Meskipun ada berbagai macam risiko dan kesulitan, mengapa jutaan orang tak pernah kapok untuk pulang kampung di hari raya? Jawabannya karena mudik tidak hanya sekadar tradisi, tetapi juga merupakan kebutuhan psikologis.
Oleh
ABDUL MUHID
·4 menit baca
”Mau mudik tanggal berapa?” Pertanyaan tersebut akan semakin sering kita dengar dari kolega, kerabat, dan orangtua kita di kampung halaman. Hal itu seiring akan berakhirnya bulan Ramadhan 1444 Hijriah kali ini. Seperti yang kita tahu, mudik merupakan tradisi tahunan di Indonesia, di mana masyarakat melakukan perjalanan dari perkotaan untuk kembali kampung halaman merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Mudik berarti kita akan tinggal selama beberapa hari di kampung halaman.
Imajinasi tentang mudik berisi tentang udara segar dan embun pagi di kampung, persawahan dengan padi yang menghijau atau telah menguning, tidur malam dengan diiringi suara jangkrik, dan bangun di pagi hari disambut suara ayam berkokok. Suasana kampung yang demikian tentu menjadi angan-angan yang lama dirindukan kaum urban yang sehari-hari hidupnya berkutat pada kerja, kerja, dan kerja.
Namun, mudik tidak hanya erat dengan imajinasi surgawi kita tentang kampung halaman. Mudik itu berat dan melelahkan. Tidak jarang kita harus rela terjebak macet berjam-jam di jalan. Kondisi lalu lintas amat padat di jalanan. Sementara untuk naik moda transportasi lain seperti moda transportasi udara dan laut kita harus berebut. Belum lagi harga transportasi udara yang rutin naik di musim mudik.
Kadang kita lihat pemudik harus rela tidur di labuhan untuk mengantre tiket kapal laut. Di terminal pun kondisinya juga sama. Sudah antre berjam-jam, tiket yang tersedia harganya juga lebih mahal pula dari harga normal. Begitulah suka-duka mudik. Perjalanan ke kampung halaman tidak hanya menguras tenaga tetapi juga kantong.
Meskipun ada berbagai macam risiko dan kesulitan, mengapa jutaan orang tidak pernah kapok untuk pulang kampung di hari raya? Jawabannya adalah karena mudik tidak hanya sekadar tradisi, tetapi juga merupakan kebutuhan psikologis. Mudik tidak hanya imajinasi tentang kampung halaman, tetapi tentang berkumpul bercengkerama dan bercanda tawa dengan keluarga setelah sekian purnama tidak berjumpa.
Hal ini merupakan dorongan yang bersifat lahiriah. Pulang kampung untuk merayakan hari libur dan hari raya keagamaan bersama keluarga dan kerabat merupakan tradisi yang bersifat universal yang juga dilakukan oleh manusia di belahan bumi lain selain di Indonesia. Di India, misalnya, umat Hindu akan ramai-ramai pulang ke kampung halaman untuk merayakan Festival Cahaya atau Diwali. Di China, masyarakat akan tumpah ruah ”mudik” kampung halaman untuk merayakan Tahun Baru China. Di Amerika Serikat pun demikan, fenomena ”mudik” juga dapat ditemui pada perayaan Thanksgiving.
Berkumpul dan bersilaturahmi dengan keluarga di hari raya memberikan kepuasan psikologis tersendiri bagi kita sebagai manusia. Menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman selama masa liburan mendorong perasaan bahagia, gembira dan rasa keterikatan serta saling memiliki, yang penting bagi kesehatan mental dan emosional.
Bagi para pekerja, mudik memberikan kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan tenaga, sejenak meninggalkan penatnya pekerjaan untuk mengisi ulang energi dan motivasi agar siap kembali produktif bekerja.
Bagaimanapun, pekerja perlu untuk menikmati hari libur, berpartisipasi dalam tradisi budaya, dan menghabiskan waktu bersama orang yang dicintai. Mudik juga perlu untuk keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance) yang pada akhirnya berdampak positif pada kesejahteraan psikologis dan produktivitas kerja secara keseluruhan. Sementara itu, bagi para pelajar dan anak-anak, mudik memberikan kesempatan lebih dari sekedar liburan hari raya.
Sejatinya, tradisi silaturahmi ke kampung halaman menjadi sebuah field-trip atau studi lapangan yang menunjang pengetahuan mereka melalui pembelajaran di luar kelas. Mereka dapat memperkaya pengetahuan tentang budaya, sejarah, adat istiadat, dan berbagai praktik keagamaan yang berbasis kearifan lokal. Sebuah kegiatan yang penting untuk membentuk pemahaman keagamaan yang moderat.
Bagi masyarakat Muslim di Indonesia, mudik memiliki makna yang lebih dari sekedar tradisi kumpul-kumpul dan makan-makan. Silaturahmi di hari raya berarti menyambung dan merawat hubungan sosial dan memperkuat ikatan dengan orang lain, terutama keluarga dan teman. Selain itu, silaturahmi di hari raya juga erat dengan tradisi meminta dan memberi maaf. Interaksi sosial antar individu pada dasarnya amat rentan terhadap konflik dan ketidakcocokan. Tidak jarang kata-kata yang kita ucapkan atau unggahan kita di medsos, baik sengaja maupun tidak, melukai keluarga, kerabat atau kolega kita.
Tanpa adanya ketulusan untuk saling meminta dan memberi maaf hubungan sosial kita dengan orang berpotensi kacau. Hari raya Idul Fitri memberi kita kesempatan untuk rekonsiliasi atau memperbaiki hubungan sosial kita. Saling meminta dan memberi maaf memiliki hikmah luar biasa dalam merawat kekeluargaan kita dan menjaga hubungan sosial agar tetap kuat dan sehat.
Bagaimanapun, ikatan sosial memberi kita kekuatan untuk hidup sehat secara fisik dan mental. Memiliki keluarga, kerabat, dan kawan yang suportif merupakan rezeki yang ternilai. Kebutuhan akan ikatan sosial yang sehat tidak kalah pentingnya dengan kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan, begitu kata Abraham Maslow.
Mengingat besarnya manfaat silaturahmi hari raya bagi kesehatan mental kita, maka kita juga hendaknya tidak menodai kesucian tradisi ini dengan hal-hal yang tidak berguna seperti unjuk kesuksesan. Tidak lengkap pulang ke kampung tanpa mobil baru. Tidak lengkap silaturahmi ke sanak keluarga dan teman tanpa pamer keberhasilan.
Akhirnya yang terjadi di masyarakat adalah saling membanding-bandingkan. Hari raya tidak lagi menjadi hari kemenangan, tetapi juga hari ”kekalahan”. Kalah dari sisi materi dan pencapaian. Hal ini justru mendistorsi makna silaturahmi. Mari kita jaga kemurnian niat mudik di hari raya karena kita membutuhkannya, sebagaimana tubuh kita butuh berbuka setelah seharian berpuasa. Dengan menjaga kemurnian niat mudik, kita akan dapat memetik hikmah dari tradisi mudik untuk memenuhi kebutuhan psikologis kita.
Abdul Muhid,Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Sunan Ampel Surabaya