Bagi sebagian orang, liburan dapat memicu terjadinya ”holiday blues”. Pada kondisi ini, liburan yang biasanya menyenangkan justru menimbulkan rasa sedih atau kecewa.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Libur akhir tahun telah tiba. Sederet rencana sudah disiapkan sejak jauh hari untuk menghabiskan masa liburan ini. Beberapa orang memilih untuk mengisinya dengan pergi ke luar kota bersama keluarga. Ada pula yang menghabiskan liburan dengan bersantai di rumah sambil menonton film dan makan makanan favorit. Semua kegiatan dilakukan agar liburan bisa dilewati dengan menyenangkan.
Liburan memang identik dengan masa yang penuh keceriaan dan kegembiraan. Namun, itu tidak berlaku buat semua orang. Bagi beberapa orang, liburan justru membawa rasa sedih, kecewa, kesepian, hingga depresi. Liburan juga dapat memperburuk rasa cemas dan stres seseorang, terutama mereka yang memiliki trauma ataupun gangguan kesehatan mental.
Sebuah artikel dari Institut Psikiatri Pennsylvania menyebutkan, setidaknya 40 persen orang dewasa mengalami kecemasan menjelang liburan hari raya. Pola hidup yang buruk dapat memperparah kondisi tersebut.
Psikolog klinis yang juga Ketua Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Wilayah Jawa Timur Toetiek Septriasih ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (29/12/2023), menyampaikan, rasa cemas dan kesedihan yang dialami seseorang selama liburan umumnya terjadi sementara. Perasaan itu hanya muncul sepanjang masa libur atau hari raya. Dalam istilah populer, kondisi itu dapat disebut sebagai holiday blues.
”Sebenarnya, kondisi holiday blues bukan sebuah diagnosis. Kondisi ini merupakan turunan dari kondisi mood disorder (gangguan suasana hati). Bagi beberapa orang, gangguan ini hanya muncul sementara selama masa liburan. Ketika liburan selesai, gangguan itu akan hilang,” ujarnya.
Menurut Toetik, liburan pun hanya sebagai pemicu dari perasaan kecewa, sedih, dan khawatir. Terdapat stresor lain yang menjadi penyebab sebenarnya mengapa perasaan tersebut muncul. Stressor itulah yang seharusnya perlu diatasi dengan baik.
Stressor pada setiap orang bisa berbeda-beda. Trauma yang terjadi di masa liburan dapat memicu terjadinya holiday blues. Misalnya, pengalaman kehilangan orang terdekat saat liburan ataupun pengalaman buruk lainnya yang terjadi selama momen liburan.
Pada akhirnya, orang yang memiliki trauma di momen liburan lebih memilih untuk mengalihkan masa libur untuk kegiatan lain. Ketika musim liburan, sebagian orang dengan trauma akhirnya lebih memilih untuk tetap bekerja. Cuti libur pun diambil bukan pada momen liburan.
Ekspektasi yang tinggi terhadap momen liburan yang tidak tercapai juga bisa menimbulkan rasa kecewa dan sedih, bahkan frustrasi bagi beberapa orang. Tidak sedikit orang yang sangat berharap pemberian hadiah dari orang lain untuk menyambut hari raya. Ekspektasi yang tinggi ini juga sering muncul menjelang acara pesta dan pertemuan keluarga.
Ekspektasi yang tinggi terhadap momen liburan yang tidak tercapai juga bisa menimbulkan rasa kecewa dan sedih, bahkan frustrasi bagi beberapa orang.
Rasa kecewa akan muncul apabila ekspektasi tersebut tidak terwujud, apalagi jika ternyata orang lain memiliki liburan yang dianggap jauh lebih menyenangkan. Biasanya, rasa kecewa ini terjadi ketika melihat unggahan orang lain di media sosial.
Psikiater anak dan remaja dari Huntsman Mental Health Institute, Rachel Weir, pada artikel yang diterbitkan dalam laman University of Utah Health menyampaikan, membatasi waktu untuk melihat media sosial selama liburan dapat dilakukan sebagai cara untuk mengurangi stres selama liburan. Media sosial bisa menyebabkan seseorang semakin depresi terhadap liburannya.
”Kehidupan seseorang tidak seindah yang digambarkan di media sosial. Hal ini mungkin sulit disadari saat kita merasa sedih. Jadi, batasi waktu menggunakan gawai untuk melihat aktivitas orang lain di media sosial. Lebih baik habiskan waktu dengan melakukan hal-hal yang disukai bersama orang-orang yang disayangi,” katanya.
Di lain sisi, ada pula orang tertekan selama liburan karena merasa harus mewujudkan ekspektasi keluarga atau orang lain yang ingin diberi hadiah. Padahal, saat itu kondisi keuangan sedang tidak memungkinkan. Namun, sebagian orang justru akan sangat terbebani dan kecewa jika tidak bisa memberikan hadiah yang diinginkan orang yang dikasihinya.
Berkepanjangan
Toetik mengatakan, sekalipun kondisi holiday blues umumnya terjadi ”musiman” hanya ketika masa liburan, gangguan suasana hati yang dialami tidak boleh disepelekan. Semakin bertambahnya usia, kemampuan seseorang untuk menangani diri dalam suatu situasi akan berkurang. Akibatnya, ketika seseorang mengalami tekanan yang sama bisa berdampak lebih buruk dari sebelumnya.
Gangguan tersebut patut diwaspadai apabila terjadi berkepanjangan. Rasa sedih atau putus asa yang berlangsung lebih dari dua minggu dapat menyebabkan depresi. Kondisi itu dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Bantuan dari tenaga profesional perlu segera diberikan agar depresi yang dialami bisa diatasi.
Hal itu disampaikan pula oleh mantan Direktur Eksekutif untuk Praktik Profesional di American Psychological Association (APA), Katherine Nordal. Dalam siaran pers terkait holiday blues yang diterbitkan APA pada 2009 disebutkan, stres di musim liburan bisa memperburuk keadaan seseorang yang sudah memiliki masalah psikologis.
Nordal menuturkan, jika rasa sedih saat liburan terjadi berkepanjangan, bantuan dari para ahli, seperti psikolog, sangat diperlukan. Psikoterapi yang diberikan dari ahli dapat membantu mengurangi depresi yang terjadi.
”Depresi berbeda dengan holiday blues. Depresi sering kali tidak hilang dengan sendirinya. Banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka mengalami depresi. Padahal, kondisi depresi bisa diobati dengan baik,” katanya.
Sementara pada kondisi holiday blues, Nordal menyarankan beberapa hal untuk dilakukan agar rasa sedih selama liburan bisa diatasi. Pertama, memastikan ekspektasi liburan bisa realistis. ”Hindari membebani diri sendiri dan menggunakan uang secara berlebihan. Jangan memaksakan diri, ” ucapnya.
Cara lain bisa dilakukan dengan tetap terhubung dengan orang di sekitar. Rasa sedih cenderung membuat orang ingin menyendiri. Jika merasa kesepian, sebaiknya segera mencari dukungan.
Ketika seseorang tidak bisa menghabiskan waktu bersama keluarga secara langsung pada masa liburan, coba cari cara lain untuk tetap terhubung. Teknologi diharapkan bisa membantu untuk menghubungkan seseorang dengan orang terdekat sehingga rasa sedih akibat kesepian bisa sedikit teratasi.
Selain itu, aktivitas fisik maupun olahraga perlu tetap dilakukan selama liburan. Olahraga justru dapat menjadi cara untuk mengatasi rasa sedih. Penelitian American Journal of Psychiatry menemukan, aktivitas fisik selama satu jam setiap minggu mampu mencegah depresi di masa depan.
Meski liburan tidak selalu menyenangkan, masa liburan tidak harus dilewati dengan rasa sedih dan kecewa. Kebahagiaan pun sifatnya relatif sehingga kebahagiaan orang lain belum tentu menjadi kebahagiaan bagi kita. Merasa sedih memang hal yang wajar. Namun, jika perasaan itu terjadi berkepanjangan, sebaiknya jangan ragu untuk menyampaikan perasaan itu kepada orang lain atau carilah bantuan para ahli.
Jika Anda merasa depresi dan mulai berpikir untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda kepada tenaga profesional, seperti psikolog atau psikiater. Meminta pertolongan mereka bukan berarti Anda lemah.