Potensi Selisih Biaya JKN Rp 19 Triliun, Mitigasi Pendanaan Perlu Disiapkan
Risiko defisit pada dana jaminan sosial kesehatan semakin besar. Kenaikan iuran bagi peserta perlu dipertimbangkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Biaya manfaat yang dibayarkan dalam program Jaminan Kesehatan terus meningkat, sedangkan iuran yang diterima stagnan. Akibatnya, selisih biaya JKN makin besar dengan proyeksi Rp 19 triliun pada 2024. Jika tidak diantisipasi, potensi defisit pada dana jaminan sosial kesehatan bisa terjadi.
Menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, biaya manfaat yang harus dibayarkan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional, termasuk biaya promotif dan preventif pada 2024, diproyeksikan lebih dari Rp 176,8 triliun.
Sementara biaya iuran yang diterima pada 2024 sebesar Rp 157,8 triliun. Dari jumlah itu diperkirakan selisih antara biaya manfaat dan iuran mencapai Rp 19 triliun.
”Defisit tahun berjalan ini akan menggerus aset neto dari DJS (dana jaminan sosial) kesehatan,” kata Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Abdul Kadir dalam acara Kaleidoskop Jaminan Sosial: Refleksi 1 Dekade Penyelenggaraan Jaminan Sosial di Indonesia di Jakarta, Kamis (11/1/2024).
Untuk itu, semua pemangku kepentingan harus memperhatikan dan memikirkan kondisi ini. Keuangan BPJS Kesehatan bisa defisit dan terjadi gagal bayar kembali.
Seluruh pemangku kepentingan harus memperhatikan dan memikirkan kondisi ini. Keuangan BPJS Kesehatan bisa defisit dan terjadi gagal bayar kembali.
Menurut dia, potensi defisit membayangi kondisi keuangan dana jaminan sosial kesehatan. Hal itu disebabkan biaya manfaat yang dibayarkan BPJS Kesehatan terus meningkat, sementara biaya iuran yang diterima tidak bertambah.
BPJS Kesehatan melaporkan, biaya jaminan kesehatan yang dibayarkan pada 2023 sekitar Rp 158,8 triliun atau meningkat Rp 45,4 triliun dari tahun 2022. Sementara realisasi pendapatan iuran tahun 2023 tercatat Rp 151,4 triliun yang hanya bertambah sekitar Rp 7,4 triliun dari tahun sebelumnya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memaparkan, biaya manfaat yang meningkat bisa disebabkan meningkatnya kepercayaan publik terhadap program JKN.
Jumlah warga yang menggunakan layanan kesehatan dalam program JKN semakin besar. Tarif INA-CBG’s dan biaya kapitasi yang dibayarkan ke fasilitas kesehatan juga meningkat. Selain itu, pemanfaatan masyarakat pada layanan kesehatan pun meningkat pascapandemi Covid-19.
Tarif INA CBG’s merupakan tarif yang dibayarkan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit dengan sistem paket berdasarkan jenis penyakit. Adapun dana kapitasi adalah pembayaran yang diberikan BPJS Kesehatan kepada fasilitas tingkat pertama berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar.
Saat pandemi Covid-19 pada 2021, pemanfaatan layanan kesehatan sekitar 362,6 juta pemanfaatan. Jumlah itu meningkat signifikan pascapandemi pada tahun 2022 sebesar 502,8 juta pemanfaatan dan pada 2023 sebesar 606,6 juta pemanfaatan.
Ghufron menambahkan, kondisi keuangan dana jaminan sosial kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan kini masih dalam kondisi sehat. Setidaknya, keuangan DJS Kesehatan dari besaran aset neto atau aset bersih per 31 Desember 2024 mencapai Rp 57,7 triliun.
“Sesuai dengan ketentuan, besaran aset neto saat ini mencukupi untuk 4,36 bulan dari estimasi pembayaran klaim ke depan. Meski begitu, kendali biaya tetap kita pikirkan tanpa harus mengurangi akses manfaat di masyarakat,” ujarnya.
Kenaikan iuran
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, langkah antisipasi harus mulai dipikirkan terhadap potensi defisit pada dana jaminan sosial kesehatan. Aset neto yang dikelola BPJS Kesehatan tak bisa mengatasi selisih biaya manfaat dan iuran dalam jangka panjang. Kenaikan iuran perlu menjadi pertimbangan utama untuk mengatasi kondisi defisit tersebut.
“Sampai kapan aset neto DJS sebesar Rp 57,7 triliun ini bisa menahan selisih biaya yang terjadi. Sementara biaya manfaat terus bertambah, belum lagi dengan adanya kenaikan tarif INA-CBG’s dan kapitasi serta biaya pelayanan Covid-19 dan vaksin Covid-19 untuk PBI (peserta bantuan iuran) yang kini ditanggung BPJS Kesehatan,“ tuturnya.
Untuk itu, kenaikan iuran harus dipertimbangkan untuk menjaga keberlanjutan dana jaminan sosial kesehatan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan disebutkan, evaluasi besaran iuran JKN perlu ditinjau paling lama dua tahun. Kenaikan iuran JKN terakhir terjadi pada 2020.
“Kenaikan iuran itu keniscayaan, secara yuridis ataupun hitungan finansial. Setidaknya kenaikan bisa dilakukan pasca-Pemilu 2024 atau paling lambat pada 2025. Unsur pendapatan paling utama dari DJS dari pendapatan iuran. Jika pembiayaan manfaat naik, sementara pendapatan iuran tidak meningkat signifikan akan terjadi defisit,” ujarnya.
Kenaikan iuran program JKN diharapkan sesuai usulan yang ditetapkan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Usulan biaya iuran dari DJSN seharusnya sesuai dengan hitungan aktuaria antara biaya manfaat dan biaya iuran. Apabila besaran iuran tidak sesuai dengan usulan tersebut, risiko defisit masih akan terjadi.
Ketua DJSN Agus Suprapto mengatakan, program jaminan kesehatan nasional merupakan bagian dari upaya perlindungan sosial yang dibutuhkan masyarakat. Kebutuhan akan jaminan kesehatan akan terus meningkat seiring dengan meningkatkan beban penyakit di masyarakat.
“Jaminan sosial melalui JKN masih sangat dibutuhkan dan harus terus dilanjutkan oleh siapa pun presidennya nanti. Adanya pandemi Covid-19 telah menjadi pembelajaran kita bahwa jaminan sosial, termasuk JKN, harus terus ada,” katanya.