini,” kata Brad.
Baca juga: Kisah Para Perempuan Tangguh Penakluk Ombak dari Kepulauan Maluku
Masalah hilirisasi semu ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024. Para calon wakil presiden yang akan berdebat edisi keempat pada Minggu (21/11/2024) dengan tema energi, sumber daya alam, sumber daya manusia, pajak karbon, lingkungan hidup dan agraria, serta masyarakat adat harus bisa memberi jawaban atas permasalahan ini.
Manajer Riset Trend Asia Zakki Amali menyebutkan, setidaknya para cawapres harus menjawab tiga permasalahan penting hilirisasi industri. Pertama, setiap cawapres harus mengutarakan evaluasinya tentang hilirisasi yang sudah berjalan belakangan ini.
Kedua, para cawapres harus menggambarkan secara konkret program mereka untuk menciptakan transisi energi yang berkeadilan. Terakhir, mereka harus bisa menjamin setiap pekerja yang terserap berkat hilirisasi ini mendapatkan perlindungan kerja.
Baca juga: Nikel, Pedang Bermata Dua di Maluku Utara
”Selama ini tidak pernah ada evaluasi. Jika terjadi pelanggaran, tidak pernah disanksi. Ini harus dijawab oleh ketiga kandidat,” kata Zakki.