Desentralisasi tata kelola guru belum memuaskan. Sentralisasi tata kelola ke pemerintah pusat kembali diwacanakan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tata kelola guru yang didesentralisasikan ke pemerintah daerah sampai saat ini dinilai belum mampu menuntaskan berbagai masalah yang membelenggu guru, baik menyangkut kuantitas maupun kualitasnya. Padahal, kecukupan dan mutu guru di sekolah penting untuk memastikan layanan pendidikan berkualitas bagi semua anak bangsa. Pertimbangan untuk menarik kembali tata kelola guru ke pemerintah pusat pun kembali diwacanakan pemerintah.
Sesuai dengan UU Otonomi Daerah, kewenangan mengelola guru, mencakup guru pendidikan anak usia dini (PAUD), SD, dan SMP, serta sekolah luar biasa (SLB), ada di pemerintah kabupaten/kota, kecuali guru madrasah yang tetap dikelola pemerintah pusat lewat Kementerian Agama (Kemenag). Sedangkan guru SMA/SMK dikelola oleh pemerintah provinsi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), kebutuhan guru tahun 2022/2023 sebanyak 2.407.000 orang. Ada 1.324.000 guru aparatur sipil negeri (ASN), tetapi yang memenuhi beban kerja 1.239.000 guru. Demikian pula, dari 724.029 guru honorer, baru 490.489 orang yang memenuhi beban kerja.
Deputi Bidang Pembangunan, Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas) Amich Alhumami di Jakarta, Senin (15/1/2024), mengatakan, hingga saat ini pendistribusian guru dan peningkatan mutu guru belum berjalan sesuai dengan harapan. Padahal, dengan kewenangan pemda, distribusi guru seharusnya dapat berjalan baik. Redistribusi atau pemerataan kembali guru di dalam satu daerah pun tidak optimal dilakukan.
Data pokok pendidikan (dapodik) dari Kemendikbudristek memungkinkan pemetaan guru dilakukan, bahkan hingga ke guru mata pelajaran. Termasuk mengetahui kondisi sekolah dan daerah yang kurang/berlebih guru serta kebutuhan pengganti guru pensiun.
Dengan demikian, pengelolaan kembali oleh pemerintah pusat dinilai akan lebih efektif dan tepat. Apalagi, hal ini berkaitan dengan kapasitas rekrutmen kepegawaian secara nasional oleh pemerintah yang diajukan kementerian/lembaga terkait.
Menurut Amich, aspirasi sentralisasi tata kelola guru di pemerintah pusat sudah dipertimbangkan Bappenas lewat kebijakan restrukturisasi kewenangan tata kelola guru. Menteri PPN/Kepala Bappenas telah membahas ini dengan, antara lain, bersama Mendikbudristek. Bahkan, di tingkat teknis sudah dibicarakan bersama Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemendikbudristek.
”Ide untuk restrukturisasi kewenangan tata kelola guru oleh pemerintah pusat sudah dipersiapkan di Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mulai dari rekrutmen sampai persebaran karena pemetaan sudah diketahui secara nasional hingga tingkat sekolah. Ditargetkan di RPJMN 2025-2029 bisa dilakukan. Namun, berbagai masalah teknis dan implikasinya hingga saat ini masih terus dibahas lebih detail dengan berbagai pihak terkait,” ujar Amich.
PGRI mendukung
Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sumardiansyah Perdana Kusuma mengatakan, PGRI menyambut baik rencana pemerintah merestrukturisasi kewenangan tata kelola guru dari pemda ke pemerintah pusat. Hal ini sejalan dengan apa yang sudah disuarakan oleh PGRI sejak lama.
”Kami melihat desentralisasi yang selama ini cenderung ambivalen,” kata Sumardiansyah.
Realitasnya, ujar Sumardiansyah, implementasi tata kelola guru oleh pemda berjalan lambat, tarik-menarik, ataupun saling lempar tanggung jawab antara pemda dan pemerintah pusat. Contohnya, dalam rekrutmen guru ASN berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) di mana kebijakan pemerintah pusat memenuhi formasi 1 juta guru PPPK harus berhadapan dengan berbagai dinamika di daerah, seperti data analisis jabatan yang sering kali tidak sesuai antara formasi dengan kebutuhan riil dan alasan keterbatasan anggaran yang berakibat tidak dibukanya formasi secara optimal.
”Belum lagi soal persebaran guru yang tidak merata antardaerah dan antarsekolah serta guru yang selalu menjadi alat komoditas politik pada setiap pemilihan kepala daerah,” ujar Sumardiansyah yang juga guru di DKI Jakarta.
Sumardiansyah menambahkan, kewenangan strategis tata kelola guru yang harus segera diambil oleh pemerintah pusat, antara lain, rekrutmen guru, distribusi guru, karier guru, kesejahteraan dan perlindungan guru, standar profesionalisme, dan peningkatan kompetensi guru. ”Selain itu, pembentukan badan khusus guru yang kedudukannya setingkat kementerian dan langsung di bawah Presiden bisa menjadi pilihan kebijakan jika benar guru akan ditarik ke pemerintah pusat,” tuturnya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru Satriwan Salim mengatakan, wacana meresentralisasi guru ke pemerintah pusat sebenarnya sudah lama bergulir. Namun, kekurangan dan kelebihan rencana ini tetap harus dikaji mendalam.
Hingga saat ini pendistribusian guru dan peningkatan mutu guru belum berjalan sesuai dengan harapan.
”Di sisi lain, perlu dikritisi juga dampak tata kelola guru oleh pemerintah pusat pada peningkatan kualitas pendidikan. Sebab, tata kelola guru madrasah oleh pemerintah pusat lewat Kemenag ternyata tidak signifikan juga membawa perbaikan atau perubahan,” ucap Satriwan.
Satriwan mengakui, desentralisasi membuat perhatian pada pendidikan dan guru di setiap daerah berbeda-beda. Ada pemda yang memperhatikan betul masalah kesejahteraan dan peningkatan kompetensi guru, tetapi ada yang tidak peduli. Demikian juga pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen di APBD, ternyata belum dipenuhi oleh semua pemda.
Menurut Satriwan, ada lima isu tata kelola guru yang penting, yakni kesejahteraan, kompetensi, perlindungan, rekrutmen dan distribusi, serta pengembangan karier guru. ”Selama ini, sebenarnya pemda merupakan pelaksana kebijakan pemerintah pusat atau Kemendikbudristek. Pemda minim inovasi dan kreativitas kebijakan atau program terkait guru. Seperti guru penggerak atau sekolah penggerak, itu, kan, dari pemerintah pusat. Jadi, sebenarnya selama ini desentralisasi semu dalam hal pengelolaan guru,” kata Satriwan.
Satriwan juga menyayangkan ketiga pasangan calon presiden tidak ada yang menyinggung persoalan esensial tata kelola guru dalam visinya. Mereka lebih suka bermain di program populis, seperti menggaji guru dengan nominal tertentu dan menuntaskan rekrutmen guru ASN. Namun, sejumlah isu penting terkait komitmen anggaran pendidikan daerah minimal 20 persen APBD atau memastikan adanya satu sistem pendidikan nasional tidak disinggung.