54 Juta Peserta JKN-KIS Tidak Aktif, Dibutuhkan Dana Penyangga Alternatif
Sebanyak 54 juta peserta JKN-KIS tidak aktif dan terancam tidak terlindungi. Dana penyangga sosial alternatif diperlukan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekitar 54 juta peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat tidak aktif. Mereka terdaftar, tetapi terancam tidak terlindungi untuk mengakses pelayanan kesehatan. Karena itu, diperlukan dana penyangga sosial alternatif demi menjamin perlindungan kesehatan.
Ombudsman RI menemukan sejumlah masalah dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Proteksi kesehatan terhadap peserta program itu dinilai belum optimal. Berbagai kendala menyulitkan warga mengakses layanan kesehatan.
Per Desember 2023, terdapat 54 juta peserta JKN-KIS tidak aktif. Hal ini disebabkan peserta menunggak iuran atau mutasi segmen kepesertaan.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengutarakan, peserta program JKN-KIS yang tidak aktif rentan tidak mendapatkan jaminan perlindungan kesehatan. Masyarakat sering terkendala membayar iuran karena keterbatasan ekonomi.
”Selain instrumen jaminan sosial lewat BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan, perlu ada dana penyangga sosial alternatif. Pemda (pemerintah daerah) harus punya untuk menjamin warga mendapatkan perlindungan kesehatan,” ujarnya.
Robert menyampaikan hal itu dalam bincang media bertema ”Pengawasan atas Pelayanan Publik Bidang Kesehatan, Ketenagakerjaan, Kepegawaian, Jaminan Sosial, dan Perlindungan Sosial”, di Jakarta, Kamis (21/12/2023).
Robert mengatakan, masalah pemadanan data dalam mutasi segmen kepesertaan harus segera diselesaikan. Selain itu, masih terdapat sejumlah perusahaan yang tidak lagi menanggung iuran JKN pekerjanya meskipun masih dalam sengketa pemutusan hubungan kerja (PHK).
”Jangan kemudian masyarakat baru tahu dia tidak lagi menjadi peserta (JKN-KIS) setelah berada di rumah sakit. Alhasil, dia harus mengurus syarat-syarat administrasi dan kesulitan mengakses layanan kesehatan,” ucapnya.
Menurut Robert, pemda perlu menyediakan dana penyangga sosial demi mengantisipasi hal itu. Sebab, pemerintah berkewajiban memenuhi hak warga atas kesehatan.
Namun, masih terdapat warga yang ditolak rumah sakit karena kepesertaan JKN-KIS tidak aktif. Alhasil, warga yang membutuhkan pelayanan kesehatan pun terancam ditelantarkan.
”Kalau menunggu reaktivasi kepesertaannya, tentu butuh waktu cukup lama. Sementara tidak jarang pasien memerlukan tindakan medis sesegera mungkin. Itulah pentingnya ada dana penyangga sosial di daerah,” katanya.
Ketika berkunjung ke sejumlah daerah, pihaknya kerap menemukan pasien yang tidak ditangani karena kepesertaan JKN tak aktif. Ia pun mengimbau fasilitas kesehatan (faskes) untuk memprioritaskan penanganan pasien daripada kelengkapan persyaratan administrasi yang bisa menyusul.
”Coba bayangkan masyarakat dengan perekonomian menengah ke bawah yang tidak mampu membayar iuran sehingga tidak mendapat perlindungan kesehatan. Bagaimana nasib mereka, masuk rumah sakit tanpa ada saudara yang menjaminnya,” tuturnya.
Masalah pelayanan kesehatan menjadi salah satu isu laporan yang diterima Keasistenan Utama VI Ombudsman RI sepanjang tahun 2023. Isu lain menyangkut masalah ketenagakerjaan, kepegawaian, dan perlindungan sosial.
Pemda perlu menyediakan dana penyangga sosial demi mengantisipasi hal itu. Sebab, pemerintah berkewajiban memenuhi hak warga atas kesehatan.
Robert menuturkan, pada tahun ini pihaknya menerima 131 laporan masyarakat. Sebanyak 87 laporan telah selesai ditangani dan 44 laporan lainnya masih dalam proses penyelesaian.
Menurut Direktur Kepesertaan BPJS Kesehatan David Bangun, upaya mengatasi persoalan status kepesertaan nonaktif antara lain mengadvokasi pemerintah daerah agar mendaftarkan peserta bukan pekerja yang kurang mampu agar ditanggung dalam penerima bantuan iuran (PBI) APBD (Kompas.id, 28/9/2023).
Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat akhir September lalu, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Agus Suprapto menyampaikan, jumlah peserta program JKN-KIS cukup besar.
Karena itu, berbagai upaya harus dilakukan demi menekan jumlah peserta yang menunggak membayar iuran dan mengatasi soal mutasi kepesertaan.
Perbaikan layanan FKTP
Ombudsman RI juga menemukan sejumlah masalah dalam tata laksana Sistem Kesehatan Nasional di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Pelayanan yang dinilai belum optimal meliputi upaya preventif, pemenuhan obat esensial, cakupan imunisasi, dan manajemen waktu pelayanan puskesmas.
Sosialisasi atas layanan preventif di FKTP masih minim. Selain itu, banyak FKTP tidak memahami tata laksana sistem pengaduan yang tepat.
Terdapat FKTP yang tak memiliki sarana dan prasarana rujukan memadai. ”Tata laksana pemenuhan SDMK (sumber daya manusia kesehatan) tidak afirmatif. Selain itu, ada kekosongan wewenang pengawasan distribusi dana kapitasi pada puskesmas non-BLUD (badan layanan umum daerah),” ungkap Robert.
Ombudsman merekomendasikan beberapa saran perbaikan terhadap tata laksana SKN tersebut. Kementerian Kesehatan diharapkan menyempurnakan regulasi tata laksana preventif secara komprehensif, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan SDMK.
Selain itu, Kemenkes dan Kementerian Dalam Negeri diharapkan menyusun surat keputusan bersama tentang dana kapitasi dari kas daerah ke fasilitas pelayanan kesehatan. Rekomendasi lain, perlu ada manifestasi sistem pengaduan layanan publik di faskes.
”Upaya preventif di FKTP perlu diperkuat. Sosialisasinya pun harus lebih masif sehingga diketahui masyarakat luas. Ini beberapa saran perbaikan yang bisa diterapkan,” katanya.